Bagaimana Mencegah Vendor Monopoli?

Pendahuluan

Monopoli vendor – keadaan di mana satu atau beberapa penyedia menguasai pasar pengadaan sehingga menekan persaingan – adalah masalah serius dalam pengadaan publik dan swasta. Di sektor pengadaan, khususnya proyek bernilai tinggi atau berulang, monopoli dapat menyebabkan harga tidak kompetitif, kualitas buruk, keterlambatan, dan berkurangnya inovasi. Dampaknya bukan hanya finansial; monopoli melemahkan akuntabilitas, membuka celah untuk praktik koruptif, dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi penyelenggara.

Tujuan artikel ini adalah memberikan panduan komprehensif dan terstruktur tentang langkah-langkah praktis – regulasi, desain tender, strategi pasar, pengawasan, hingga penanganan kasus – yang dapat diterapkan oleh pembuat kebijakan, unit pengadaan, tim proyek, dan pemangku kepentingan lain untuk mencegah terbentuknya atau mengatasi dominasi vendor. Setiap bagian disusun agar mudah dibaca dan langsung dapat diadaptasi: ada analisis penyebab, rekomendasi desain prosedur, contoh klausul kontrak, mekanisme pengembangan penyedia, serta langkah penguatan pemeriksaan dan penegakan hukum.

Bacaan ini cocok untuk pembaca yang ingin tindakan konkret – bukan sekadar teori – karena pencegahan monopoli membutuhkan kombinasi kebijakan, praktik administrasi yang baik, dan intervensi pasar yang berkelanjutan. Mari kita mulai dari memahami mengapa monopoli muncul, lalu menelusuri cara-cara mencegah dan menanganinya secara sistematis.

1. Mengapa Vendor Bisa Monopoli: Akar Penyebab dan Mekanisme

Untuk mencegah monopoli, pertama-tama perlu dipahami bagaimana kondisi monopoli terbentuk. Ada sejumlah akar penyebab struktural, kebijakan, dan perilaku pasar yang memfasilitasi dominasi vendor.

  1. Hambatan masuk pasar (barriers to entry). Jika persyaratan teknis dan finansial dalam tender jauh melebihi kemampuan perusahaan kecil-menengah, hanya pemain besar yang bisa ikut. Contoh nyata: persyaratan modal kerja tinggi, pengalaman proyek besar yang tidak relevan dengan cakupan lokal, atau sertifikasi langka. Ketika sedikit penyedia yang bisa memenuhi persyaratan, pasar cenderung didominasi oleh mereka.
  2. Kontrak jangka panjang dan eksklusif. Kontrak berulang (repeat contracts) tanpa rotasi penyedia memberi keuntungan akumulatif: penyedia yang sering menang mendapatkan kapasitas, pengalaman, dan referensi lebih kuat sehingga makin sulit bagi pesaing baru untuk menyaingi. Model “single-supplier” atau klausul eksklusif memperkuat monopoli.
  3. Integrasi vertikal atau kontrol terhadap rantai pasok. Vendor yang mengendalikan pemasok utama, distribusi, atau layanan purna jual dapat memblokir akses penyedia lain. Di sektor tertentu, satu pemasok bahan baku kritis atau sparepart membuat vendor menjadi tidak tersaingi.
  4. Praktik kolusi dan jaringan bisnis. Penyedia bisa bersekongkol untuk membagi pasar, mengatur harga, atau saling “mengundurkan diri” saat lelang. Kolusi seringkali sulit dideteksi bila evaluasi tender tidak transparan.
  5. Ketimpangan informasi dan akses. Jika sebagian penyedia tidak mendapatkan informasi tender (mis. lelang hanya diumumkan melalui kanal yang terbatas), partisipasi menurun. Selain itu, ketersediaan data pasar-harga referensi, daftar penyedia terpercaya-juga memengaruhi persaingan.
  6. Insentif administrasi yang salah. Unit pengadaan yang menilai “kepastian penyelesaian” ketimbang kompetensi atau value-for-money dapat memilih vendor lama demi menghindari risiko, padahal pilihan itu mengokohkan monopoli.
  7. Intervensi politik dan konflik kepentingan. Tekanan politis untuk memilih penyedia tertentu, atau hubungan afiliasi antara pejabat pengadaan dan vendor, bisa mendorong praktek favoritisme sehingga pasar terdistorsi.

Memahami mekanisme ini membantu merancang strategi pencegahan yang menarget akar: menurunkan hambatan masuk, mendorong rotasi kontrak, memperluas akses informasi, memperkuat transparansi evaluasi, dan menegakkan aturan antikorupsi.

2. Risiko dan Dampak Monopoli pada Anggaran, Kualitas, dan Inovasi

Monopoli vendor bukan hanya masalah teori ekonomi – efeknya nyata dan sering merugikan berbagai pihak. Mengetahui risiko konkret membantu pembuat kebijakan memprioritaskan langkah pencegahan.

  1. Dampak pada anggaran. Ketika persaingan menipis, vendor bisa menetapkan harga lebih tinggi dari tingkat pasar. Tanpa tekanan harga kompetitif, pembeli kehilangan leverage negosiasi sehingga efektivitas penggunaan anggaran menurun. Untuk anggaran publik, efek ini berarti berkurangnya ruang fiskal untuk program lain.
  2. Kualitas menurun. Dominasi vendor seringkali membuat standar mutu diabaikan karena risiko kehilangan kontrak kecil bila kualitas buruk. Tanpa ancaman kompetitor yang lebih baik, insentif untuk peningkatan mutu melemah. Hal ini penting pada sektor yang memengaruhi keselamatan dan pelayanan publik seperti konstruksi, kesehatan, dan pendidikan.
  3. Stagnasi inovasi. Kompetisi mendorong inovasi produk, metode kerja, dan efisiensi. Monopoli meredam tekanan inovasi – vendor puas dengan pangsa pasar yang stabil sehingga tidak berinvestasi pada R&D atau peningkatan layanan.
  4. Risiko rantai pasok. Ketergantungan pada satu vendor meningkatkan kerentanan apabila vendor mengalami masalah (kebangkrutan, masalah produksi, konflik). Gangguan sehingga menyebabkan keterlambatan sistemik yang sulit ditangani karena alternatif terbatas.
  5. Masalah akuntabilitas dan integritas. Monopoli yang berakar pada praktik tidak sehat (suap, nepotisme, kolusi) merusak tata kelola organisasi. Sumber daya publik dapat disalahgunakan, dan temuan audit berulang menunjukkan kelemahan sistem.
  6. Dampak pada pelaku usaha kecil. Dominasi vendor menghambat pengembangan usaha lokal, mengkonsentrasikan keuntungan pada beberapa aktor besar. Ini melemahkan ekosistem bisnis dan kesempatan kerja di tingkat lokal.
  7. Beban administratif jangka panjang. Perbaikan akibat kualitas buruk (perbaikan, garansi, litigasi) menambah beban operasional dan keuangan pembeli. Dalam kasus kontrak publik, biaya perbaikan seringkali ditanggung oleh masyarakat melalui anggaran publik.

Karena dampak multidimensi itu, pencegahan monopoli bukan sekadar persoalan persaingan ekonomi – melainkan upaya menjaga efisiensi, mutu, dan integritas investasi pengadaan. Strategi pencegahan harus menggabungkan pendekatan pasar, regulasi, dan praktik tata kelola.

3. Kerangka Kebijakan dan Regulasi untuk Mencegah Monopoli

Peran regulasi sangat krusial untuk mencegah monopoli. Kebijakan yang tepat menyeimbangkan perlindungan persaingan dan kebutuhan pelaksanaan proyek.

  1. Aturan batas paket dan nilai kontrak. Regulasi dapat mendorong pembagian paket besar menjadi lot yang lebih kecil (lotting) sehingga menarik penyedia lokal dan menurunkan hambatan masuk. Namun pembagian harus dirancang cermat agar tidak memicu fragmentasi yang mengorbankan integrasi teknis.
  2. Batasan terhadap kontrak berulang tanpa kompetisi. Kebijakan bisa membatasi durasi maksimum kontrak berulang atau mensyaratkan rotasi penyedia setelah beberapa periode. Alternatifnya, mewajibkan tender ulang setelah nilai akumulatif tercapai.
  3. Aturan transparansi dan publikasi. Peraturan yang mewajibkan publikasi lengkap dokumen tender, peserta, kriteria evaluasi, dan hasil penilaian membantu mencegah praktik tertutup yang memfasilitasi kolusi. e-Procurement yang teregulasi sering menjadi media efektif.
  4. Kebijakan anti-kolusi dan merger. Pengawasan persaingan usaha (komisi persaingan) harus diberi wewenang untuk menghalangi praktik kartel, merger antipersaingan, dan perilaku dominan yang mempengaruhi pasar pengadaan publik. Aturan pendaftaran merger dan akuisisi menjadi instrumen pencegahan.
  5. Persyaratan keterlibatan UMKM dan preferensi lokal yang proporsional. Kebijakan affirmative action untuk supplier lokal (mis. setingan kuota untuk UMKM atau subkontrak kapasitas lokal) dapat mengurangi risiko monopoli asalkan tidak melanggar prinsip value-for-money dan tidak menciptakan distorsi baru.
  6. Mekanisme audit dan kepatuhan aktif. Regulasi harus mengharuskan audit independen pada tender bernilai tinggi dan memberikan sanksi administratif jelas bila terdapat bukti penyalahgunaan. Penegakan hukum harus konsisten agar efek jera tercipta.
  7. Disclosure dan manajemen konflik kepentingan. Regulasi yang mengharuskan pejabat pengadaan menyatakan hubungan dengan penyedia dan larangan kontrak dengan pihak yang memiliki konflik kepentingan adalah penting.
  8. Mekanisme insentif bagi inovasi dan alternatif pasar. Kebijakan yang memfasilitasi penggunaan multi-sourcing, katalog terstandar, dan open-source solutions dapat mengurangi dominasi penyedia tunggal.

Kerangka kebijakan efektif mengkombinasikan aturan pencegahan, mekanisme deteksi, dan penegakan sanksi-dengan tetap mempertimbangkan konteks pasar lokal agar tidak menutup akses pada penyedia yang sebenarnya efisien dan berkualitas.

4. Desain Tender dan Dokumen Pengadaan yang Mengurangi Risiko Monopoli

Desain tender adalah salah satu titik intervensi paling praktis untuk mencegah monopoli. Dokumen yang baik membuka kompetisi, mengurangi peluang manipulasi, dan menyeimbangkan kebutuhan teknis dengan inklusivitas pasar.

  1. Prinsip “specify function, not brand”. Spesifikasi teknis sebaiknya ditulis berbasis fungsi dan standar kinerja, bukan merek atau model tertentu. Contoh: bukan “AC merk X 1 PK”, melainkan “sistem pendingin yang mampu menurunkan suhu ruangan 30m² sampai 24°C dan efisiensi energi minimal X” – sehingga banyak pemasok dapat menawar.
  2. Penggunaan opsi lotting yang strategis. Lotting membuat proyek besar terbagi ke paket yang membuat pemain kecil kompetitif. Namun jangan membuat lot terlalu kecil sehingga menjadi tidak ekonomis atau teknis tidak terintegrasi. Pertimbangkan kombinasi lot: lot teknis (spesialis) dan lot generalis untuk pekerjaan umum.
  3. Kualifikasi yang proporsional. Persyaratan kualifikasi (pengalaman, modal, SDM) harus proporsional dengan nilai kontrak. Batasi persyaratan yang tidak relevan yang hanya menguntungkan pemain lama. Sertakan alternatif verifikasi (mis. referensi lokal) agar UMKM bisa ikut.
  4. Kriteria evaluasi multi-aspek dan bobot yang adil. Gabungkan evaluasi teknis, harga, dan aspek pemberdayaan lokal atau inovasi. Sistem scoring yang transparan dan bobot terpublikasi mempersulit manipulasi.
  5. Ketentuan subkontrak dan joint venture. Izinkan subkontrak atau penawaran bersama (consortium) untuk membantu penyedia kecil memenuhi persyaratan teknis. Namun tetapkan aturan yang mencegah “fronting” (perusahaan kecil hanya lapisan tanpa kapasitas nyata).
  6. Pembayaran dan retention yang bijak. Struktur pembayaran tidak hanya mencegah risiko kegagalan kinerja tapi juga mempengaruhi dinamika persaingan. Retention fee (persentase yang ditahan sampai pekerjaan selesai) dan payout berdasarkan milestone membuat vendor bertanggung jawab tanpa menciptakan ketergantungan.
  7. Klausul anti-monopoli eksplisit. Cantumkan klausul dalam kontrak yang melarang praktik eksklusivitas dan mengatur konsekuensi bila vendor mengganggu persaingan (mis. denda, pembatalan kontrak).
  8. Persyaratan pelaporan dan transparansi selama pelaksanaan. Wajibkan vendor melaporkan subkontraktor, sumber bahan, dan rantai pasok kritis. Ini memudahkan verifikasi dan mencegah praktik vertical foreclosure (penguasaan rantai pasok).

Desain tender yang matang menjadi garis depan pencegahan monopoli: ia harus membuka peluang kompetisi sambil menjaga integritas teknis dan kesinambungan proyek.

5. Pengembangan Pasar dan Pemberdayaan Penyedia Lokal

Mencegah monopoli tak hanya soal membatasi pemain dominan – tetapi juga membangun ekosistem penyedia yang sehat. Kebijakan pembangunan pasar dan pemberdayaan penyedia lokal adalah bagian kunci.

  1. Program capacity building untuk UMKM. Pemerintah atau institusi besar bisa menyelenggarakan pelatihan teknis, manajemen proyek, pengelolaan keuangan, dan pemenuhan persyaratan tender bagi pelaku usaha kecil. Tujuannya agar mereka bisa bersaing pada tender-tender skala sedang.
  2. Skema pembiayaan dan jaminan. Banyak penyedia lokal gagal ikut karena hambatan modal kerja. Penyediaan fasilitas kredit mikro, jaminan bank, atau skema penjaminan pemerintah dapat menurunkan hambatan finansial agar lebih banyak masuk pasar.
  3. Platform pemasaran dan matchmaking. Buat database penyedia terverifikasi yang mudah diakses oleh unit pengadaan, lengkap dengan kapabilitas, portofolio, dan sertifikasi. Platform semacam ini memudahkan pembeli menemukan alternatif dan mendorong persaingan.
  4. Program supplier development oleh pembeli besar. Organisasi besar dapat melakukan program “supplier development” – mengontrak penyedia kecil sebagai subkontraktor dalam paket besar sambil memberi pembinaan teknis selama proyek. Ini menciptakan pipeline penyedia berkualitas.
  5. Insentif untuk inovasi lokal. Berikan penghargaan atau prioritas pada penawaran yang memasukkan solusi inovatif lokal yang efisien. Hal ini mendorong diversifikasi solusi dan mengurangi ketergantungan pada solusi tunggal.
  6. Agregasi permintaan regional. Untuk proyek kecil di banyak lokasi, penggabungan tender regional dapat menciptakan skala yang menarik bagi penyedia menengah dan mengurangi dominasi pemain besar.
  7. Kebijakan pengadaan yang inklusif. Atur kuota minimal untuk partisipasi UMKM pada kontrak tertentu atau persyaratan subkontrak lokal. Tetap pastikan bahwa mekanisme ini tidak menurunkan kualitas: sertifikasi dan dukungan teknis harus menyertai kebijakan kuota.
  8. Pemantauan dan evaluasi dampak program pemberdayaan. Pantau apakah program benar-benar meningkatkan jumlah penyedia berkualitas dan menurunkan dominasi vendor tunggal; gunakan indikator seperti peningkatan jumlah pendaftar tender, rasio keberhasilan UMKM, dan perubahan harga pasar.

Pembangunan pasar memerlukan investasi jangka menengah – tetapi efeknya berkelanjutan: pasar lebih kompetitif, inovatif, dan tahan terhadap praktik monopoli.

6. Teknologi dan Transparansi: Peran e-Procurement, Open Data, dan Platform

Teknologi adalah alat ampuh untuk mencegah monopoli jika diimplementasikan dengan desain yang memperluas akses, mencatat jejak proses, dan memudahkan pengawasan.

  1. e-procurement sebagai infrastruktur dasar. Sistem pengadaan elektronik yang andal memudahkan publikasi tender, upload dokumen, komunikasi terstandard, dan penilaian otomatis aspek administratif. Dengan catatan aktivitas digital, e-procurement mengurangi intervensi manual yang rentan disalahgunakan.
  2. Open data pengadaan. Publikasi dataset tender-dokumen, daftar peserta, penawaran, alasan evaluasi, dan kontrak-memungkinkan analisis eksternal, media, dan masyarakat sipil untuk mengidentifikasi pola dominasi atau kolusi. Data terbuka juga memudahkan pembanding harga dan referensi pasar.
  3. Fitur analytics dan alarm pasar. Sistem dapat mengembangkan dashboard yang menampilkan indikator persaingan (jumlah penawar per tender, distribusi pemenang, konsentrasi pasar), serta alarm ketika ada anomali (mis. pemenang yang sering muncul tanpa variasi harga). Ini membantu unit pengadaan dan regulator untuk cepat bertindak.
  4. Marketplace dan katalog terstandar. Untuk barang/ jasa umum, katalog elektronik terstandar (with multiple suppliers) mengurangi kebutuhan single sourcing. Pembeli dapat memilih dari banyak pemasok yang sudah terverifikasi sehingga pangsa pasar tidak terkonsentrasi.
  5. Integrasi platform pembayaran dan pelaporan. Menggabungkan pembayaran elektronik dengan milestone otomatis meminimalkan praktik manipulatif dan memastikan alur dana transparan.
  6. Alat pelaporan publik dan whistleblowing online. Saluran digital yang aman memungkinkan pemangku kepentingan melaporkan indikasi monopoli atau kolusi dengan bukti digital-dengan proteksi identitas pelapor.
  7. Pelatihan dan akses digital inklusif. Teknologi hanya efektif jika akses disebarkan: pastikan penyedia kecil dapat mengakses platform (bantuan teknis, opsi offline/upload via local offices) agar e-procurement tidak malah mengunci pemain yang tidak melek digital.
  8. Keamanan data dan integritas sistem. Sistem wajib memiliki audit trail yang tidak dapat diubah (immutable logs) dan perlindungan terhadap manipulasi. Audit TI berkala serta mekanisme pemulihan data memastikan sistem andal.

Pemanfaatan teknologi yang bijak meningkatkan transparansi pasar sehingga monopoli lebih sulit bertahan; namun teknologi harus dipadukan kebijakan inklusi agar tidak menciptakan hambatan baru.

7. Pengawasan, Penegakan, dan Mekanisme Sanksi

Deteksi dini dan penegakan hukuman adalah pilar lain dalam mencegah monopoli. Tanpa mekanisme penegakan yang efektif, aturan dan desain tender hanyalah teks.

  1. Pengawasan proaktif. Unit pengadaan atau regulator harus aktif memonitor pola pasar: siapa sering menang, berapa frekuensi kontrak berulang, dan apakah harga kompetitif. Gunakan audit berbasis risiko untuk menargetkan kasus berisiko tinggi.
  2. Audit independen dan forensik. Untuk tender bernilai besar atau berisiko, audit by external parties memberikan verifikasi objektif. Temuan audit harus dipublikasikan (dengan perlindungan informasi sensitif) dan ditindaklanjuti.
  3. Mekanisme pengaduan yang efektif. Saluran pengaduan internal dan eksternal harus mudah diakses, responsif, dan menjamin perlindungan pelapor. Pengaduan dapat memicu investigasi yang menahan pembayaran atau menunda kontrak sampai isu selesai.
  4. Sanksi administratif, perdata, dan pidana. Rangka sanksi harus proporsional dan diterapkan konsisten: denda, pembatalan kontrak, diskualifikasi dari tender, larangan berpartisipasi untuk periode tertentu, hingga tuntutan pidana bila ada unsur korupsi. Efek jera hanya tercipta jika penegakan nyata.
  5. Pemulihan pasar (remedial actions). Bila terbukti dominasi akibat praktik melanggar hukum, regulator dapat menerapkan remedial seperti mewajibkan pelepasan aset, pembatasan pasokan eksklusif, atau persyaratan membuka akses ke rantai pasok.
  6. Koordinasi antar-lembaga. Penegakan efektif sering memerlukan koordinasi antara unit pengadaan, komisi persaingan usaha, auditor negara, dan aparat penegak hukum. Mekanisme koordinasi mempercepat tindakan dan mengurangi celah hukuman.
  7. Transparansi hasil penegakan. Publikasikan hasil penyelidikan dan sanksi (sesuai hukum) untuk memberi sinyal kuat bahwa praktik tidak sehat akan ditindak. Ini juga membantu membangun kepercayaan publik.
  8. Evaluasi kebijakan penegakan. Pantau apakah penegakan mengurangi kasus monopoli secara statistik (mis. rasio penawar per tender meningkat, konsentrasi pasar menurun). Gunakan data ini untuk menyempurnakan aturan dan strategi penegakan.

Penegakan adalah penutup lingkaran: tanpa itu, segala upaya pencegahan desain dan pembangunan pasar kurang efektif.

8. Studi Kasus Singkat dan Pelajaran Praktis

Untuk meneguhkan konsep, berikut contoh studi kasus hipotetis-disusun sebagai ilustrasi tindakan pencegahan dan pelajaran yang bisa diambil.

Kasus A – Kontrak Jangka Panjang IT Pemerintah

Sebuah instansi menandatangani kontrak 5-tahun dengan satu vendor IT untuk layanan aplikasi dan instalasi infrastruktur. Setelah dua tahun, biaya pemeliharaan melonjak dan opsi migrasi sangat sulit karena ketergantungan pada perangkat lunak eksklusif. Analisis menampilkan hambatan switching dan perjanjian eksklusif.

Tindakan Pencegahan: pada kontrak masa depan, instansi menerapkan modularisasi layanan (komponen berbasis API), klausa interoperability, dan wajib open standards. Kontrak dibuat berbasis hasil (outcome-based) dan tidak memberikan eksklusivitas.

Pelajaran: desain kontrak teknis yang memungkinkan interoperabilitas dan multi-sourcing mengurangi risiko vendor lock-in.

Kasus B – Kenaikan Harga Material Pendidikan di Daerah Tertentu

Dalam beberapa tender renovasi sekolah di provinsi X, sebagian besar pemenang adalah satu grup perusahaan. Harga cenderung tinggi dan kualitas tidak konsisten. Investigasi menemukan pengaturan lotting sehingga grup tersebut menang di banyak lot (strategi “control by scale”).

Tindakan Pencegahan: otoritas mulai menerapkan rotasi penyedia, menerapkan lotting ulang, mendorong penyedia lokal melalui program pembinaan, dan mewajibkan disclosure subkontraktor. Hasil: kompetisi meningkat, harga stabil.

Pelajaran: evaluasi pola kemenangan berulang dan desain ulang paket tender untuk memutus strategi kontrol pasar oleh satu grup.

Kasus C – Tender Darurat Tanpa Dokumentasi Memadai

Selama keadaan darurat, penunjukan langsung digunakan secara luas. Setelah keadaan kembali normal, ditemukan beberapa kontrak dengan markup besar karena dokumentasi prosedur darurat lemah.

Tindakan Pencegahan: meskipun urgensi diprioritaskan, sekarang setiap penunjukan langsung harus disertai dokumentasi alasan, kriteria pemilihan, dan audit paska-darurat.

Pelajaran: prosedur darurat perlu mekanisme akuntabilitas agar peluang monopoli tidak muncul pasca-krisis.

Dari studi kasus ini terlihat bahwa solusi praktis selalu kombinasi: perbaikan desain kontrak, pengawasan pola pasar, program pemberdayaan penyedia alternatif, dan aturan transparansi – semuanya saling melengkapi.

Kesimpulan

Mencegah vendor monopoli adalah pekerjaan lintas-dimensi: tidak cukup hanya mengandalkan satu alat. Dibutuhkan rangka kebijakan yang jelas, desain tender yang cermat, pembangunan kapasitas penyedia lokal, pemanfaatan teknologi untuk transparansi, serta penegakan hukum yang efektif. Upaya ini harus seimbang: membuka ruang kompetisi tanpa mengorbankan kualitas teknis atau efisiensi pelaksanaan proyek.

Langkah konkret meliputi: menulis spesifikasi fungsional, menerapkan lotting strategis, mengurangi hambatan finansial bagi UMKM, membangun platform e-procurement dan data terbuka, serta memantau indikator pasar untuk deteksi dini praktik anti-persaingan. Ketika pelanggaran teridentifikasi, mekanisme penegakan dan remedial harus tegas dan konsisten.

Akhirnya, pencegahan monopoli juga soal investasi jangka menengah: membina ekosistem penyedia yang beragam dan sehat akan menciptakan kompetisi berkelanjutan yang menekan harga, menaikkan kualitas, dan mendorong inovasi. Dengan kombinasi kebijakan, praktik administrasi yang baik, dan partisipasi pemangku kepentingan-vendor monopoli bukan tak terhindarkan; ia dapat dicegah dan diminimalkan secara nyata demi efisiensi, kualitas, dan akuntabilitas pengadaan.

Bagikan tulisan ini jika bermanfaat