Cara Menyusun Paket Pengadaan yang Ramah UMKM Daerah

I. Pendahuluan

Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memiliki peran penting dalam struktur ekonomi nasional. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, UMKM menyumbang lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja Indonesia. Meski kontribusinya besar, UMKM daerah masih kerap kesulitan mengakses pasar pengadaan pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah desain paket pengadaan yang tidak berpihak. Paket-paket bernilai besar, syarat kualifikasi tinggi, dan mekanisme yang rumit kerap membuat UMKM lokal tersingkir sejak awal. Padahal, pengadaan barang/jasa pemerintah adalah peluang strategis untuk memperkuat ekonomi lokal jika dirancang dengan prinsip inklusi dan keberpihakan. Desain paket pengadaan yang ramah UMKM dapat menjadi pintu masuk pemberdayaan. Dengan membagi paket besar menjadi bagian-bagian kecil, menyederhanakan persyaratan, dan memanfaatkan katalog lokal, pemerintah daerah bisa membuka ruang nyata partisipasi pelaku usaha lokal. Pertanyaannya adalah: bagaimana merancang paket pengadaan agar UMKM daerah dapat terlibat secara aktif dan adil? Artikel ini akan menjawab pertanyaan tersebut dengan menelaah regulasi, tantangan, prinsip penyusunan, hingga strategi implementasinya.

II. Landasan Regulasi dan Kebijakan Afirmasi

Keberpihakan pada UMK-Koperasi bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan mandat konstitusional. UUD 1945 pasal 33 menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, pengadaan pemerintah bukan hanya sarana memenuhi kebutuhan birokrasi, tetapi juga instrumen fiskal strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat, terutama sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi (UMK-Koperasi).

Secara hukum, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021, memberikan ruang besar bagi pelaku usaha kecil melalui berbagai kebijakan afirmatif. Tujuannya adalah menjadikan pengadaan bukan hanya efisien secara biaya, tetapi juga berdampak sosial ekonomi di tingkat lokal. Beberapa ketentuan afirmatif yang penting antara lain:

  • Pembagian paket (unbundling): Diatur dalam Pasal 65 ayat (1), yang menyatakan bahwa pengadaan barang/jasa harus diupayakan dengan membagi paket pekerjaan agar dapat diikuti oleh pelaku usaha kecil.
  • Ambang batas nilai pengadaan langsung: Barang/jasa tertentu hingga senilai Rp200 juta dapat dilakukan dengan pengadaan langsung dan diprioritaskan kepada UMK sesuai ketentuan yang berlaku.
  • Kewajiban penggunaan produk dalam negeri: Mewajibkan penggunaan produk lokal dan memberdayakan industri kecil nasional dengan menetapkan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) minimal tertentu.
  • Pemanfaatan e-katalog lokal: Pemerintah mendorong pembentukan e-katalog lokal sebagai sarana digital UMK memasarkan produk/jasanya tanpa harus bersaing dengan vendor besar nasional.
  • Preferensi UMK dan koperasi: Termasuk dalam proses evaluasi penawaran dengan bobot tambahan jika penyedia merupakan UMK atau koperasi.

Lebih jauh, LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) melalui berbagai regulasi turunannya menegaskan bahwa prinsip “value for money” tidak semata-mata berorientasi pada harga termurah, melainkan harus mempertimbangkan kualitas, keberlanjutan, dan manfaat ekonomi lokal. Artinya, menyusun paket pengadaan yang ramah UMK bukan pelanggaran efisiensi, justru bagian dari strategi kebijakan ekonomi inklusif.

III. Tantangan Penyusunan Paket bagi UMKM Daerah

Di lapangan, meskipun regulasi afirmatif telah jelas, implementasinya masih menemui banyak tantangan. Berbagai praktik penyusunan paket pengadaan justru belum berpihak pada UMK lokal. Berikut beberapa tantangan nyata yang sering dihadapi:

A. Paket Bernilai Besar dan Terlalu Terpadu

Salah satu tantangan utama adalah desain paket pengadaan yang cenderung “jumbo” atau terlalu besar dan kompleks. Seringkali, demi efisiensi waktu dan administrasi, berbagai pekerjaan dengan karakteristik berbeda disatukan dalam satu kontrak besar. Contoh nyata adalah pengadaan pembangunan gedung sekolah disatukan dengan pekerjaan pengadaan mebel, alat peraga, bahkan konsumsi rapat. Praktik ini menyulitkan UMK untuk ikut serta karena:

  • Tidak mampu menyanggupi seluruh lingkup pekerjaan.
  • Terbentur dengan kualifikasi teknis dan keuangan yang berat.
  • Terpaksa harus bermitra dengan vendor besar, sering kali hanya sebagai subkontraktor tanpa posisi tawar.

B. Persyaratan Kualifikasi Terlalu Tinggi

Banyak paket pengadaan mensyaratkan kualifikasi yang terlalu tinggi, tidak sebanding dengan nilai pekerjaan. Misalnya, untuk paket pengadaan senilai Rp300 juta, Pokja mensyaratkan:

  • Pengalaman sejenis minimal 5 tahun.
  • Omzet perusahaan lebih dari Rp2 miliar.
  • Tenaga ahli bersertifikat nasional.

Kondisi ini tentu menyulitkan pelaku UMK, yang baru tumbuh dan tidak memiliki rekam jejak panjang. Akibatnya, mereka tersingkir sejak tahap awal evaluasi administrasi. Padahal, untuk pekerjaan dengan kompleksitas rendah, seharusnya kualifikasi disesuaikan secara proporsional.

C. Dominasi Penyedia Luar Daerah

Praktik paket besar dan persyaratan tinggi membuka peluang dominasi penyedia luar daerah yang memiliki:

  • Akses permodalan lebih kuat.
  • Jaringan distribusi dan tenaga kerja yang lebih luas.
  • Tim administratif yang andal dalam mengikuti proses tender.

Sementara itu, UMK lokal kerap kesulitan mengikuti kompetisi karena keterbatasan SDM, akses teknologi, dan pemahaman prosedur e-procurement. Akibatnya, dana belanja pemerintah tidak banyak berputar di daerah sendiri, tetapi justru keluar ke kota besar atau pusat.

D. Mindset Pokja/PPK Masih Konservatif

Sebagian besar tantangan juga bersumber dari pola pikir Pokja dan PPK yang konservatif dan terlalu berhati-hati. Mereka cenderung memilih vendor besar yang sudah “terbukti”, karena:

  • Menganggap vendor besar lebih minim risiko gagal.
  • Merasa menyusun banyak paket kecil menyulitkan proses pengadaan.
  • Takut dianggap memecah paket secara tidak sah (padahal secara aturan justru diperbolehkan untuk membuka akses UMK).

Padahal, dengan pembagian paket yang tepat dan justifikasi rasional, pengadaan ramah UMK tetap dapat dilakukan secara sah dan transparan. Dibutuhkan perubahan pola pikir dan keberanian untuk mencoba desain paket yang lebih inklusif.

IV. Prinsip-prinsip Penyusunan Paket yang Ramah UMKM

Desain paket pengadaan yang ramah UMKM bukan sekadar memecah nilai proyek, melainkan juga menata seluruh proses agar inklusif, proporsional, dan berpihak pada pelaku usaha kecil daerah. Berikut prinsip-prinsip praktis yang harus dipahami dan diterapkan oleh perencana, PPK, dan Pokja:

A. Pecah Paket Sesuai Jenis dan Skala

Salah satu penyebab utama UMKM gagal bersaing dalam pengadaan adalah karena paket pekerjaan dibuat terlalu besar atau terlalu kompleks. Prinsip pertama adalah memecah paket berdasarkan jenis pekerjaan, lokasi, atau segmentasi logis lainnya. Strategi ini tidak hanya membuka ruang bagi lebih banyak pelaku usaha kecil, tetapi juga menjaga efisiensi tanpa mengorbankan kualitas.

Contoh:

  • Pengadaan konsumsi rapat: Jangan disatukan seluruh OPD dalam satu kontrak. Buat per OPD atau per triwulan agar UMKM lokal bisa berpartisipasi.
  • Pengadaan pakaian dinas: Pisahkan antara seragam harian, jaket, dan atribut seperti topi atau sepatu. Masing-masing bisa digarap oleh UMKM berbeda.
  • Renovasi gedung: Untuk perbaikan ringan, paket bisa dibagi per lantai, per ruangan, atau per gedung, agar tidak perlu SIUJK untuk pekerjaan konstruksi kecil.

Strategi ini bukan hanya adil bagi UMKM, tetapi juga mengurangi risiko ketergantungan pada vendor besar, serta menumbuhkan rantai pasok lokal.

B. Syarat Kualifikasi yang Proporsional

Sering kali Pokja menetapkan persyaratan yang tidak relevan dengan jenis atau nilai pekerjaan. Misalnya, mengharuskan pengalaman minimal tiga tahun, sertifikasi badan usaha, atau modal kerja tertentu untuk pekerjaan pengadaan konsumsi atau sablon kaos.

Untuk mendorong UMKM lokal, penting untuk:

  • Menyesuaikan syarat dengan nilai dan kompleksitas pekerjaan.
  • Menghapus syarat pengalaman, omzet, atau peralatan berat untuk paket kecil.
  • Tidak mensyaratkan SIUJK untuk pekerjaan bangunan non-struktural di bawah nilai tertentu.
  • Menghindari persyaratan teknis yang hanya bisa dipenuhi oleh vendor besar nasional.

Dengan penyusunan kualifikasi yang tepat sasaran, UMKM tidak akan tersisih hanya karena aspek administratif.

C. Pemilihan Metode Pengadaan yang Tepat

Pemilihan metode pengadaan sangat berpengaruh terhadap aksesibilitas UMKM. Oleh karena itu, disarankan:

  • Pengadaan langsung untuk paket bernilai ≤ Rp200 juta sangat cocok bagi UMKM. Gunakan mekanisme ini secara maksimal untuk barang/jasa rutin.
  • Penunjukan langsung bisa dipakai untuk koperasi yang telah dipercaya dan memiliki rekam jejak baik.
  • Tender terbatas berbasis wilayah adalah strategi afirmatif untuk membatasi peserta hanya dari kabupaten/kota yang bersangkutan, sehingga penyedia lokal lebih memiliki peluang.

Metode pengadaan harus dipilih tidak hanya berdasarkan nilai anggaran, tetapi juga dampaknya terhadap pemberdayaan ekonomi daerah.

D. Dorong Penggunaan E-Katalog Lokal dan Marketplace Daerah

E-katalog lokal adalah instrumen strategis untuk memajukan produk dan jasa UMKM di era digital. Pemerintah daerah dapat:

  • Membentuk e-katalog lokal dengan produk sesuai kebutuhan OPD: seragam, ATK, konsumsi, jasa kebersihan, souvenir kegiatan.
  • Melibatkan dinas koperasi dan asosiasi usaha untuk mengkurasi dan mendampingi pelaku usaha agar masuk ke katalog.
  • Mengembangkan marketplace lokal yang dikelola UKPBJ atau bekerja sama dengan startup lokal, sebagai platform transaksi antara OPD dan pelaku usaha daerah.

Ini akan memotong ketergantungan pada vendor nasional yang sering mendominasi e-katalog nasional.

E. Contoh Praktik Baik di Daerah

Beberapa daerah telah berhasil menerapkan prinsip-prinsip di atas, antara lain:

  • Kabupaten Banyuwangi: Menyusun katalog digital makanan-minuman berbasis UMKM binaan. Hasilnya, belanja konsumsi rapat seluruh OPD dialihkan ke penyedia lokal.
  • Kota Semarang: Dalam pengadaan jasa kebersihan gedung, kontrak dipisah per gedung dan diutamakan untuk koperasi lokal. Selain memberi pekerjaan, juga memperkuat ekonomi kelembagaan.
  • Kota Bima: Membuka tender seragam ASN per jenis dan wilayah, memungkinkan lima penjahit lokal mengerjakan pesanan dalam waktu bersamaan.

Contoh-contoh ini membuktikan bahwa desain paket yang ramah UMKM bukanlah teori semata, tetapi bisa diterapkan dengan hasil nyata di lapangan.

V. Strategi Implementasi di Lapangan

Prinsip penyusunan paket hanya akan berdampak jika dijalankan dengan strategi implementasi yang konkret dan terukur. Dibutuhkan pendekatan menyeluruh: mulai dari dokumen perencanaan hingga pelibatan pelaku usaha.

A. Susun KAK yang Sederhana dan Tidak Memberatkan

Kerangka Acuan Kerja (KAK) menjadi acuan utama dalam dokumen pemilihan. Banyak UMKM gagal ikut tender karena KAK dibuat dengan bahasa teknis, rumit, dan sarat persyaratan tak relevan. Oleh karena itu:

  • Gunakan bahasa yang lugas dan operasional, hindari istilah hukum atau teknis yang tidak familiar.
  • Fokus pada output dan kualitas hasil, bukan hanya prosedur kerja.
  • Hindari menyalin KAK proyek besar ke dalam pengadaan sederhana.

Misalnya, untuk pengadaan jasa katering, cukup tuliskan standar gizi, kebersihan, waktu pengiriman, dan varian menu tanpa harus memuat syarat HACCP atau sistem manajemen mutu ISO jika tidak relevan.

B. Sosialisasi dan Edukasi bagi UMKM

UMKM sering gagal bukan karena tidak mampu, tapi karena tidak tahu cara ikut. Pemerintah daerah harus:

  • Mengadakan forum UMKM dan OPD secara rutin untuk menyampaikan daftar peluang pengadaan yang akan datang.
  • Melatih UMKM membuat akun di LPSE, e-katalog, dan menyusun dokumen penawaran.
  • Menggunakan bahasa lokal, media sosial, dan influencer lokal untuk menjangkau lebih banyak pelaku usaha.

Libatkan Dinas Koperasi, Dinas Perindustrian, dan organisasi UMKM dalam menyelenggarakan pelatihan agar lebih dekat dengan kebutuhan pelaku usaha.

C. Monitoring dan Evaluasi Realisasi Belanja UMKM

Tidak cukup hanya menyusun paket ramah UMKM. Perlu mekanisme monitoring rutin terhadap realisasi porsi belanja ke UMKM, seperti:

  • Setiap OPD diwajibkan melaporkan belanja ke UMKM per triwulan.
  • UKPBJ membangun dashboard digital yang menampilkan progres belanja afirmatif.
  • Pemda menetapkan target tahunan, misalnya minimal 40% pengadaan diarahkan ke UMKM, sesuai arahan Perpres.

Monitoring yang transparan akan membangun akuntabilitas dan menjadi dasar evaluasi kebijakan afirmasi di masa depan.

D. Bangun Sinergi Antar-Instansi

Kunci keberhasilan terletak pada kolaborasi. Beberapa peran kunci:

  • UKPBJ: menyusun strategi pengadaan afirmatif, mengatur metode dan struktur paket.
  • Dinas Koperasi dan UMKM: melakukan pendampingan dan pembinaan pelaku usaha lokal.
  • OPD teknis: menyampaikan kebutuhan riil, mengidentifikasi peluang paket sederhana.
  • Bagian perencanaan: memastikan bahwa RUP sejak awal memuat peluang afirmatif.

Sinergi ini harus dibingkai dalam pertemuan rutin, target kinerja lintas sektor, serta reward bagi unit yang sukses meningkatkan partisipasi UMKM.

VI. Kesimpulan

Desain paket pengadaan memiliki peran strategis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi lokal. Ketika paket dirancang dengan memperhatikan kapasitas UMKM, maka pemerintah daerah tidak hanya belanja, tetapi juga memberdayakan. Keberpihakan tidak berarti menurunkan kualitas, melainkan membuka akses yang adil. Dengan pendekatan afirmatif dan kreatif, pejabat pengadaan dapat menjadi agen perubahan yang nyata bagi ekonomi daerah. Sudah saatnya perencana pengadaan, Pokja, dan PPK mengubah cara pandang: dari sekadar menyusun tender, menjadi arsitek pembangunan ekonomi lokal. Mari wujudkan pengadaan yang inklusif, berkeadilan, dan berpihak pada UMKM daerah.

Bagikan tulisan ini jika bermanfaat