Pendahuluan: Dilema Harga Terendah dalam Dunia Pengadaan
Dalam proses pengadaan barang dan jasa, prinsip efisiensi sering diterjemahkan secara sempit menjadi “harga terendah”. Akibatnya, banyak pihak, baik penyedia maupun pemilik anggaran, terdorong untuk mengejar biaya serendah mungkin tanpa memperhatikan dampak jangka panjang terhadap mutu pekerjaan, keamanan pengguna, dan keberlangsungan fungsi barang atau jasa tersebut. Praktik ini bukan hanya menyesatkan, tetapi juga berisiko merugikan negara, masyarakat, bahkan reputasi instansi pemerintah itu sendiri.
Harga terendah seharusnya bukan harga murahan. Jika mekanisme evaluasi pengadaan hanya bertumpu pada nominal tanpa mengukur mutu, maka kita membuka celah bagi produk-produk dengan kualitas rendah untuk memenangkan pasar yang seharusnya menjunjung profesionalisme dan hasil akhir yang berkualitas. Artikel ini akan mengulas lebih dalam tentang fenomena ini, mengapa hal tersebut berbahaya, serta bagaimana solusi sistemik dan teknis bisa diterapkan untuk menghindarinya.
1. Mengapa Harga Terendah Menjadi Primadona?
Salah satu alasan utama mengapa harga terendah menjadi pertimbangan utama adalah karena kesederhanaannya. Dari sisi administrasi dan pengambilan keputusan, memilih penawaran termurah tampak sebagai pilihan yang logis dan mudah dipertanggungjawabkan. Proses evaluasi yang hanya berfokus pada angka membuat dokumen tender menjadi ringkas: tinggal membandingkan nilai penawaran, menandai yang paling kecil, dan menerbitkan surat keputusan pemenang. Tidak perlu berpanjang lebar merinci tolok ukur teknis atau skor kualitatif yang sering dianggap subjektif. Dalam situasi di mana birokrasi pengadaan sudah sarat prosedur dan tenggat waktu sering kali menipis, kemudahan administrasi ini seolah menjadi penyelamat agar tender tidak molor.
Apalagi jika dana terbatas, maka penghematan anggaran menjadi fokus utama. Instansi yang memiliki anggaran terbatas-entah karena pagu DIPA yang mengecil atau belanja tak terduga pada pos lain-sering kali merasakan tekanan untuk menekan biaya serendah mungkin. Kepala unit kerja atau pejabat pembuat komitmen bisa terlihat “heroik” ketika mampu memenangkan tender di bawah HPS (Harga Perkiraan Sendiri). Dari sudut pandang politis dan pemerintahan, menampilkan efisiensi belanja publik menjadi modal penting untuk mempertahankan citra sinergi dan akuntabilitas anggaran.
Sayangnya, pendekatan ini sering kali melupakan prinsip lainnya dalam pengadaan seperti efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas. Ketika evaluasi teknis dipangkas, maka potensi risiko mutu semakin besar. Spesifikasi teknis yang sifatnya “rule of thumb” tanpa analisis mendalam menjadi celah bagi penyedia untuk menyelipkan material kelas bawah atau memotong volume kerja. Akibatnya, penghematan di awal justru menciptakan banjir masalah: dokumen serah terima proyek selesai dengan cepat, tetapi kualitas di lapangan amburadul.
Lebih jauh, kerap kali proyek-proyek yang dimenangkan oleh penyedia dengan harga terendah justru berakhir dengan kegagalan fungsi, keterlambatan pelaksanaan, hingga putus kontrak karena tidak mampu memenuhi standar minimal. Misalnya, instalasi jaringan komputer yang menggunakan kabel non-standar akan menyebabkan gangguan setiap beberapa bulan sekali. Atau pembangunan gedung dengan struktur beton campuran rendah rawan retak sebelum masa pemeliharaan berakhir. Akhirnya, instansi terpaksa melakukan perbaikan darurat (emergency repair) yang jauh lebih mahal dan merusak reputasi program. Ironisnya, upaya “menghemat” anggaran di tahap awal justru memicu pemborosan anggaran yang jauh lebih besar di tahap perbaikan dan litigasi kontrak.
Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa penekanan pada harga terendah tanpa disertai cek dan balance yang memadai akan menimbulkan beban ganda: beban keuangan dan beban reputasi. Kesederhanaan administrasi tidak selamanya menjadi keuntungan apabila menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang merugikan. Reformasi sistem evaluasi yang mengintegrasikan harga dan kualitas menjadi langkah krusial agar prinsip efisiensi berjalan seimbang dengan prinsip efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas.
2. Celah dalam Sistem Evaluasi: Harga Menjadi Satu-Satunya Variabel
Meski secara regulasi Perpres Nomor 16 Tahun 2018 menegaskan bahwa pemilihan penyedia harus berbasis kombinasi antara harga dan kualitas, nyatanya banyak unit kerja tetap menyiapkan dokumen evaluasi dengan tolok ukur tunggal: nilai penawaran terkecil. Keputusan sepihak ini sering dianggap “netral” karena hanya melihat angka, sehingga mengurangi risiko tuduhan subjektivitas. Dengan kata lain, panitia tender seolah mendapatkan “jaminan” transparansi melalui mekanisme yang terkesan otomatis: siapa yang harga penawarannya paling rendah, dialah pemenangnya.
Celah ini kemudian dimanfaatkan oleh penyedia yang memiliki daya operasional fleksibel. Mereka berani menawar di bawah HPS (Harga Perkiraan Sendiri) karena yakin dapat memangkas biaya produksi-bukan dengan efisiensi operasional yang wajar, melainkan dengan menurunkan mutu bahan baku, menyusutkan volume tersembunyi, atau bahkan memanfaatkan jalur pasokan “gelap” yang menawarkan harga murah tetapi jauh dari standar kualitas. Misalnya, penyedia ATK (alat tulis kantor) murah seringkali mengganti kertas HVS 70 gsm menjadi 60 gsm tanpa memberi tahu pembeli, sehingga dokumen cepat sobek dan tinta tidak merata.
Dalam proyek konstruksi, celah evaluasi hanya berdasarkan harga memicu fenomena “cut and paste” RAB (Rencana Anggaran Biaya): komponen penting seperti tulangan beton atau lapisan aspal dikurangi ketebalannya, sementara nama-nama vendor dan subkontraktor berseliweran dalam dokumen hanya sebagai formalitas. Begitu kontrak berjalan, situs proyek ramai oleh aktivitas pekerja lapangan yang terburu-buru-karena margin tipis-dan pengawasan teknis menjadi tergesa-gesa. Akhirnya, meski sertifikat kelayakan administrasi diserahkan, kondisi lapangan tidak pernah benar-benar memenuhi syarat mutu yang tertulis di kontrak.
Lebih mengkhawatirkan lagi, kelangsungan pemeliharaan pasca-konstruksi sering terbengkalai. Penyedia yang merugi karena menawar terlalu murah cenderung absen dalam jangka waktu garansi, atau hanya melakukan perbaikan minimal ketika dipanggil. Celah evaluasi ini tidak hanya merugikan anggaran awal, tetapi juga melemahkan sistem akuntabilitas jangka panjang: dokumen serah terima dianggap sah, tetapi hasilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan di lapangan. Reformasi sistem evaluasi untuk memasukkan kriteria teknis terukur, rekam jejak kinerja, serta skor kualitas setidaknya bisa menutup celah berbahaya ini.
3. Dampak Barang/Jasa Berkualitas Buruk: Kerugian Berlipat
Produk dengan harga murah tetapi kualitas rendah dapat menyebabkan kerugian yang jauh lebih besar dari penghematan semu yang terjadi di awal pengadaan. Misalnya:
3.1 Kerusakan Infrastruktur
Ketika material yang digunakan di bawah standar-seperti ketebalan aspal yang hanya setengah dari ketentuan RAB atau agregat berkualitas rendah-lapisan konstruksi jalan tidak mampu menahan beban lalu lintas maupun faktor cuaca. Akibatnya, retakan mulai muncul hanya dalam beberapa bulan setelah serah terima, drainase tersumbat karena permukaan pecah, dan lubang menganga begitu musim hujan tiba. Setiap hujan lebat memperparah kerusakan: air merembes ke bawah lapisan aspal tipis, menggerus fondasi kerikil, lalu menciptakan amblesan. Meski secara administratif proyek dianggap selesai dan pembayaran penuh sudah dicairkan, kualitas jalan tidak pernah memenuhi harapan masyarakat. Pada akhirnya, pemerintah daerah harus mengalokasikan dana darurat untuk tambal sulam, yang biaya per meternya justru bisa lebih tinggi daripada pembangunan ulang sesuai spesifikasi awal.
3.2 Alat Kesehatan Berisiko
Pengadaan alat medis dengan harga sangat murah sering berujung pada perangkat non-standar-misalnya oksimeter yang akurasinya meleset 10-15%, atau masker medis yang porositasnya terlalu besar sehingga efektifitas filtrasi berkurang drastis. Tenaga medis yang mengandalkan instrumen ini bisa salah membaca kondisi pasien, memicu diagnosa keliru, atau bahkan melewatkan tanda-tanda kritis penyakit. Selain risiko klinis, greget administrasi rumah sakit juga terganggu karena sering terjadi kerusakan alat dan suku cadang tidak tersedia, memaksa penggunaan alternatif barter atau sewa dari penyedia yang sama. Singkatnya, peralatan medis murah justru memperburuk kinerja pelayanan kesehatan, membahayakan pasien, dan menambah beban kerja dokter serta perawat yang harus mengkompensasi kekurangan alat.
3.3 Pendidikan Terkorbankan
Buku teks atau alat peraga pendidikan yang diproduksi dari kertas tipis dengan cetakan buram membuat proses belajar menjadi tidak nyaman. Siswa kesulitan membaca materi yang hurufnya pudar, guru enggan menggunakan alat peraga yang mudah sobek atau tidak tahan lama, dan metode pengajaran menjadi monoton karena media ajar cepat rusak. Dampaknya, motivasi belajar menurun, materi sulit dipahami, dan keberhasilan pembelajaran tidak maksimal. Sekolah pun harus menganggarkan dana tambahan untuk mengganti buku yang jebol atau membuat ulang alat peraga sederhana-yang sebenarnya bisa dihindari jika kualitas awal terjamin.
3.4 Pengulangan Pengadaan
Setelah barang cepat rusak atau tidak berfungsi, instansi terpaksa membuka proses pengadaan ulang-kadang dengan prosedur darurat yang justru mengurangi transparansi. Pengulangan ini bukan hanya memakan waktu (tundaan layanan publik), tetapi juga memicu biaya-biaya tak terduga, seperti ongkos pengiriman mendadak, biaya penyimpanan sementara, dan honor panitia darurat. Akhirnya, total anggaran yang dikeluarkan jauh melebihi rencana semula. Parahnya, siklus ini dapat berulang terus-menerus jika akar masalah (evaluasi harga saja tanpa jaminan mutu) tidak segera diperbaiki.
Dampak semacam ini tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga mencoreng nama baik instansi dan menggerus kepercayaan publik.
4. Trik Penyedia: Menang Tender dengan Harga Murah, Produksi Seadanya
Banyak penyedia yang sangat memahami bahwa mekanisme evaluasi hanya akan melihat harga. Maka strategi yang diambil adalah:
4.1 Menawar Serendah Mungkin
Strategi paling umum adalah memasang harga penawaran sedemikian rendah-bahkan di bawah HPS-untuk memikat panitia seleksi yang terfokus pada angka. Penyedia akan menghitung berbagai skenario: berapa margin negatif yang masih bisa “ditutup” melalui pemangkasan biaya operasional, material, atau tenaga kerja. Kadang mereka sengaja memasukkan angka rawan rugi pada sebagian paket pekerjaan dengan harapan bisa mengompensasikannya di lain lini. Dampaknya, aspek-aspek penting dalam pelaksanaan proyek-seperti kualitas material, jumlah tenaga kerja terlatih, atau durasi pengecekan mutu-cukup mudah dikorbankan demi menjaga neraca agar tetap “cuan” di akhir.
4.2 Substitusi Bahan dan Volume
Begitu kontrak resmi ditandatangani, penyedia kerap melakukan substitusi bahan utama dengan varian yang lebih murah atau menurunkan volume material tersembunyi tanpa melaporkan perubahan ke PPK. Misalnya, spesifikasi menyebutkan cat anti-karat tipe A, lalu digantikan jenis B yang lebih murah dan kurang tahan korosi. Atau pada proyek beton, komposisi campuran semen dan agregat “disesuaikan” agar total biaya turun-dengan konsekuensi kekuatan tekan beton melemah. Volume tersembunyi seperti lapisan pelindung atau finishing estetis sering menjadi korban pemangkasan paling awal, karena secara kasat mata perubahan ini sulit terdeteksi oleh panitia atau pengawas lahan.
4.3 Outsourcing dan Subkontrak Asal-asalan
Untuk memangkas biaya tenaga kerja dan peralatan, penyedia utama menyerahkan sebagian besar pekerjaan ke subkontraktor yang menawarkan tarif murah. Masalahnya, subkontraktor ini sering memiliki kapasitas terbatas-baik dari segi SDM terlatih, peralatan memadai, maupun sistem mutu. Komunikasi antara penyedia utama dan subkontraktor juga sering bersifat “formalitas”: kontrak ditandatangani, tetapi pengawasan teknis praktis diabaikan. Akibatnya, pekerjaan lapangan dikerjakan oleh tim yang tidak familiar dengan standar kontrak, menimbulkan kesalahan teknis, ketidaksesuaian gambar kerja, bahkan pelanggaran keselamatan kerja.
4.4 Permainan Addendum
Saat kerugian margin mulai terasa-misalnya material habis lebih cepat atau waktu pengerjaan tersangkut izin-penyedia mengajukan addendum kontrak. Mereka mengeklaim adanya kondisi tak terduga: cuaca ekstrem, kendala pasokan bahan baku, atau revisi spesifikasi oleh pengguna. Lewat addendum ini, mereka memperoleh penyesuaian harga, durasi pelaksanaan, atau ruang lingkup pekerjaan baru yang menyamarkan kerugian awal. Dengan demikian, margin sempit yang dihasilkan penawaran serendah mungkin “ditutup” kembali, sementara PPK kewalahan menguji klaim teknis dan administrasi yang diajukan. Metode ini efektif menutupi jejak pemangkasan mutu karena dokumen addendum resmi menjadi pelampiasan biaya-padahal akar permasalahan adalah strategi harga ultra-rendah di awal tender.
5. Peran Pokja, PPK, dan Auditor dalam Mengontrol Mutu
Untuk memutus mata rantai pengadaan berkualitas buruk karena orientasi harga terendah, maka seluruh ekosistem pengadaan harus berperan aktif. Mulai dari:
5.1 Pokja Pemilihan: Merancang Evaluasi yang Berimbang
Pokja Pemilihan memegang peranan krusial dalam menentukan kerangka evaluasi tender. Untuk mencegah dominasi harga semata, Pokja sebaiknya mengadopsi metode Quality and Cost-Based Selection (QCBS) atau sistem nilai (scoring system) yang memberikan bobot berbeda antara aspek teknis dan harga. Misalnya, alokasikan 60 % bobot untuk kriteria teknis-seperti kesesuaian spesifikasi, metodologi pelaksanaan, pengalaman tim-dan 40 % untuk harga. Setiap sub-kriteria teknis harus diukur dengan indikator yang terukur (deliverables, sertifikat kualitas, contoh pekerjaan sebelumnya), sehingga skor menjadi objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, Pokja perlu memastikan dokumentasi rubrik penilaian tersedia untuk semua peserta, meminimalkan risiko sengketa karena dugaan subjektivitas.
5.2 PPK (Pejabat Pembuat Komitmen): Merumuskan Spesifikasi Teknis Tanpa Ambigu
Sebagai garda depan perencanaan kontrak, PPK wajib menyusun dokumen spesifikasi teknis yang rinci dan kuantitatif. Spesifikasi harus mencakup standar mutu (SNI, ISO, ASTM), ukuran atau toleransi (misalnya ketebalan aspal minimal 5 cm), serta proses kerja (metode pengecoran yang dipakai, pengujian laboratorium sebelum pelaksanaan). Hindari istilah “standar industri” tanpa referensi jelas; sebaiknya cantumkan dokumen acuan yang dapat diakses publik. Dokumen teknis yang terukur mengeliminasi interpretasi ganda dan memudahkan tim pengawas dalam melakukan verifikasi lapangan. PPK juga harus menetapkan mekanisme klarifikasi teknis-seperti sesi tanya jawab tertulis-sebelum pengumuman pemenang, untuk memastikan tidak ada ketidaksepahaman antara panitia, penyedia, dan pemakai barang/jasa.
5.3 Auditor Internal dan Eksternal: Fokus pada Audit Kinerja dan Mutu
Audit tradisional sering kali hanya memeriksa kelengkapan dokumen administrasi-SPP, kontrak, faktur-tanpa menyentuh substansi hasil pekerjaan. Auditor internal maupun eksternal harus memperluas ruang lingkup audit ke bidang kinerja: memeriksa secara fisik kualitas barang, meninjau laporan uji material, atau memeriksa kesesuaian progres pekerjaan di lapangan dengan milestone kontrak. Misalnya, pada proyek jalan, auditor dapat meminta laporan pengujian kadar campuran beton atau aspal dari laboratorium independen. Temuan audit kinerja ini harus ditindaklanjuti melalui rekomendasi perbaikan, penalti kontrak, atau bahkan pembekuan hak mengikuti tender selanjutnya. Dengan demikian, audit menjadi instrumen efektif untuk menegakkan akuntabilitas mutu, bukan sekadar formalitas administrasi belaka.
Tanpa ketegasan dalam tahap perencanaan, pemilihan, hingga pengawasan, maka pola penyedia murah-berkualitas rendah akan terus berulang.
6. Tantangan Implementasi Evaluasi Kombinasi Harga dan Mutu
Meski secara regulasi evaluasi berbasis kombinasi harga dan mutu diakomodasi, banyak instansi masih enggan menggunakannya karena:
6.1 Butuh Waktu dan SDM Ahli
Menilai aspek teknis bukanlah pekerjaan hitung-hitungan sederhana; perlu tenaga ahli yang menguasai substansi proyek-mulai dari material, metode konstruksi, hingga standar operasional. Misalnya, untuk proyek instalasi jaringan IT, diperlukan engineer yang paham protokol, kapasitas load balancing, dan keamanan siber, bukan hanya staf administrasi yang mampu menghitung angka. Proses evaluasi teknis akan mencakup pengecekan spesifikasi, verifikasi sertifikat produk, hingga tinjauan contoh hasil pekerjaan sebelumnya. Semua ini memakan waktu lebih panjang dibandingkan sekadar membandingkan harga penawaran. Jika panitia tidak menyediakan alokasi waktu yang memadai dalam jadwal tender, langkah verifikasi teknis bisa terlewat, seolah-olah menegaskan anggapan bahwa evaluasi non-harga terlalu ribet.
6.2 Takut Sengketa
Ketakutan akan gugatan atas tuduhan subjektivitas kerap membuat panitia enggan memprioritaskan penilaian teknis. Bila kriteria teknis dirasakan kurang transparan, peserta yang kalah bisa menuding poin penilaian dibuat “memojokkan” penawar tertentu. Meski QCBS dan rubrik evaluasi dapat mengurangi risiko ini, penyusunan bobot dan standar skor memerlukan dokumentasi menyeluruh, serta minimal satu kali sosialisasi dan klarifikasi selama tahapan pra-kualifikasi. Tanpa itu, panitia lebih memilih jalur aman dengan mekanisme “otomatis” berbasis harga, walaupun konsekuensinya sistemik: kualitas terabaikan, dan potensi proyek gagal semakin besar.
6.3 Minimnya Sistem Dukungan Elektronik
Sistem pengadaan elektronik (e-procurement) di banyak instansi masih difokuskan pada modul administrasi-pengunggahan dokumen, cek kelengkapan, dan perhitungan nilai otomatis-namun belum ‘canggih’ untuk menampung penilaian kualitatif kompleks. Idealnya, platform e-procurement mampu meng-handle skor teknis terperinci, melacak riwayat verifikasi sertifikat, dan mengakomodasi komentar penguji lapangan. Tanpa fitur tersebut, panitia terpaksa melakukan verifikasi teknis secara manual di luar sistem, meningkatkan risiko human error, kehilangan jejak audit, dan mempersulit transparansi. Pengembangan modul evaluasi kualitatif yang terintegrasi akan menjadi terobosan penting untuk menutup celah ini.
Namun tantangan ini bukan alasan untuk tetap bertahan pada sistem lama yang terbukti merugikan. Pembenahan harus dimulai dari peningkatan kapasitas SDM dan keberanian membuat sistem pengadaan yang lebih adil.
Kesimpulan: Murah Boleh, Asal Tidak Murahan
Fenomena penyedia dengan harga terendah namun menghasilkan kualitas terburuk merupakan salah satu tantangan klasik dalam sistem pengadaan. Praktik ini terus terjadi karena berbagai faktor: dari sistem evaluasi yang terlalu sederhana, kelemahan dalam penyusunan dokumen pemilihan, hingga minimnya pengawasan terhadap mutu barang dan jasa.
Namun bukan berarti kita tidak bisa keluar dari jebakan ini. Solusinya adalah dengan memperkuat kapasitas pengelola pengadaan, menerapkan evaluasi berbasis kombinasi harga dan mutu, serta membangun sistem yang mendukung transparansi dan akuntabilitas.
Murah memang bisa menguntungkan, tetapi hanya jika tidak mengorbankan kualitas. Kita semua-baik sebagai pemilik anggaran, penyedia, auditor, hingga masyarakat-punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan benar-benar membawa manfaat yang maksimal. Jangan sampai proyek murah justru menghasilkan hasil yang murahan.