Dalam banyak proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, spesifikasi teknis seharusnya menjadi dokumen yang memberikan kejelasan, kepastian, dan perlindungan. Ia adalah dokumen yang menjelaskan barang seperti apa yang dibutuhkan, kualitas apa yang diharapkan, dan bagaimana barang tersebut harus diserahkan oleh penyedia. Namun pada kenyataannya, spesifikasi teknis justru menjadi salah satu sumber temuan audit paling sering. Auditor, baik dari BPK, Inspektorat, maupun APIP internal, menyebutkan bahwa banyak permasalahan pengadaan berawal dari kelemahan spesifikasi teknis, bukan dari penyedianya. Ketika spesifikasi teknis lemah, tidak jelas, atau salah, seluruh proses pengadaan menjadi rentan. Penawaran sulit dievaluasi, mutu barang sulit dijaga, dan nilai belanja menjadi tidak sesuai manfaat.
Mengapa hal ini terjadi? Ada pola yang terus berulang di berbagai instansi dan jenis pengadaan. Ketika auditor memeriksa, mereka menemukan kesalahan-kesalahan klasik yang seharusnya bisa dihindari jika dokumen disusun dengan benar sejak awal. Kesalahan tersebut bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal cara berpikir dalam memahami kebutuhan, cara merumuskan detail spesifikasi, hingga cara menyesuaikan antara kebutuhan dan standar yang berlaku.
Salah satu kesalahan paling sering ditemukan auditor adalah ketika spesifikasi teknis ditulis terlalu umum. Spesifikasi yang umum sering kali dianggap aman oleh penyusun karena tidak terlihat mengarah kepada merek tertentu. Namun spesifikasi umum justru menjadi ladang masalah. Kalimat yang terdengar biasa seperti “kualitas baik”, “standar tinggi”, “sesuai kebutuhan”, atau “untuk penggunaan kantor” sebenarnya tidak menjelaskan apa pun. Penyedia kemudian bebas menafsirkan kata-kata tersebut. Ada penyedia yang menawarkan barang berkualitas menengah, ada pula yang menawarkan barang murah, dan semuanya tetap dianggap memenuhi karena tidak ada rujukan teknis yang jelas. Auditor kemudian menemukan bahwa barang yang diterima pemerintah kualitasnya jauh di bawah standar yang seharusnya. Temuan ini biasanya dimasukkan dalam kategori kesalahan perencanaan atau spesifikasi tidak memadai.
Kesalahan besar lain yang sering muncul adalah spesifikasi terlalu mengarah ke satu merek atau tipe tertentu. Ini juga menjadi temuan favorit auditor karena dianggap melanggar prinsip kompetisi sehat. Penyusun spesifikasi terkadang secara sadar menuliskan detail yang hanya dimiliki oleh satu merek tertentu. Kadang penyusunnya melakukannya karena ketidaktahuan, tetapi sering kali karena merasa merek tertentu yang paling cocok. Auditor tidak peduli alasan tersebut; jika spesifikasi mengarah, pengadaan dianggap tidak fair. Meski tak mencantumkan merek secara eksplisit, spesifikasi yang sangat rinci namun unik sering dianggap mengarahkan. Contohnya menulis ukuran yang terlalu spesifik, teknologi yang hanya dimiliki satu merek, atau fitur tambahan yang tidak relevan namun khas dari satu produk tertentu. Temuan audit atas kesalahan ini biasanya berkaitan dengan persaingan usaha tidak sehat atau indikasi pengaturan pemenang.
Selain spesifikasi yang terlalu umum atau terlalu mengarah, auditor juga sering menemukan bahwa spesifikasi teknis tidak konsisten dengan dokumen lain. Dalam banyak laporan audit, ketidaksinkronan antara spesifikasi teknis, KAK, RAB, dan HPS menjadi salah satu penyebab utama temuan. Misalnya, spesifikasi teknis menuntut resolusi kamera tertentu, tetapi HPS tidak menghitung harga kamera tersebut. Atau KAK meminta pekerjaan berkualitas tinggi, tetapi spesifikasi hanya mencantumkan kebutuhan dasar. Ketidakselarasan seperti ini menunjukkan bahwa dokumen disusun tidak berdasarkan perencanaan yang matang, sehingga auditor menilai penyusunan dokumen tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ketika temuan seperti ini muncul, auditor biasanya mempertanyakan proses perencanaan dan menilai bahwa kualitas input pengadaan kurang memadai.
Temuan lainnya muncul ketika spesifikasi teknis tidak mencantumkan standar. Standar seperti SNI, ISO, atau standar lainnya sering kali menjadi acuan kualitas yang objektif dan diakui. Ketika spesifikasi tidak mencantumkan standar, auditor akan mempertanyakan dasar penentuan mutu barang. Misalnya, pengadaan helm tanpa mencantumkan standar SNI sering menjadi temuan karena barang yang diterima tidak memenuhi persyaratan keselamatan. Begitu pula dengan pengadaan material konstruksi yang tidak menyebutkan standar ASTM atau SNI, sehingga kualitas material menjadi tidak dapat dibuktikan. Tanpa standar yang jelas, auditor menganggap bahwa pengadaan tersebut telah menyerahkan kendali kualitas kepada penyedia secara berlebihan.
Auditor juga sering menemukan kesalahan berupa ketidaksesuaian antara barang yang diterima dengan spesifikasi teknis. Masalah ini bukan selalu kesalahan penyedia, tetapi sering kali disebabkan oleh spesifikasi teknis yang ambigu atau tidak tegas. Misalnya, spesifikasi meminta “warna netral,” lalu penyedia mengirimkan warna abu-abu terang, sementara pengguna mengharapkan warna hitam. Atau spesifikasi meminta “material kuat,” tetapi tidak menjelaskan jenis material yang dimaksud. Ketika barang datang dan tidak sesuai ekspektasi, auditor akan menilai bahwa spesifikasi lemah sehingga menimbulkan interpretasi berbeda. Temuan seperti ini biasanya diklasifikasikan sebagai kelemahan pengendalian internal.
Kesalahan lain yang sering menjadi temuan audit adalah ketika spesifikasi teknis tidak berbasis analisis kebutuhan. Dalam banyak pengadaan, auditor menemukan bahwa barang yang dibeli tidak digunakan atau tidak dimanfaatkan secara optimal. Ini terjadi karena spesifikasi disusun tanpa melibatkan pengguna akhir. Pengadaan laptop misalnya, sering kali tidak memperhatikan jenis pekerjaan pengguna. Alhasil, instansi membeli laptop dengan prosesor tinggi tetapi pengguna hanya membutuhkan aplikasi perkantoran sederhana. Auditor akan menilai bahwa spesifikasi tidak disusun berdasarkan kebutuhan nyata, dan pengadaan dianggap pemborosan anggaran. Ini menjadi temuan efisiensi yang sering muncul dalam laporan audit keuangan.
Masalah berikutnya yang sering ditemukan auditor adalah spesifikasi teknis tidak mencantumkan parameter kinerja. Untuk barang seperti mesin, alat elektronik, atau alat produksi, kinerja adalah hal terpenting. Namun banyak spesifikasi hanya mencantumkan dimensi atau merek komponen, tetapi tidak mencantumkan kemampuan operasionalnya. Auditor akan menilai bahwa barang tersebut tidak dapat dievaluasi kinerjanya secara objektif. Ketika barang yang diterima kemudian memiliki performa rendah, auditor menjadikan kelemahan spesifikasi teknis sebagai akar masalahnya.
Spesifikasi teknis juga menjadi sumber temuan ketika ia tidak mencantumkan jaminan mutu atau garansi. Garansi adalah salah satu cara memastikan barang berkualitas tinggi. Barang tanpa garansi minimal sering dianggap tidak layak. Namun dalam banyak pengadaan, garansi tidak tertulis di spesifikasi teknis. Penyedia tidak wajib memberikan garansi, dan ketika barang rusak lebih cepat dari umur teknisnya, auditor menilai bahwa pemerintah dirugikan. Temuan seperti ini biasanya muncul dalam pengadaan barang elektronik, peralatan kantor, atau kendaraan.
Kesalahan lain yang sering ditemukan adalah spesifikasi teknis hasil copy-paste dari tahun-tahun sebelumnya. Auditor dapat melihat pola kesalahan yang berulang, seperti ketidaksesuaian antara spesifikasi dengan kondisi pasar, atau spesifikasi yang mencantumkan teknologi lama yang sudah tidak relevan. Ketika auditor melihat dokumen dengan format persis sama selama bertahun-tahun, mereka menyimpulkan bahwa spesifikasi disusun tanpa kajian baru. Ini menjadi temuan perencanaan yang tidak memadai.
Dalam pekerjaan konstruksi, auditor sering menemukan kesalahan berupa ketidaktepatan volume pekerjaan. Spesifikasi teknis yang tidak mencantumkan volume dengan jelas menyebabkan perhitungan biaya menjadi tidak akurat. Ketika volume dihitung di HPS tetapi tidak disebutkan di spesifikasi, auditor menilai dokumen tidak konsisten. Ketika volume ternyata tidak sesuai kondisi lapangan, auditor menilai bahwa perencanaan tidak didasarkan pada kajian teknis. Temuan-temuan seperti ini umum terjadi terutama dalam proyek konstruksi skala besar.
Selain itu, spesifikasi teknis sering menjadi titik lemah karena tidak menutup celah manipulasi oleh penyedia. Misalnya, spesifikasi menyebutkan jenis komponen tertentu, tetapi tidak mencantumkan tingkat kualitasnya. Penyedia kemudian menggunakan komponen berkualitas rendah. Ketika auditor menemukan bahwa komponen tersebut tidak tahan lama atau tidak memenuhi standar, mereka menilai bahwa pengadaan tidak memenuhi prinsip value for money. Penyebabnya bukan hanya pada penyedia, tetapi pada spesifikasi yang tidak memberikan batas bawah kualitas.
Temuan audit juga sering muncul karena spesifikasi teknis tidak didukung oleh dokumen pendukung, seperti katalog, hasil survei pasar, atau referensi teknis. Ketika auditor meminta pembuktian, penyusun spesifikasi tidak dapat menunjukkan dasar penetapan kualitas atau fitur barang. Akibatnya, spesifikasi dianggap tidak memiliki landasan objektif. Auditor kemudian mencatatnya sebagai kelemahan dalam perencanaan dan justifikasi teknis.
Satu kesalahan lain yang sering terjadi adalah spesifikasi teknis tidak mempertimbangkan kemampuan penyedia lokal. Beberapa instansi menulis spesifikasi yang sangat rumit atau berteknologi tinggi padahal barang tersebut tidak tersedia di pasar lokal. Ketika hanya sedikit penyedia yang dapat menawarkan barang tersebut, auditor menilai pengadaan tidak kompetitif. Selain berisiko mengarah, pengadaan seperti ini juga rentan gagal karena penyedia tidak dapat memenuhi permintaan.
Ada juga temuan audit besar ketika spesifikasi teknis bertentangan dengan regulasi atau standar nasional. Misalnya, instansi meminta material tertentu yang sebenarnya dilarang digunakan. Atau spesifikasi mencantumkan parameter teknis yang tidak sesuai dengan pedoman kementerian terkait. Ketika auditor memeriksa, mereka akan menilai bahwa pengadaan tidak sesuai aturan dan harus dikoreksi.
Dari semua kesalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa akar masalah sebenarnya adalah kurangnya perhatian serius pada penyusunan spesifikasi teknis. Banyak instansi menganggap spesifikasi hanyalah syarat administrasi, padahal spesifikasi justru dokumen paling kritis. Auditor memperlakukan spesifikasi teknis sebagai titik awal penilaian kewajaran belanja. Dokumen ini menentukan apakah pengadaan tersebut patut, efisien, dan bebas dari konflik kepentingan.
Karena itulah, spesifikasi teknis sering menjadi temuan audit: ia menjadi fondasi yang lemah. Jika fondasinya lemah, seluruh bangunan pengadaan menjadi goyah. Penyedia bisa memanfaatkan celah, pengguna bisa salah menerima barang, dan pemerintah bisa dirugikan secara signifikan. Untuk menghindari temuan audit, instansi harus memperlakukan spesifikasi teknis bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai dokumen strategis yang membutuhkan analisis matang, kajian pasar, pemahaman teknis, dan penyelarasan dengan dokumen lain.







