I. Pendahuluan
Era digital telah membawa perubahan signifikan dalam sistem pengadaan barang/jasa pemerintah. Salah satu inovasi utama adalah penggunaan e-katalog, platform elektronik yang memuat daftar produk dan layanan beserta spesifikasi, harga, dan penyedia resmi. E-katalog membantu mempercepat proses pengadaan, meningkatkan transparansi, dan menekan potensi korupsi. Seiring berkembangnya kebutuhan spesifik sektor-misalnya kesehatan, konstruksi, pendidikan, dan transportasi-bermunculan e-katalog sektoral, yang menyajikan produk/layanan khusus sesuai karakteristik sektor tersebut. Namun, ketika setiap daerah mengembangkan e-katalog sektoral independen, muncul tantangan: redundansi data, skala ekonomi kecil, dan variasi harga yang lebar. Kolaborasi antar-daerah pada e-katalog sektoral adalah solusi untuk mengatasi tantangan tersebut. Dengan bersinergi, pemerintah daerah dapat berbagi data, menyatukan daya beli, serta memfasilitasi UMKM lokal lintas wilayah. Artikel ini akan membahas secara mendalam bagaimana kolaborasi antar-daerah dalam e-katalog sektoral dapat diimplementasikan, regulasi pendukung, manfaat, tantangan, praktik baik, hingga rekomendasi strategi.
II. Landasan Regulasi dan Kebijakan
A. Perpres PBJ dan Mandat E-Katalog
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang diperbarui dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021, menjadi fondasi utama penerapan e-katalog. Perpres ini mengamanatkan bahwa pengadaan barang/jasa harus mengedepankan prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas-semua prinsip ini sangat selaras dengan mekanisme e-katalog. Dalam pelaksanaannya, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) bertanggung jawab menyediakan e-katalog nasional yang terintegrasi. Namun, Perpres juga membuka ruang bagi pemerintah daerah dan kementerian/lembaga untuk mengembangkan e-katalog lokal, sektoral, maupun sektoral antar-daerah. Ini menciptakan peluang inovatif di level daerah untuk menyesuaikan katalog dengan kebutuhan riil dan potensi lokal. Empat prinsip utama tetap menjadi panduan dalam pembentukan e-katalog sektoral:
- Transparansi: Seluruh harga, spesifikasi, dan vendor tersedia terbuka dan seragam untuk seluruh pengguna dari berbagai daerah.
- Akuntabilitas: Setiap transaksi, proses pemilihan, hingga histori pembelian terdokumentasi dan dapat diaudit.
- Efisiensi: Proses pengadaan dipercepat karena pemilihan penyedia cukup melalui klik, tanpa tahapan tender konvensional.
- Keberpihakan terhadap UMKM: Memungkinkan pelibatan UMKM lokal sebagai penyedia resmi dengan persyaratan administrasi yang lebih sederhana.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa e-katalog bukan hanya alat administratif, melainkan kebijakan strategis untuk mendorong transformasi belanja pemerintah menjadi lebih responsif, adaptif, dan inklusif.
B. Perda dan Perkada Inovasi E-Katalog Daerah
Sejumlah pemerintah daerah telah melangkah lebih maju dengan menerbitkan regulasi khusus yang menjadi payung hukum pelaksanaan e-katalog lokal maupun sektoral. Baik melalui Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbup), hingga Keputusan Kepala Dinas, dokumen regulatif ini memberikan legitimasi dan kejelasan operasional dalam pelaksanaan e-katalog sektoral. Beberapa contoh praktik regulasi inovatif tersebut antara lain:
- Perda e-Katalog Sektoral Kesehatan: Di beberapa provinsi seperti Jawa Barat dan Jawa Timur, Perda ini mengatur prosedur kurasi dan verifikasi penyedia alat kesehatan, alat habis pakai, dan jasa perawatan kesehatan, yang kemudian dikatalogkan bersama antar-Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
- Perkada e-Katalog Konstruksi Sektoral: Misalnya di Sumatera Selatan, Peraturan Bupati menetapkan e-katalog sektoral untuk bidang infrastruktur yang memuat daftar penyedia semen, besi, aspal, hingga alat berat dan jasa rental.
- Instruksi Kepala Daerah tentang Penggunaan e-Katalog Lokal: Di beberapa kota, kepala daerah menginstruksikan agar belanja dinas dilakukan melalui katalog lokal terlebih dahulu sebelum mengakses katalog nasional.
Regulasi ini bukan hanya mendukung efisiensi pengadaan, tapi juga membuka ruang kolaborasi:
- Antar-Dinas Kesehatan provinsi dan kabupaten/kota dalam membentuk katalog obat bersama.
- Antar-Dinas Pendidikan dalam membangun katalog alat peraga pendidikan dan perlengkapan sekolah.
- Antar-Dinas PUPR dalam menyatukan kebutuhan bahan konstruksi dan jasa pemeliharaan jalan.
Dengan kerangka hukum yang jelas, kolaborasi antar-daerah melalui e-katalog sektoral dapat dilakukan dengan dasar legal yang kuat, menghindari konflik kepentingan, serta memastikan transparansi lintas wilayah.
III. Manfaat Kolaborasi Antar-Daerah
A. Skala Ekonomi dan Harga Kompetitif
Salah satu manfaat utama dari kolaborasi antar-daerah dalam e-katalog sektoral adalah tercapainya skala ekonomi. Dengan menggabungkan permintaan dari berbagai daerah, volume pembelian barang atau jasa meningkat signifikan. Hal ini memberikan posisi tawar yang lebih tinggi kepada pengguna anggaran, karena penyedia dapat memberikan harga lebih kompetitif dalam bentuk diskon volume atau efisiensi logistik. Sebagai ilustrasi, jika lima kabupaten di satu provinsi sepakat menggunakan katalog sektoral untuk pengadaan seragam sekolah atau alat kesehatan, maka penyedia bisa merencanakan produksi massal dalam satu waktu. Biaya produksi, distribusi, dan logistik bisa ditekan, sehingga harga jual ke pemerintah daerah menjadi lebih murah dibanding pembelian individual. Model ini serupa dengan pendekatan pembelian konsorsium yang diterapkan di sektor swasta dan negara maju. Pemerintah daerah memperoleh keuntungan dari sinergi ini tanpa harus kehilangan otonomi dalam menentukan kebutuhan teknisnya.
B. Standarisasi Spesifikasi Sektoral
Kolaborasi lintas daerah juga memfasilitasi proses standardisasi teknis dalam pengadaan barang dan jasa. Misalnya, Dinas Kesehatan dari berbagai kabupaten dapat menyepakati standar minimum untuk alat kesehatan seperti tensimeter digital, inkubator, atau alat tes darah. Dengan spesifikasi yang seragam, penyedia tidak perlu menyesuaikan produk untuk masing-masing kabupaten. Manfaat langsung dari standarisasi ini adalah:
- Mempercepat proses kurasi dan verifikasi produk.
- Memudahkan monitoring dan audit karena parameter teknis seragam.
- Mempermudah proses penggantian atau distribusi antar-daerah saat darurat.
Selain itu, standarisasi juga mendukung jaminan mutu dan keselamatan. Terutama di sektor seperti kesehatan, konstruksi, dan pendidikan, di mana spesifikasi teknis sangat mempengaruhi efektivitas layanan publik.
C. Optimalisasi Keberpihakan UMKM Lintas Wilayah
Dengan e-katalog sektoral, UMKM lokal di suatu daerah dapat memperluas pasarnya ke daerah lain secara legal dan sistemik. Misalnya, produsen alat tulis dari Kota A bisa menjual produknya ke Kota B, C, dan D jika ketiganya tergabung dalam katalog sektoral pendidikan. Hal ini mendorong:
- Ekspansi pasar bagi UMKM tanpa harus mengikuti tender di tiap daerah.
- Meningkatkan kualitas produk karena kompetisi sehat antar-UMKM regional.
- Pembentukan ekosistem ekonomi regional berbasis pengadaan pemerintah.
Kondisi ini sekaligus memperkuat semangat pemerataan ekonomi, karena pelaku usaha dari daerah kecil bisa terhubung dengan pasar yang lebih besar melalui kolaborasi pengadaan.
D. Efisiensi Pengelolaan dan Pengembangan Sistem
Pengembangan dan pemeliharaan sistem e-katalog memerlukan biaya dan tenaga yang tidak sedikit: mulai dari pengelolaan server, pelatihan admin, pemutakhiran data, hingga pengembangan fitur baru. Kolaborasi antar-daerah memungkinkan:
- Berbagi biaya pengembangan dan maintenance sistem IT.
- Pemanfaatan data bersama untuk analisis kebutuhan dan performa penyedia.
- Koordinasi dalam pelatihan operator dan pengguna sistem.
Alih-alih tiap daerah membangun sistem sendiri, kolaborasi dalam satu platform sektoral memungkinkan efisiensi besar dalam waktu, biaya, dan sumber daya manusia. Keuntungan lain: data transaksi bisa dikompilasi untuk membuat laporan sektoral yang bisa menjadi dasar kebijakan nasional di sektor tersebut.
IV. Tantangan dan Risiko
Kolaborasi antar-daerah dalam e-katalog sektoral memang menjanjikan efisiensi dan pemerataan akses bagi UMKM, namun bukan tanpa tantangan. Tantangan ini bersifat struktural, teknologis, maupun kelembagaan, dan perlu mitigasi sejak tahap perencanaan.
A. Sinkronisasi Regulasi dan SOP
Setiap daerah memiliki Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang berbeda-beda terkait pengadaan. SOP dan kebijakan internal antara satu pemerintah daerah dan lainnya belum tentu sejalan.
- Contoh masalah: Satu kabupaten mewajibkan verifikasi fisik barang oleh tim teknis, sedangkan daerah lain cukup berdasarkan dokumentasi elektronik. Ketidaksamaan ini menimbulkan kebingungan bagi penyedia yang harus memenuhi dua standar berbeda untuk barang yang sama.
- Risiko: Tanpa harmonisasi, kolaborasi justru menimbulkan delay dalam pelaksanaan kontrak dan mempersulit penyedia.
- Solusi: Penyusunan SOP bersama dan dokumen acuan teknis (standar spesifikasi, uji mutu, dan prosedur pembayaran) sebagai hasil konsensus daerah yang tergabung dalam katalog sektoral.
B. Teknologi dan Integrasi Sistem
Platform IT yang digunakan antar daerah seringkali berbeda, baik dari sisi vendor sistem, database, hingga model API.
- Masalah umum: Sistem milik satu daerah tidak kompatibel dengan sistem mitra karena beda vendor, format file, atau bahasa pemrograman.
- Risiko: Data harga, volume, dan transaksi tidak sinkron; dashboard monitoring tidak dapat menggabungkan data real-time.
- Solusi: Penggunaan cloud-based platform dengan dukungan OpenAPI, sehingga integrasi dapat dilakukan melalui endpoint terbuka. Adopsi arsitektur modular juga memungkinkan sistem daerah tetap berdiri sendiri namun tetap terhubung secara nasional.
C. Kepemilikan Data dan Tata Kelola (Governance)
Dalam kerja sama multidaerah, pertanyaan muncul: siapa yang bertanggung jawab atas database penyedia, transaksi, dan evaluasi kinerja?
- Masalah: Jika katalog sektoral gagal, siapa yang menanggung kerugiannya? Jika terjadi sengketa harga, siapa yang berwenang menyelesaikan?
- Solusi:
- Bentuk lembaga pengelola bersama (joint secretariat) yang bertugas menjaga integritas data dan memfasilitasi pengambilan keputusan.
- Kepemilikan data diatur dengan Data Use Agreement, agar akses dan perubahan data dilakukan secara bertanggung jawab.
D. Persaingan Usaha dan Risiko Monopoli
Kolaborasi lintas daerah dapat menciptakan kondisi “pemenang tetap” jika hanya segelintir vendor yang masuk katalog bersama.
- Risiko: Penyedia kecil tertutup karena spesifikasi dan skala terlalu besar. Jika hanya beberapa vendor yang menang, bisa terjadi kartel harga.
- Solusi:
- Batasi volume maksimum per vendor untuk satu jenis barang.
- Wajibkan pembagian klaster wilayah distribusi agar UMKM lokal tetap punya ruang.
- Audit periodik oleh pengawas independen terhadap struktur harga dan distribusi transaksi.
V. Praktik Baik Kolaborasi
Untuk memahami potensi nyata kolaborasi katalog sektoral, beberapa studi kasus berikut menunjukkan hasil konkret dan inspiratif.
A. Konsorsium e-Katalog Sektoral Kesehatan Jawa-Bali
Pada 2023, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali membentuk konsorsium pengadaan alat kesehatan seperti tempat tidur pasien, autoclave, dan USG.
- Dampak:
- Volume belanja gabungan naik 150% dibanding jika belanja dilakukan terpisah.
- Harga rata-rata alat turun 12%, dengan kualitas barang tetap tinggi.
- Keunikan:
- Setiap Dinkes masih memiliki otoritas kontraktual sendiri, namun menggunakan price ceiling bersama dan sistem call-off yang sama.
B. Jaringan Pengadaan Bahan Bangunan Sumatera
Empat provinsi (Sumut, Riau, Sumbar, Jambi) mengintegrasikan e-katalog konstruksi sektoral pada tahun 2022.
- Fitur unggulan:
- Dynamic pricing: harga otomatis mengikuti indeks harga konstruksi BPS.
- Penyedia lokal diberikan kuota minimum partisipasi pada setiap subkategori barang (pasir, semen, besi, alat berat).
- Hasil:
- Waktu pemrosesan pengadaan turun dari rata-rata 42 hari ke 17 hari.
- Tingkat keterlibatan UMKM lokal naik 27%.
C. Aliansi E-Katalog Pendidikan MTs/SMP
Enam kabupaten/kota di Jawa Barat bekerja sama dalam katalog sektoral perangkat pendidikan seperti komputer, proyektor, dan tablet untuk ruang kelas.
- Pendekatan:
- Penetapan spesifikasi bersama berdasarkan kurikulum nasional.
- Pembentukan konsorsium belanja per semester agar sekolah kecil tetap memiliki daya beli.
- Capaian:
- Efisiensi pengadaan hingga Rp 4,2 miliar dalam satu tahun anggaran.
- Tersedia after-sales service yang sama di semua daerah berkat syarat SLA bersama.
VI. Rekomendasi Strategi Implementasi
Agar kolaborasi katalog sektoral dapat diadopsi luas, sejumlah strategi berikut dapat menjadi acuan:
A. Pembentukan Steering Committee Regional
- Tugasnya: merumuskan arah kebijakan, menyusun prioritas sektor, dan mengawasi pelaksanaan katalog sektoral.
- Komposisi: perwakilan pemerintah daerah, LKPP, asosiasi penyedia (misal: GAKESLAB, GAPEKSINDO), dan dinas sektoral.
B. Kerangka Hukum Bersama
- Buat Nota Kesepahaman (MoU) antar daerah sebagai dasar legal.
- Turunkan ke Perkada masing-masing agar sesuai dengan perencanaan dan pelaporan APBD.
- Sertakan klausul pembagian risiko dan mekanisme dispute resolution.
C. Standar Data dan Platform Terpadu
- Adopsi referensi klasifikasi produk seperti HS Code atau UNSPSC.
- Gunakan satu platform cloud-based dengan kemampuan multi-tenant, sehingga tiap daerah punya dashboard sendiri, tetapi sumber datanya sama.
- Pastikan enkripsi dan autentikasi pengguna disesuaikan standar ISO keamanan informasi.
D. Capacity Building dan Pendampingan
- Adakan pelatihan teknis bersama untuk admin katalog dan pokja.
- Bangun jaringan fasilitator daerah untuk mentoring penyedia UMKM.
- Kolaborasi dengan perguruan tinggi untuk pengembangan kurikulum procurement digital.
E. Mekanisme Pembiayaan Bersama
- Terapkan cost-sharing model untuk pengembangan sistem IT dan pelatihan.
- Gunakan konsorsium anggaran untuk pengadaan sektor strategis seperti kesehatan atau pendidikan.
VII. Kesimpulan
Kolaborasi antar-daerah dalam e-katalog sektoral bukan sekadar inovasi teknis, tetapi representasi dari paradigma baru dalam pengadaan barang/jasa pemerintah: lebih sinergis, inklusif, dan strategis. Dengan menggabungkan kekuatan belanja, menyelaraskan regulasi, serta memanfaatkan teknologi digital, pemerintah daerah dapat menekan biaya, mempercepat proses, dan memperluas akses pasar bagi UMKM lokal.
Namun, untuk mencapai manfaat tersebut, kolaborasi ini harus dibangun di atas fondasi kelembagaan yang kuat: adanya steering committee lintas daerah, sistem informasi yang terintegrasi, dan kerangka hukum yang jelas. Selain itu, penting pula untuk menjamin prinsip-prinsip fair competition, akuntabilitas, dan transparansi agar kepercayaan publik tetap terjaga.
Kolaborasi e-katalog sektoral adalah wujud nyata transformasi pengadaan menjadi lebih adaptif dan pro-rakyat. Bila dijalankan dengan komitmen tinggi dan kepemimpinan lintas wilayah, kolaborasi ini dapat menjadi model nasional bagi efisiensi, keberpihakan UMKM, dan pembangunan ekonomi daerah berbasis kekuatan kolektif.