Pendahuluan
Masa darurat-baik itu bencana alam, wabah penyakit, gangguan infrastruktur, atau kondisi krisis lainnya-memaksa pemerintahan untuk bergerak cepat. Salah satu instrumen kunci respons publik adalah pengadaan barang dan jasa: alat untuk mendatangkan peralatan medis, logistik evakuasi, bahan bangunan darurat, layanan restorasi, atau kontraktor untuk memperbaiki infrastruktur kritis. Karena tempo dan dampak, mekanisme pengadaan di masa darurat berbeda secara signifikan dari proses tender normal: prosedur disingkat, alternatif mekanisme (penunjukan langsung, pembelian langsung, pemanfaatan kontrak kerangka) diperkenankan, dan kewajiban pelaporan paska-kejadian menjadi sangat penting.
Namun percepatan tidak boleh berarti mengabaikan prinsip akuntabilitas-bahkan justru sebaliknya: pengadaan darurat rawan penyalahgunaan, pemborosan, dan risiko mutu jika kontrol lemah. Oleh karena itu banyak yurisdiksi-termasuk aturan pelaksana di Indonesia-mengatur mekanisme, batasan, dan kewajiban audit khusus untuk pengadaan di masa darurat. Artikel ini menjelaskan kerangka hukum, kriteria penetapan status darurat, tata-cara praktis pengadaan darurat, instrumen pengendalian risiko, pengaturan keuangan dan jaminan, peran UMKM dan katalog lokal, serta mekanisme pengawasan dan audit pasca-kejadian. Tujuannya memberi panduan yang dapat dipakai pembuat kebijakan, unit pengadaan, auditor internal, serta masyarakat pengawas agar pengadaan darurat efektif, cepat, dan tetap akuntabel.
1. Definisi dan dasar hukum: kerangka peraturan yang mengatur pengadaan darurat
Salah satu langkah awal memahami pengadaan darurat adalah melihat definisi dan rujukan hukumnya. Di Indonesia, kerangka utama pengadaan barang/jasa pemerintah diatur oleh Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 16 Tahun 2018 dan amandemennya). Dalam Perpres itu dicantumkan ketentuan khusus yang memungkinkan pengadaan dalam penanganan keadaan darurat, sekaligus memberi mandat bagi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk menerbitkan pedoman teknis pelaksanaan. Perpres ini menjadi payung umum bagi seluruh tata laksana pengadaan, termasuk kondisi darurat.
Lebih lanjut, LKPP sendiri telah menerbitkan peraturan pelaksana yang menguraikan mekanisme pengadaan dalam keadaan darurat. Sebelumnya Peraturan LKPP Nomor 13 Tahun 2018 mengatur prosedur pengadaan barang/jasa dalam penanganan keadaan darurat (mis. disederhanakannya tahapan menjadi perencanaan, pelaksanaan, dan pembayaran). Baru-baru ini, LKPP memperbarui atau menerbitkan peraturan terkait pengadaan darurat untuk menyelaraskan praktik terbaik dan pengalaman dari insiden besar (mis. pandemi dan bencana) – misalnya Peraturan LKPP Nomor 6 Tahun 2024 yang fokus pada pengadaan dalam penanganan keadaan darurat. Ketentuan-ketentuan LKPP ini menjelaskan lebih rinci syarat, mekanisme dan kewajiban dokumentasi saat pengadaan darurat diberlakukan.
Selain itu, ada instrumen lain yang bersifat teknis dan pengawasan – mis. surat edaran atau pedoman interpretatif dari LKPP (seperti Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 2 Tahun 2022 yang memberi penjelasan teknis terhadap mekanisme kontrak dalam keadaan darurat), serta arahan audit dari aparat pengawas internal (BPKP atau auditor lain). Ketika kebijakan pengadaan darurat dipakai, unit pengadaan harus merujuk pada kombinasi Perpres, peraturan LKPP, dan surat edaran agar tindakan cepat tetap berada dalam koridor hukum yang jelas.
Intinya: pengadaan darurat bukan “area tanpa aturan” – melainkan area dengan aturan khusus yang membolehkan penyederhanaan prosedur, namun mengikat pelaku pengadaan pada kewajiban dokumentasi, transparansi paska-kejadian, dan audit. Mengetahui rujukan hukum utama membantu unit pengadaan menerapkan mekanisme yang sah dan defensible secara administratif.
2. Kapan dan bagaimana status “keadaan darurat” ditetapkan
Tidak semua situasi yang menuntut percepatan pengadaan otomatis masuk kategori “keadaan darurat” menurut regulasi. Penetapan status darurat umumnya mensyaratkan dua aspek: fakta objektif adanya kondisi mendesak yang tidak dapat ditunda tanpa risiko besar, dan keputusan formal oleh pejabat yang berwenang. Secara operasional, beberapa indikator yang lazim digunakan adalah
- Adanya ancaman terhadap keselamatan jiwa atau infrastruktur penting.
- Kebutuhan barang/jasa yang tidak terencana dan tidak bisa dipenuhi melalui mekanisme pengadaan biasa karena waktu.
- Potensi kerugian publik yang besar bila barang/jasa tidak segera tersedia.
Di tataran institusi, Perpres dan peraturan LKPP mengarahkan agar penetapan keadaan darurat dilakukan melalui keputusan tertulis pejabat yang berwenang-misalnya menteri, kepala daerah, atau pimpinan lembaga-yang menjelaskan parameter darurat (jenis kebutuhan, estimasi nilai, lokasi, dan alasan objektif). Dokumen penetapan ini penting karena menjadi dasar administrasi untuk mengaktifkan mekanisme pengadaan darurat, dan bagian dari bukti saat audit paska-kejadian. Oleh sebab itu penetapan tidak boleh spontan tanpa catatan keputusan resmi.
Dalam praktiknya ada beberapa tipe darurat yang sering muncul: bencana alam (gempa, banjir), wabah kesehatan masyarakat (mis. pandemi), gangguan pasokan kritis (putusnya jalur pasokan bahan baku utama), dan kondisi ancaman infrastruktur. Untuk setiap tipe, peraturan biasanya memberi pedoman kapan mekanisme darurat dapat dipakai-mis. bila dampak bersifat luas dan memerlukan respons cepat. Prosedur internal yang baik juga menetapkan siapa yang berwenang menginisiasi pengadaan darurat (tim teknis, PPK, atau pejabat pengadaan) dan alur persetujuan yang harus dipenuhi.
Catatan penting: ada risiko “penyalahgunaan” bila istilah darurat dipakai sebagai justifikasi untuk melewati mekanisme pengadaan biasa tanpa dasar kuat. Oleh karena itu dokumentasi penetapan, analisis kebutuhan, daftar penyedia yang dihubungi, serta bukti bahwa proses normal memang tidak mungkin menjadi bukti kunci pada audit. Regulasi LKPP menekankan pentingnya bukti-bukti ini sebagai syarat administratif untuk penggunaan prosedur darurat.
3. Mekanisme pengadaan darurat: metode yang diperbolehkan dan langkah operasional
Setelah status darurat ditetapkan, regulasi memperbolehkan beberapa mekanisme percepatan yang berbeda dari prosedur tender kompetitif penuh. Mekanisme umum meliputi: pembelian langsung, penunjukan langsung (single source), pemanfaatan kontrak kerangka/offtake agreement, pemanfaatan katalog elektronik (e-catalog atau katalog lokal), dan swakelola. Pilihan mekanisme bergantung pada karakter kebutuhan, nilai paket, dan ketersediaan penyedia. Perpres dan peraturan LKPP biasanya menguraikan opsi ini dan batasan masing-masing mekanisme.
Langkah operasional tipikal dalam pengadaan darurat diringkas sering menjadi tiga fase (sesuai pedoman LKPP): perencanaan singkat (rapid planning), pelaksanaan pengadaan (execution), dan penyelesaian pembayaran serta pelaporan pasca-kejadian. Pada fase perencanaan, unit teknis cepat menyusun Rencana Kebutuhan Darurat: spesifikasi minimal yang jelas (tidak over-spec), estimasi anggaran cepat, dan daftar penyedia yang mungkin. Fase ini memerlukan catatan mengapa proses tender biasa tidak layak (waktu, ketersediaan barang, atau situasi darurat).
Pada fase pelaksanaan, unit pengadaan melakukan langkah-langkah seperti:
- Menghubungi beberapa penyedia yang layak untuk perbandingan harga cepat (setidaknya dokumentasikan kontak minimal).
- Bila menggunakan penunjukan langsung, dokumentasikan alasan teknis/operasional untuk single source (mis. vendor pemilik paten atau stok lokal tunggal).
- Bila menggunakan e-catalog, pastikan produk yang diambil sesuai spesifikasi dan tertelusur.
- Jika swakelola dipilih, pastikan ada justifikasi kemampuan internal. Semua komunikasi dan keputusan harus dicatat di sistem sehingga ada jejak audit.
Selama pelaksanaan, ada beberapa prinsip praktis yang sering dianjurkan: gunakan spesifikasi yang cukup untuk memastikan fungsi dan mutu tanpa memaksakan sertifikasi berlebih yang membuat proses tertunda; apabila memungkinkan mintalah bukti ketersediaan stok dan lead time tertulis; dan gunakan pembayaran tahap (advance atau DP) yang wajar untuk memastikan penyedia dapat menyiapkan barang/jasa cepat. Namun, pemberian pembayaran di muka harus disertai jaminan atau mekanisme escrow bila tersedia, agar risiko kerugian diminimalkan. Dokumentasi penuh atas alasan, komunikasi penyedia, serta perbandingan harga sederhana harus dijaga sebagai bukti tata kelola.
Terakhir, meski proses disingkat, unit pengadaan tetap wajib menyusun laporan paska-pengadaan yang memuat ringkasan kebutuhan, mekanisme yang dipakai, pertimbangan harga, serta bukti distribusi barang/jasa-dokumen ini krusial untuk audit dan transparansi publik.
4. Pengendalian risiko: transparansi, akuntabilitas, dan jejak audit
Pengadaan darurat membuka celah risiko: mark-up harga, kolusi, barang berkualitas rendah, dan penggunaan mekanisme darurat sebagai jalan pintas untuk menghindari persaingan. Oleh karenanya praktik pengendalian risiko harus dibangun sejak awal-bukan setelah masalah muncul. Ada tiga pilar utama: transparansi, akuntabilitas, dan jejak audit (audit trail).
Transparansi menuntut publikasi retrospektif: setelah kontrak darurat ditandatangani, unit pengadaan diharuskan mempublikasikan ringkasan kontrak (penyedia, nilai, alasan darurat, metode pengadaan) di portal pengadaan atau situs resmi. Publikasi ini memungkinkan pihak eksternal (media, masyarakat sipil, auditor) melakukan review awal. Pengalaman pandemi menunjukkan bahwa publikasi dan keterbukaan informasi menurunkan peluang penyalahgunaan karena adanya pengawasan publik yang cepat.
Akuntabilitas internal memerlukan penetapan aktor dan tanggung jawab yang jelas: siapa membuat keputusan penunjukan, siapa menandatangani kontrak, siapa mengesahkan pembayaran, dan siapa bertanggung jawab atas verifikasi mutu. Praktik baik termasuk rotasi anggota tim, peer-review atas keputusan penunjukan, dan keterlibatan auditor internal (BPKP atau unit pengawasan internal) sejak awal untuk verifikasi faktual. Surat edaran dan pedoman memberikan format minimal dokumentasi yang harus disiapkan agar audit dapat dilakukan secara efektif.
Jejak audit (audit trail) berarti semua langkah-surat keputusan penetapan status darurat, notulen komunikasi dengan penyedia, bukti penawaran, faktur, bukti penerimaan barang, foto/barcode penerimaan di lokasi-harus dicatat dan disimpan dalam sistem elektronik bila memungkinkan. Penggunaan platform e-procurement dengan modul darurat yang menyediakan log aktivitas meningkatkan kemampuan audit. Tanpa jejak audit, pembuktian bahwa proses memang diperlukan dan sah akan sulit di sidang pemeriksaan.
Selain itu, lembaga pengawas (BPK, BPKP, Inspektorat) biasanya diberi kewenangan melakukan audit cepat paska-peristiwa. Regulasi LKPP menegaskan pentingnya audit paska-kejadian dan kewajiban melaporkan temuan, sehingga unit pengadaan harus siap menerima pemeriksaan. Kombinasi transparansi, akuntabilitas dan audit trail adalah guardrails yang melindungi kecepatan respons tanpa mengorbankan tata kelola.
5. Keuangan, jaminan, dan mekanisme pembayaran dalam kondisi darurat
Pengaturan keuangan pada pengadaan darurat memiliki nuansa berbeda: kebutuhan modal (modal kerja) penyedia mungkin meningkat, mekanisme jaminan tradisional (bank guarantee/BG) sering menjadi hambatan, dan risiko pembayaran di muka meningkat. Oleh karenanya ada beberapa pola pengaturan keuangan praktis yang layak dipertimbangkan.
- Tentang jaminan: regulasi menilai opsi jaminan untuk pengadaan darurat secara fleksibel. Dalam beberapa kasus, pemberian jaminan dapat disesuaikan dengan konteks-mis. menggunakan jaminan asuransi, escrows, atau pembebasan jaminan dengan catatan kompensasi administrasi tertentu. Hal ini penting agar penyedia lokal kecil (UMKM) yang punya stok cepat tidak terhambat oleh persyaratan BG yang memakan waktu dan biaya. Namun pengurangan jaminan harus diimbangi mekanisme kontrol lain seperti inspeksi penerimaan dan retensi pembayaran sampai konfirmasi mutu.
- Soal pembayaran: model milestone payment atau partial advance sering dipakai agar penyedia bisa membeli bahan dan menyelesaikan pekerjaan cepat. Skema pembayaran bertahap memberikan keseimbangan: memberi modal kerja sementara tetap memberi ruang bagi unit pembeli menahan sebagian pembayaran sampai verifikasi mutu. Jika peraturan memungkinkan, opsi escrow (pihak ketiga menahan pembayaran sampai bukti penerimaan) adalah mekanisme aman untuk meminimalkan risiko gagal deliver. Regulasi LKPP dan KMK/aturan keuangan daerah biasanya menetapkan tata cara pencairan dana yang tetap harus dipatuhi meskipun percepatan dilakukan.
- Aspek value-for-money dan pengendalian harga: meskipun kondisi darurat mengurangi ruang untuk kompetisi penuh, unit pengadaan harus tetap berusaha melakukan perbandingan harga singkat-mengontak beberapa penyedia dan mendokumentasikan perbandingan. Bila ada bukti kenaikan ekstrem harga akibat situasi darurat, harus ada justifikasi tertulis. Sistem benchmarking harga (harga referensi dari pasar sebelum darurat) membantu menilai kewajaran harga. Lembaga pengadaan biasanya menganjurkan dokumentasi dan verifikasi harga agar tidak terjadi pemborosan.
- Kolaborasi dengan perbankan dan lembaga pembiayaan untuk menyediakan produk invoice financing atau kredit modal kerja bernilai cepat bagi penyedia darurat layak dipertimbangkan oleh pemerintah sebagai bagian kesiapan darurat. Ini mempercepat supply tanpa mengorbankan ketentuan jaminan berlebih.
6. Peran UMKM, katalog lokal, dan preferensi produk lokal di masa darurat
Masa darurat sering memperlihatkan pentingnya kemampuan produksi lokal-UMKM dan industri kecil dapat menjadi sumber pasokan cepat untuk kebutuhan non-spesifik (mis. tenda, selimut, masker sederhana, logistik makanan). Oleh sebab itu kebijakan pengadaan darurat idealnya memanfaatkan jaringan UMKM lokal, dengan catatan adanya mekanisme verifikasi mutu dan koordinasi skala. Integrasi UMKM mendukung ekonomi lokal sekaligus memperpendek rantai pasok.
Salah satu instrumen yang berguna adalah katalog elektronik (e-catalog) dan katalog lokal yang memuat daftar produk & penyedia domestik yang sudah prasyarat terverifikasi. Dalam kondisi darurat, unit pembeli dapat mengeksekusi pembelian langsung dari katalog lokal untuk produk yang telah terdaftar, sehingga proses lebih cepat tetapi tetap terstandar. Katalog juga memudahkan traceability dan akuntabilitas harga. Di sisi UMKM, pendaftaran ke katalog memerlukan pendampingan-banyak usaha kecil memerlukan bantuan pengurusan dokumen, pengemasan, dan penetapan harga.
Namun perlu kebijakan yang berhati-hati: preferensi produk lokal tidak boleh menjadi alasan menurunkan standar mutu. Regulasi dapat mensyaratkan level mutu minimum untuk produk yang ingin diberi preferensi, dan program supplier development harus berjalan paralel-membantu UMKM memenuhi standar melalui pelatihan, fasilitas bersama, atau akses pengujian. Model ini memastikan tujuan pemberdayaan lokal dan kecepatan respons tidak berkonflik dengan keselamatan dan kualitas.
Praktik terbaik termasuk membuat daftar penyedia darurat (pre-qualified suppliers) yang terdiri dari UMKM dan perusahaan lain yang telah diverifikasi kesiapan pasoknya. Pemerintah daerah dapat memetakan kapasitas produksi regional sehingga pada kejadian darurat layanan pengadaan dapat langsung mengaktifkan jaringan lokal tanpa proses panjang. Ini mengurangi kebutuhan impor sementara juga mendorong ekonomi lokal.
7. Pengawasan, audit, pelaporan paska-kejadian, dan sanksi
Salah satu aspek paling krusial dalam pengadaan darurat adalah mekanisme paska-kejadian: audit cepat, pelaporan, dan penegakan sanksi bila ditemukan penyalahgunaan. Regulasi mengatur bahwa setelah keadaan darurat terkendali, unit pengadaan wajib menyusun laporan lengkap yang mencakup ringkasan kebutuhan, alasan pemilihan mekanisme, daftar penyedia yang dihubungi, perbandingan harga, bukti penerimaan, dan hasil verifikasi mutu. Laporan ini menjadi basis audit oleh aparat pengawas.
Audit paska-kejadian tidak selalu bersifat menuntut hukuman langsung-sering diorientasikan pada pembelajaran (lessons learned) dan perbaikan prosedur. Namun bila audit menemukan indikasi maladministrasi, kolusi, atau korupsi, temuan harus ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum (diskualifikasi penyedia, sanksi administratif, atau rujukan pidana). Survei dan pengalaman dari periode pandemi menunjukkan bahwa audit independen dan keterlibatan publik (jurnalis, LSM anti-korupsi) efektif menurunkan praktik curang pada pengadaan darurat.
Selain audit resmi, unit pengadaan harus membuka jalur pelaporan publik dan melindungi whistleblower. Mekanisme aduan cepat (hotline atau portal online) memfasilitasi deteksi dini penyelewengan. Publikasi hasil audit dan tindakan korektif meningkatkan kepercayaan publik bahwa percepatan tidak identik dengan impunitas. Di banyak kebijakan LKPP terdapat ketentuan pelaporan wajib dalam waktu tertentu pasca-pengadaan darurat agar proses oversight berjalan cepat.
Pelajaran dari pengalaman global: audit paska-kejadian yang efektif menggabungkan pemeriksaan dokumen administratif dengan verifikasi fisik (spot-check lokasi distribusi, uji mutu barang), serta analisis harga pasar. Pengawasan juga harus mampu menilai dampak operasional (apakah barang sampai dan berfungsi), bukan sekadar menilai administratif belaka. Hasil audit harus dipakai untuk memperbarui pedoman tata laksana darurat dan memperbaiki sistem informasi pengadaan agar kejadian serupa lebih mudah diantisipasi kedepan.
8. Praktik terbaik, checklist operasional, dan studi kasus singkat
Berikut rangkuman praktik terbaik (best practices) yang dapat dipakai unit pengadaan untuk menyeimbangkan kecepatan dan tata kelola, disertai checklist singkat dan ilustrasi kasus singkat yang representatif.
Praktik terbaik
- Putuskan status darurat dengan keputusan tertulis – selalu ada dokumen resmi yang menjelaskan alasan dan batas waktu pengadaan darurat.
- Gunakan spesifikasi fungsional – tulis spesifikasi yang menekankan fungsi minimal sehingga lebih banyak penyedia dapat memenuhi.
- Hubungi beberapa penyedia & catat komunikasi – meski tidak tender penuh, lakukan perbandingan singkat.
- Publikasikan ringkasan kontrak pasca-penetapan – transparansi retrospektif meminimalkan praktik tidak wajar.
- Gunakan kontrak kerangka bila memungkinkan – mempercepat pembelian berulang dan memberi kepastian supply.
- Sediakan mekanisme pendanaan cepat untuk penyedia (invoice financing) – agar modal kerja tidak menghambat eksekusi.
- Sertakan audit paska-kejadian – audit administratif + verifikasi lapangan.
Checklist operasional cepat (untuk setiap paket darurat)
- Keputusan penetapan status darurat (tanda tangan pejabat).
- Spesifikasi kebutuhan dan estimasi nilai.
- Daftar penyedia yang dihubungi dan penawaran singkat.
- Dokumen penetapan penyedia dan alasan pemilihan.
- Bukti pengiriman/penerimaan barang (foto, tanda terima).
- Bukti pembayaran & mekanisme jaminan/escrow.
- Laporan paska-pengadaan untuk audit.
Studi kasus singkat (ilustrasi)
Kasus: Bencana banjir di Kabupaten A membutuhkan tenda, selimut, dan pompa air cepat. Tim darurat kabupaten menerbitkan keputusan status darurat, menyusun spesifikasi fungsional untuk tenda (kapasitas, bahan minimal), menghubungi 6 pemasok lokal/plural, dan memesan melalui katalog lokal untuk sebagian barang. Pembayaran diberikan 30% di muka, sisanya setelah verifikasi penerimaan. Seluruh kontrak dipublikasikan di portal kabupaten dalam 5 hari setelah kontrak. Audit paska-kejadian menunjukkan barang tiba tepat waktu, namun ada 2 pemasok yang kualitasnya perlu perbaikan-hasil audit menjadi dasar program pelatihan supplier lokal sehingga pada respons berikutnya kualitas meningkat. Model ini menunjukkan keseimbangan antara kecepatan dan perbaikan berkelanjutan.
Kesimpulan
Pengadaan barang/jasa di masa darurat merupakan mekanisme krusial untuk menyelamatkan nyawa, memulihkan layanan, dan mengurangi dampak sosial-ekonomi dari kejadian luar biasa. Regulasi di banyak negara – termasuk pedoman di Indonesia – mengizinkan penyederhanaan prosedur dalam situasi darurat, namun menuntut adanya basis hukum, dokumentasi yang jelas, dan kewajiban audit paska-kejadian. Kecepatan harus dipadukan dengan transparansi, akuntabilitas, dan kontrol risiko agar respons efektif tidak berujung pada pemborosan atau penyalahgunaan.
Secara praktis, unit pengadaan perlu menyiapkan prosedur internal siap pakai: tata kelola penetapan status, checklist operasional, mekanisme perbandingan harga singkat, opsi pembayaran yang aman, dan sistem pelaporan paska-kejadian. Kebijakan yang memfasilitasi keterlibatan supplier lokal-termasuk UMKM-melalui katalog dan program supplier development mempercepat respons sekaligus memberi efek positif pada ekonomi lokal. Akhirnya, pembelajaran dari pelaksanaan nyata harus diintegrasikan ke dalam pedoman agar respons di masa depan semakin cepat, efisien, dan bertanggung jawab.