Pendahuluan
Dalam konteks tata kelola pengadaan barang dan jasa yang efisien, adil, dan akuntabel, salah satu elemen penentu keberhasilan proses tersebut adalah keakuratan dalam mengevaluasi aspek harga. Harga menjadi representasi nilai yang harus sepadan dengan spesifikasi teknis, kualitas barang atau jasa, serta risiko pelaksanaan yang melekat. Sayangnya, dalam praktiknya, banyak ditemui situasi di mana harga yang ditawarkan peserta tender tampak tidak mencerminkan realitas pasar, baik karena terlalu rendah secara ekstrem maupun justru terlalu tinggi dan melampaui kewajaran. Fenomena ini dikenal sebagai harga tidak wajar, dan bila tidak ditangani secara cermat, dapat menimbulkan sejumlah konsekuensi negatif yang serius, mulai dari kerugian negara, pemborosan anggaran publik, kegagalan proyek, hingga potensi tindak pidana korupsi.
Harga yang tidak wajar sering kali tidak dapat dideteksi hanya dengan sekadar mengamati angka nominalnya secara sekilas. Evaluator harus memiliki pemahaman kontekstual dan metodologis yang kuat untuk membedakan antara harga yang agresif namun masih rasional dengan harga yang benar-benar menyimpang dari norma pasar. Oleh karena itu, diperlukan sistem evaluasi harga yang andal dan metodologi yang komprehensif dalam menilai kewajaran harga yang ditawarkan. Artikel ini akan menyajikan panduan praktis serta wawasan teknis mengenai bagaimana mengevaluasi harga yang tidak wajar dengan prosedur yang sistematis, mulai dari mengenali karakteristiknya, menggunakan teknik analisis yang tepat, hingga merumuskan langkah-langkah perbaikan dan pencegahan dalam siklus pengadaan yang berkelanjutan.
1. Memahami Karakteristik Harga Tidak Wajar
Harga tidak wajar dalam pengadaan umumnya terbagi dalam dua kategori utama yang memiliki karakteristik dan implikasi yang sangat berbeda, yaitu harga terlalu rendah (underpricing) dan harga terlalu tinggi (overpricing). Keduanya dapat menjadi indikator adanya ketidakwajaran dalam proses perhitungan harga oleh penyedia, baik karena ketidaktahuan, kesalahan kalkulasi, strategi manipulatif, maupun karena motivasi lain yang kurang sehat secara etika maupun legalitas.
- Underpricing, atau penawaran harga yang terlalu rendah dibandingkan dengan HPS atau harga pasar yang berlaku, seringkali dipandang sekilas sebagai tawaran yang menguntungkan karena terlihat hemat dari sisi anggaran. Namun, di balik harga rendah tersebut bisa tersembunyi risiko-risiko besar. Penyedia yang memberikan harga terlalu rendah mungkin melakukannya karena ingin memenangkan proyek dengan cara yang agresif, tanpa mempertimbangkan kelayakan finansial untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai kualitas dan waktu yang diharapkan. Dalam beberapa kasus, penyedia bisa saja mengorbankan kualitas bahan, mempekerjakan tenaga kerja tidak terlatih, atau bahkan meninggalkan proyek di tengah jalan. Underpricing juga bisa menjadi strategi awal untuk mendapatkan kontrak, yang kemudian diikuti oleh permintaan addendum, eskalasi biaya, atau permintaan kompensasi tambahan selama pelaksanaan.
- Overpricing atau harga yang terlalu tinggi juga tidak bisa dianggap remeh. Ini bisa menjadi indikasi bahwa penyedia tidak memahami struktur biaya yang efisien, atau lebih buruk lagi, ada indikasi rekayasa harga, mark-up, atau bahkan praktik kolusi dengan oknum pengadaan. Overpricing mengakibatkan inefisiensi anggaran dan membuat proyek menjadi jauh lebih mahal dari nilai manfaatnya. Terutama dalam pengadaan yang menggunakan dana publik, harga tinggi yang tidak didukung oleh spesifikasi teknis yang superior dapat menimbulkan pertanyaan serius dari sisi akuntabilitas.
Karena itu, untuk menilai apakah suatu harga termasuk dalam kategori tidak wajar, organisasi pengadaan perlu melengkapi dirinya dengan berbagai sumber pembanding seperti data historis proyek, informasi pasar terkini, harga dalam e‑katalog, serta survei lapangan. Kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif inilah yang akan membantu membedakan antara penawaran kompetitif dan penawaran yang berpotensi merugikan.
2. Metode Analisis dan Deteksi Harga Tidak Wajar
Mendeteksi harga tidak wajar tidak dapat hanya mengandalkan perasaan atau intuisi evaluator, melainkan harus berbasis pada pendekatan ilmiah, metodologis, dan berbasis data yang kuat. Proses deteksi harga tidak wajar sebaiknya dilakukan secara sistematis, dimulai dari tahap identifikasi awal hingga konfirmasi berdasarkan berbagai sumber data dan pendekatan kuantitatif. Beberapa metode analisis berikut ini menjadi pilar penting dalam menyusun sistem deteksi harga tidak wajar yang andal.
a. Perbandingan dengan Data Historis
Salah satu metode paling dasar namun efektif adalah dengan membandingkan penawaran saat ini dengan proyek-proyek terdahulu yang memiliki ruang lingkup, lokasi, dan waktu pelaksanaan yang sebanding. Misalnya, jika dalam proyek sebelumnya pengadaan server dengan spesifikasi tertentu menghabiskan dana sekitar Rp300 juta per unit, maka penawaran yang jauh di atas atau di bawah nilai tersebut perlu ditelusuri alasannya. Tentu saja perbandingan ini harus mempertimbangkan faktor inflasi, dinamika harga bahan baku, maupun kondisi pasar terkini. Penting juga agar data historis yang digunakan berasal dari sumber yang kredibel dan telah tervalidasi.
b. Referensi dari E‑Katalog dan SIRUP
E-katalog LKPP dan sistem informasi SIRUP merupakan alat bantu yang sangat penting dalam mengevaluasi kewajaran harga. E-katalog menyediakan harga referensi barang/jasa yang telah melewati proses verifikasi dan negosiasi oleh lembaga pengadaan nasional. Jika penawaran berada jauh di bawah atau di atas harga e‑katalog, maka itu adalah sinyal awal yang perlu dianalisis lebih lanjut. Sementara itu, SIRUP memberikan informasi tentang rencana umum pengadaan instansi lain, yang dapat menjadi acuan untuk benchmarking horizontal dalam skala nasional.
c. Analisis Statistik Sederhana
Untuk proyek dengan jumlah peserta tender yang cukup banyak, evaluator dapat menggunakan metode statistik dasar seperti menghitung rata-rata (mean), nilai tengah (median), simpangan baku (standard deviation), serta kuartil untuk mengidentifikasi outlier. Contohnya, jika sebagian besar peserta menawar di kisaran Rp950 juta-Rp1,050 juta, namun ada satu penyedia menawar Rp500 juta, maka penawaran tersebut dapat dicurigai sebagai outlier dan perlu dievaluasi lebih lanjut. Dalam beberapa kasus, evaluator dapat menetapkan batas atas dan bawah berdasarkan dua simpangan baku dari rata-rata untuk menentukan kisaran harga yang dapat diterima secara statistik.
d. Survei Pasar Aktual
Pendekatan lapangan seperti melakukan survei harga kepada vendor yang tidak ikut tender juga dapat memberikan perspektif yang lebih realistis tentang kondisi harga di pasar. Metode ini sangat berguna ketika tidak tersedia data historis yang relevan atau ketika barang/jasa bersifat sangat spesifik dan tidak umum. Survei pasar sebaiknya dilakukan secara terstruktur, dengan formulir standar, dan meminta penawaran dari minimal tiga penyedia berbeda untuk menjamin objektivitas dan kredibilitas data.
Dengan menerapkan keempat pendekatan tersebut secara komplementer, evaluator akan memiliki dasar yang kuat untuk menyimpulkan apakah suatu penawaran harga tergolong wajar atau tidak, serta dapat menyusun argumen yang dapat dipertanggungjawabkan secara administratif dan hukum.
3. Langkah-Langkah Evaluasi Harga Tidak Wajar
Ketika panitia pengadaan menemukan indikasi harga tidak wajar dalam penawaran yang diajukan oleh peserta tender, maka langkah-langkah evaluatif yang diambil tidak boleh bersifat reaktif dan subjektif. Sebaliknya, pendekatan yang diambil harus sistematis, terdokumentasi dengan baik, dan berbasis pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan perlakuan adil terhadap seluruh peserta. Penanganan yang tidak tepat bukan hanya dapat menimbulkan sengketa di kemudian hari, tetapi juga berpotensi menciderai integritas proses pengadaan secara keseluruhan. Oleh karena itu, berikut ini adalah tahapan evaluasi yang dapat dilakukan panitia ketika menemukan penawaran harga yang tampak menyimpang dari kewajaran.
a. Klarifikasi Tertulis secara Resmi dan Terstruktur
Langkah pertama adalah dengan mengirimkan surat resmi kepada penyedia yang mengajukan penawaran dengan harga mencurigakan-baik terlalu rendah maupun terlalu tinggi-untuk meminta penjelasan secara tertulis. Dalam permintaan klarifikasi ini, panitia harus secara spesifik meminta agar penyedia menjelaskan secara rinci struktur biaya (cost breakdown) yang digunakan dalam menyusun harga, termasuk margin keuntungan yang diterapkan, asumsi harga bahan baku atau input utama, biaya tenaga kerja, biaya logistik, serta sumber atau referensi harga pasar yang digunakan. Permintaan klarifikasi juga dapat disertai permintaan lampiran dokumen pendukung seperti penawaran dari subkontraktor, invoice pembelian sebelumnya, atau proyeksi cash flow pelaksanaan proyek. Langkah ini sangat penting untuk memperoleh bukti objektif apakah harga yang diajukan memang dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan finansial.
b. Rapat Klarifikasi dan Validasi Lapangan
Setelah klarifikasi tertulis diterima, panitia sebaiknya melanjutkan dengan mengadakan rapat klarifikasi yang difasilitasi secara resmi dan terdokumentasi dalam notulen. Dalam rapat ini, penyedia diberi kesempatan untuk menjelaskan secara langsung rasionalitas harga yang diajukan, serta mempresentasikan bukti-bukti atau dokumen yang menyertainya. Panitia pengadaan dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam untuk menguji konsistensi informasi yang diberikan, serta memastikan bahwa penyedia memiliki kapasitas dan sumber daya yang memadai untuk melaksanakan proyek sesuai ketentuan kontrak. Apabila diperlukan, panitia juga dapat melakukan validasi lapangan untuk memeriksa keberadaan fasilitas produksi, lokasi penyimpanan, atau kapasitas logistik yang disebutkan dalam dokumen klarifikasi.
c. Evaluasi Ulang terhadap HPS dan Asumsi Harga
Tidak jarang dalam proses klarifikasi ditemukan bahwa terdapat asumsi harga atau kondisi pasar yang berubah secara signifikan, misalnya terjadi lonjakan harga bahan baku karena ketegangan geopolitik, gangguan pasokan global, atau kebijakan pajak baru yang mempengaruhi struktur biaya secara umum. Dalam situasi seperti ini, panitia harus bersikap adaptif dan terbuka untuk melakukan evaluasi ulang terhadap HPS. Tentu saja, revisi HPS tidak bisa dilakukan sembarangan dan harus disertai dengan justifikasi yang kuat, serta dilaporkan kepada pejabat berwenang untuk mendapat persetujuan. Revisi HPS yang dilakukan dengan basis informasi yang aktual dan akurat akan memperkuat kredibilitas proses evaluasi dan mencegah munculnya ketidakwajaran harga di masa mendatang.
d. Penyesuaian Skor Harga atau Diskualifikasi
Apabila setelah dilakukan klarifikasi dan evaluasi lanjutan, penawaran harga tetap tidak dapat dijustifikasi dengan baik-baik karena informasi yang diberikan lemah, tidak konsisten, atau tidak kredibel-maka panitia memiliki kewenangan untuk menyesuaikan skor evaluasi harga penyedia tersebut. Misalnya, dalam metode evaluasi dengan sistem nilai, panitia dapat memberikan skor minimal atau nol pada komponen harga. Dalam metode evaluasi biaya terendah (lowest cost), panitia juga dapat mendiskualifikasi penawaran yang dianggap tidak layak secara finansial untuk direalisasikan. Semua keputusan ini harus dilakukan dengan hati-hati, sesuai dengan dokumen pengadaan, dan dicatat dalam berita acara evaluasi yang lengkap agar dapat dipertanggungjawabkan.
4. Mekanisme Diskualifikasi dan Penalti
Dalam situasi-situasi tertentu, terutama ketika terdapat indikasi kuat bahwa harga tidak wajar disusun secara tidak bertanggung jawab atau dengan niat manipulatif, maka klarifikasi saja tidak cukup. Dalam kasus seperti ini, panitia pengadaan harus menegakkan ketentuan yang lebih tegas berupa diskualifikasi administratif maupun penerapan penalti penilaian agar tercipta efek jera dan pelaksanaan pengadaan berjalan lebih disiplin dan akuntabel.
a.Diskualifikasi Otomatis Berdasarkan Ambang Harga
Beberapa pedoman pengadaan, baik nasional maupun internasional, mengatur bahwa penawaran yang berada di bawah atau di atas batas persentase tertentu dari HPS secara otomatis dapat didiskualifikasi. Misalnya, penawaran yang berada di bawah 70% dari HPS dinilai sebagai terlalu rendah untuk dapat direalisasikan tanpa mengorbankan kualitas atau jadwal pelaksanaan. Mekanisme ini bertujuan melindungi proses pengadaan dari risiko underpricing ekstrem yang mengarah pada gagal kontrak. Tentu saja, ambang batas ini harus dicantumkan sejak awal dalam dokumen pemilihan dan bukan ditentukan setelah proses evaluasi dimulai, agar tidak menimbulkan bias atau tuduhan manipulasi terhadap peserta.
b.Penalti Skor dalam Sistem Evaluasi Nilai
Dalam sistem evaluasi berbasis nilai (value for money), penalti skor harga dapat diterapkan terhadap penyedia yang menawarkan harga tidak wajar namun tidak cukup untuk didiskualifikasi. Misalnya, jika skor harga diberikan berdasarkan formula tertentu (misal: skor harga = (harga terendah / harga penawaran) × bobot harga), maka panitia bisa memutuskan bahwa penawaran yang tidak wajar mendapat skor minimal atau bahkan nol, meskipun tidak otomatis gugur. Ini memberikan pesan yang kuat kepada penyedia bahwa penawaran yang tidak masuk akal tidak akan dihargai tinggi, dan tetap memberi ruang bagi penyedia yang kompeten untuk bersaing secara sehat.
c. Pencatatan dalam Rekam Jejak Penyedia
Selain dampak langsung terhadap tender yang sedang berlangsung, perilaku penyedia yang secara berulang kali memberikan penawaran tidak wajar juga dapat dicatat dalam database rekam jejak penyedia. Informasi ini sangat berguna untuk proses evaluasi tender di masa depan, terutama dalam aspek non-harga seperti keandalan penyedia, risiko pelaksanaan, dan reputasi profesional. Dalam sistem e-procurement modern, rekam jejak seperti ini bahkan dapat dijadikan basis penilaian kelayakan administratif penyedia sebelum memasuki tahap evaluasi teknis atau harga. Dengan demikian, penyedia didorong untuk menyusun penawaran secara realistis dan profesional dalam setiap kompetisi tender.
5. Strategi Pencegahan Harga Tidak Wajar
Meski langkah-langkah klarifikasi dan diskualifikasi penting sebagai respons terhadap harga tidak wajar, pendekatan paling ideal tetaplah pencegahan sejak awal. Mencegah munculnya penawaran yang tidak masuk akal jauh lebih efisien dibandingkan menanganinya saat proses sudah berjalan, terutama mengingat potensi konflik, keterlambatan, atau sengketa yang bisa terjadi di kemudian hari. Berikut adalah strategi-strategi utama yang dapat diterapkan untuk mencegah munculnya penawaran harga tidak wajar dalam proses pengadaan.
a. Pelatihan dan Peningkatan Kapasitas Panitia Pengadaan
Panitia pengadaan memiliki peran krusial dalam menyusun HPS, merancang dokumen pemilihan, dan mengevaluasi penawaran. Oleh karena itu, kompetensi panitia dalam melakukan riset pasar, menggunakan alat bantu evaluasi, serta memahami struktur biaya menjadi faktor kunci dalam mencegah munculnya harga tidak wajar. Pelatihan yang bersifat teknis dan berbasis studi kasus nyata harus rutin dilakukan, termasuk pembekalan dalam membaca laporan keuangan penyedia, mengenali taktik underpricing, dan menggunakan perangkat analitik digital.
b. Integrasi Sistem e‑Procurement dengan e‑Katalog dan Data Harga Nasional
Salah satu penyebab munculnya harga tidak wajar adalah ketika HPS disusun secara asal-asalan atau tidak mengacu pada data yang mutakhir. Untuk itu, sistem e‑procurement sebaiknya diintegrasikan dengan e‑katalog nasional agar penyusunan HPS dilakukan secara otomatis berdasarkan harga-harga terkini yang telah tervalidasi. Dengan cara ini, HPS yang dihasilkan akan lebih mendekati realitas pasar dan memberikan panduan harga yang lebih rasional bagi peserta tender.
c. Penerapan Batasan Harga Minimum dan Maksimum
Dalam dokumen pemilihan, panitia dapat mencantumkan rentang harga minimum dan maksimum yang diperbolehkan, baik sebagai bagian dari kriteria administratif maupun teknis. Misalnya, menyebutkan bahwa penawaran di bawah 70% atau di atas 120% dari HPS akan dinyatakan tidak memenuhi syarat. Pendekatan ini memberikan sinyal yang jelas kepada penyedia mengenai ekspektasi kewajaran harga, sekaligus mendorong persaingan sehat dalam koridor yang telah ditentukan.
d. Transparansi terhadap Rentang HPS kepada Peserta
Salah satu penyebab peserta tender memberikan harga tidak rasional adalah karena mereka tidak mengetahui ekspektasi harga yang wajar dari sisi panitia. Untuk itu, panitia dapat secara terbatas mengumumkan rentang HPS-misalnya antara Rp950 juta hingga Rp1,050 juta-sehingga peserta memiliki acuan dalam menyusun penawaran harga. Transparansi seperti ini juga akan mendorong kepercayaan peserta terhadap proses pengadaan dan meminimalkan ruang spekulasi yang tidak perlu.
6. Studi Kasus: Penanganan Harga Terlalu Rendah di Proyek Infrastruktur
Latar Belakang Proyek
Pada tahun anggaran 2024, Pemerintah Kabupaten Y merencanakan pembangunan jembatan penghubung dua kecamatan strategis dalam rangka mempercepat mobilitas logistik dan warga. Proyek ini termasuk dalam prioritas RPJMD dan didanai dari Dana Alokasi Khusus (DAK) senilai Rp10 miliar, yang juga telah disesuaikan dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) berdasarkan survei pasar, referensi e-Katalog, dan perhitungan teknis dari konsultan perencana.
Tahapan Proses Evaluasi Harga
Dalam proses pemilihan penyedia melalui tender terbuka, masuklah tujuh peserta dengan rentang penawaran antara Rp9,5 miliar hingga Rp6 miliar. Salah satu peserta menyodorkan penawaran Rp6 miliar, yaitu hanya 60% dari HPS. Penawaran ini mencolok, dan panitia langsung menandainya sebagai harga yang unreasonable.
Sesuai regulasi dan prinsip kehati-hatian, panitia tidak serta-merta mendiskualifikasi, melainkan menjalankan serangkaian tahapan evaluatif sebagai berikut:
A. Klarifikasi Tertulis
Panitia menyurati penyedia untuk menjelaskan struktur biaya rinci. Klarifikasi mencakup:
- Rincian harga bahan (pasir, semen, besi beton)
- Upah tenaga kerja per item pekerjaan
- Biaya peralatan dan mobilisasi
- Margin keuntungan dan overhead
- Penjelasan metode pelaksanaan yang mengurangi biaya
Namun, dalam dokumen jawaban, ditemukan kejanggalan-misalnya harga semen jauh di bawah harga e-Katalog nasional, dan estimasi waktu pelaksanaan sangat singkat.
B. Verifikasi Lapangan
Tim Pokja bersama Tim Teknis turun langsung ke lokasi rencana proyek dan alamat penyedia. Temuan lapangan mencakup:
- Lokasi gudang material belum tersedia
- Pekerjaan akan disubkontrakkan seluruhnya kepada kontraktor lokal yang baru berdiri 3 bulan
- Tidak ada jaminan material maupun personel inti (struktur organisasi minim)
Tim juga mewawancarai subkontraktor dan mendapati bahwa tidak ada kontrak tertulis antara penyedia dan subkontraktor, serta belum ada pengalaman mengerjakan proyek serupa.
C. Penilaian Akhir dan Diskualifikasi
Berdasarkan bukti klarifikasi dan verifikasi, panitia menyimpulkan bahwa:
- Penawaran tidak memenuhi prinsip kewajaran harga
- Tidak tersedia jaminan pelaksanaan yang kredibel
- Potensi kegagalan pelaksanaan sangat tinggi
Atas dasar itu, peserta tersebut didiskualifikasi sesuai ketentuan Perpres 12/2021 dan turunannya.
Pelajaran dari Studi Kasus
Studi kasus ini menegaskan pentingnya menghindari jebakan harga palsu murah. Dalam konteks proyek infrastruktur, harga yang terlalu rendah tidak selalu berarti efisien, justru bisa menjadi pintu masuk untuk pelanggaran mutu dan ketidaksesuaian spesifikasi. Keberanian panitia untuk menelusuri hingga lapangan adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap rupiah APBD dibelanjakan secara bertanggung jawab.
7. Kesimpulan
Evaluasi harga dalam proses pengadaan barang/jasa bukanlah sekadar membandingkan angka-tetapi sebuah proses penilaian strategis yang memerlukan kecermatan, pemahaman pasar, dan sikap profesional. Ketika penawaran harga masuk dalam kategori tidak wajar, panitia tidak boleh gegabah dalam menerima atau menolaknya. Evaluasi harga tidak wajar (EHU) harus dilandasi oleh bukti, argumentasi teknis, dan prosedur yang tertelusur.
Beberapa prinsip penting yang harus dijadikan pedoman oleh panitia pengadaan adalah sebagai berikut:
- Identifikasi Dini
- Harga terlalu rendah (di bawah 80% HPS) atau terlalu tinggi (di atas 110%) perlu diberi tanda sejak awal.
- Gunakan sistem alert pada SPSE atau template manual jika belum tersedia otomatisasi.
- Klarifikasi Mendalam
- Wajib meminta analisis harga rinci dari penyedia. Jangan hanya puas dengan total nilai.
- Gunakan format baku dan mintalah dokumen pendukung: faktur, kutipan e-Katalog, jadwal kerja.
- Verifikasi Lapangan
- Klarifikasi hanya separuh jalan. Verifikasi di lokasi (kantor, gudang, atau lokasi kerja) memperlihatkan kenyataan di balik kertas.
- Lakukan secara tim, dokumentasikan dengan berita acara.
- Diskualifikasi dengan Alasan Kuat
- Bila ditemukan inkonsistensi, risiko keterlambatan, atau potensi tidak tercapainya kualitas-maka diskualifikasi bukanlah pilihan, tetapi keharusan.
- Pastikan berita acara evaluasi memuat semua bukti dan rujukan regulasi.
- Manfaatkan Teknologi dan Data Historis
- Bandingkan dengan proyek sejenis tahun sebelumnya.
- Gunakan e-Katalog dan Sistem Informasi Harga untuk memperkuat pembuktian kewajaran harga.
- Pencegahan Jangka Panjang
- Tingkatkan kapasitas panitia melalui pelatihan rutin tentang EHU.
- Kembangkan algoritma deteksi outlier harga pada sistem SPSE.
- Integrasikan pengawasan oleh APIP untuk penguatan check and balance.
Dengan pendekatan yang sistematis, berbasis data, dan berorientasi pada transparansi, panitia pengadaan dapat memainkan peran sebagai filter kualitas, bukan hanya penjaga administratif. Proses pengadaan yang berhasil adalah yang tidak hanya selesai sesuai waktu dan anggaran, tetapi juga menghadirkan nilai manfaat maksimal bagi publik.