Cara Mengidentifikasi Volume Kerja secara Akurat

Dalam setiap proses pengadaan barang maupun jasa, ada satu elemen yang sering dianggap sederhana tetapi dampaknya sangat besar terhadap keseluruhan rangkaian pekerjaan: volume kerja. Volume kerja adalah gambaran seberapa banyak pekerjaan harus dilakukan, seberapa banyak barang harus disediakan, dan seberapa luas atau besar ruang lingkup yang harus diselesaikan oleh penyedia. Tanpa volume kerja yang jelas, pengadaan menjadi seperti berlayar tanpa peta. Harga menjadi tidak akurat, durasi pekerjaan menjadi tidak realistis, HPS mudah dipersoalkan auditor, dan penyedia berpotensi menafsirkan kebutuhan secara berbeda. Hal kecil yang tampak sederhana ini sebenarnya adalah pondasi yang menuntun seluruh proses pengadaan, dari perencanaan hingga pelaksanaan.

Volume kerja yang tidak akurat dapat menyebabkan kerugian besar. Jika volume terlalu rendah, maka anggaran menjadi tidak cukup dan penyedia tidak mampu memenuhi kewajiban. Jika volume terlalu tinggi, negara menjadi membayar lebih mahal dari yang seharusnya. Auditor sangat sensitif terhadap hal ini. Mereka sering menemukan bahwa kelebihan bayar, kekurangan volume pekerjaan, atau pemborosan anggaran terjadi bukan karena kesalahan penyedia, tetapi karena volume kerja sejak awal dihitung secara keliru. Karenanya, kemampuan untuk mengidentifikasi volume kerja secara akurat adalah kompetensi penting bagi PPK, PPKom, pokja pemilihan, penyusun HPS, perencana teknis, dan siapa pun yang terlibat dalam pemenuhan kebutuhan barang dan jasa.

Mengidentifikasi volume kerja yang akurat bukan sekadar menghitung angka. Ia adalah proses memahami pekerjaan secara menyeluruh. Volume kerja bukan sekadar kuantitas, tetapi deskripsi mengenai apa yang benar-benar dilakukan. Dalam pekerjaan konstruksi, volume kerja adalah panjang, luas, tinggi, ketebalan, jumlah item, hingga berat material. Dalam pengadaan barang, volume bisa berarti jumlah unit, kapasitas minimum, jumlah komponen, atau total kebutuhan operasional selama setahun. Dalam pengadaan jasa, volume bisa berupa durasi pekerjaan, jumlah tenaga ahli, frekuensi pertemuan, jumlah output yang harus dihasilkan, atau jumlah jam kerja. Semuanya harus dirumuskan secara logis dan konsisten.

Kesalahan terbesar dalam pengadaan biasanya muncul ketika volume kerja dihitung berdasarkan asumsi. Banyak instansi menyusun volume tanpa kajian lapangan, tanpa dialog dengan pengguna, atau tanpa memahami konteks pekerjaan. Akibatnya, penyedia menggunakan interpretasi sendiri. Mereka bisa menilai volume berbeda dari apa yang tertulis di dokumen, dan hal ini sering menimbulkan perdebatan saat pelaksanaan kontrak. Pada akhirnya, yang rugi adalah pemerintah karena pekerjaan menjadi tidak sesuai rencana.

Proses identifikasi volume kerja yang ideal harus dimulai dari pemahaman kebutuhan pengguna. Pengguna barang atau penerima manfaat adalah pihak yang paling tahu apa yang dibutuhkan dan seberapa besar volumenya. Misalnya, dalam pengadaan laptop untuk pegawai, pengguna harus menjelaskan berapa banyak pegawai yang membutuhkan laptop baru, berapa banyak unit yang rusak, dan berapa unit cadangan yang realistis diperlukan. Pengadaan sering bermasalah karena jumlah kebutuhan tidak dihitung berdasarkan data pengguna, melainkan berdasarkan perkiraan. Ketika auditor memeriksa, mereka meminta bukti bahwa jumlah barang yang diadakan benar-benar dibutuhkan. Volume kerja yang tidak dihitung dengan data akan dianggap sebagai pemborosan.

Selain memahami pengguna, identifikasi volume kerja juga membutuhkan survei lapangan. Dalam pekerjaan konstruksi, survei lapangan adalah kewajiban absolut. Tidak mungkin menghitung volume pekerjaan jalan, bangunan, atau drainase tanpa melihat lokasi langsung. Panjang jalan tidak bisa hanya memakai angka dari dokumen lama. Kondisi lapangan bisa berubah, kontur tanah bisa berbeda, dan kebutuhan pekerjaan bisa bertambah. Auditor sering menemukan bahwa volume konstruksi tidak sesuai kondisi lapangan karena penghitungan dilakukan dari meja kantor. Untuk memperoleh volume kerja yang akurat, tim harus turun ke lapangan, mengukur panjang, lebar, kedalaman, kemiringan, dan kondisi aktual.

Di luar pekerjaan konstruksi, survei lapangan juga penting. Misalnya, ketika mengadakan CCTV, tim perlu memeriksa berapa titik yang memerlukan pemasangan kamera, berapa panjang kabel yang diperlukan, dan apakah lokasi memerlukan bracket khusus. Tanpa survei, volume dapat meleset jauh. Begitu pula dalam pengadaan lampu jalan, volume tidak bisa hanya berdasarkan peta, tetapi harus diperiksa di lapangan apakah tiang masih layak atau lampu yang rusak lebih banyak atau lebih sedikit daripada perkiraan.

Untuk pekerjaan jasa, volume kerja harus dihitung berdasarkan output dan kegiatan nyata. Pengadaan jasa konsultan memerlukan jumlah tenaga ahli, durasi mereka bekerja, jumlah pertemuan, jumlah laporan, dan kompleksitas pekerjaan. Jika volume tidak dihitung dengan rinci, penyedia akan menafsirkan lingkup kerja secara berbeda. Misalnya, penyedia mungkin menganggap satu laporan berarti laporan ringkas, sedangkan pengguna menginginkan laporan komprehensif. Di sinilah pentingnya menuliskan volume secara rinci dalam bentuk output terukur.

Volume kerja yang baik juga harus mempertimbangkan frekuensi. Banyak instansi salah dalam menghitung volume karena lupa bahwa kegiatan tertentu terjadi berulang. Dalam pengadaan jasa kebersihan, misalnya, volume kerja tidak hanya jumlah luas ruangan, tetapi berapa kali pekerjaan dilakukan dalam sehari. Dua jam kebersihan di pagi hari dan dua jam di sore hari menghasilkan volume yang berbeda dengan hanya satu kali pembersihan sehari. Auditor sering memberikan temuan pada kontrak jasa kebersihan karena volume ditulis terlalu umum seperti “membersihkan ruangan setiap hari” tanpa menyebutkan durasi, frekuensi, dan luas area secara real.

Identifikasi volume kerja yang akurat juga membutuhkan pemahaman terhadap standar pekerjaan. Misalnya, dalam pekerjaan pengecatan dinding, volume bukan sekadar total luas dinding, tetapi harus diperhitungkan jumlah lapisan cat, jenis cat, dan kebutuhan pelapisan dasar. Volume pekerjaan pengecatan akan berbeda antara pekerjaan interior dan eksterior. Selain itu, pekerjaan pengecatan yang membutuhkan pendempulan atau perbaikan dinding harus dihitung dengan volume terpisah. Auditor sering menemukan volume pengecatan yang tidak realistis, misalnya luas dinding dihitung tanpa mengurangi luas jendela atau pintu. Kesalahan matematis seperti ini bisa menjadi temuan karena menunjukkan kurangnya kajian teknis.

Selain itu, volume kerja yang akurat harus mempertimbangkan durasi operasional. Dalam pengadaan bahan bakar misalnya, volume tidak boleh berdasarkan perkiraan informal, tetapi harus menghitung jumlah kendaraan, jarak tempuh, rata-rata konsumsi, dan frekuensi perjalanan. Auditor akan menilai apakah volume bahan bakar mencerminkan penggunaan sebenarnya. Jika volume terlalu besar tanpa pembuktian, maka akan dianggap pemborosan.

Volume kerja juga harus mempertimbangkan kebutuhan cadangan tetapi dalam batas wajar. Cadangan tidak boleh dibuat asal-asalan. Misalnya, dalam pengadaan ATK, volume kebutuhan satu tahun harus dihitung berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya, jumlah pegawai, dan pola kerja. Menambah volume secara berlebihan tanpa dasar akan dianggap tidak wajar oleh auditor. Volume cadangan harus memiliki justifikasi, seperti penggunaan intensif, permintaan mendadak, atau keperluan strategis.

Identifikasi volume kerja juga wajib mempertimbangkan kondisi risiko. Dalam pekerjaan lapangan, risiko seperti kerusakan alat, perubahan cuaca, atau kondisi tanah yang tidak stabil dapat memengaruhi volume kerja. Namun risiko tidak boleh menjadi alasan untuk menambah volume secara sembarangan. Volume tambahan harus berdasarkan analisis risiko yang terdokumentasi. Auditor sering menemukan volume pekerjaan tambahan tanpa bukti justifikasi yang kuat.

Selain menghitung volume berdasarkan kondisi nyata, penyusun volume kerja harus memastikan bahwa setiap angka dapat diverifikasi. Verifikasi adalah kata kunci dalam audit. Volume harus dapat diperiksa kembali melalui dokumen, catatan, foto lapangan, hasil survei, atau data penggunaan. Misalnya, jika volume pengadaan kursi sebanyak seratus unit, auditor ingin melihat bahwa memang ada seratus pegawai atau ruang kerja yang membutuhkan kursi tersebut. Jika volume pekerjaan jalan sepanjang 5 kilometer, auditor ingin melihat bukti pengukuran. Volume yang tidak bisa diverifikasi adalah volume yang lemah secara audit.

Setelah volume dihitung, dokumen volume harus disusun agar mudah dipahami. Penyampaian volume yang baik harus mencantumkan lokasi, satuan, angka, dan keterangan. Misalnya, untuk pekerjaan konstruksi, volume permeteran harus disertai lokasi spesifik dan jenis pekerjaan. Dalam pengadaan barang, jumlah unit harus disertai kategori pengguna. Semakin jelas dokumen volume kerja, semakin kecil kemungkinan timbul perdebatan dengan penyedia.

Volume kerja juga harus diselaraskan dengan spesifikasi teknis, HPS, KAK, dan RAB. Kesalahan umum muncul ketika volume kerja tidak sesuai dengan dokumen lain. Misalnya, volume pekerjaan pengecatan tertulis 500 meter persegi dalam spesifikasi teknis, tetapi hanya dihitung 300 meter persegi dalam HPS. Ketidaksesuaian ini sering menjadi temuan auditor karena menunjukkan dokumen disusun tanpa kehati-hatian. Karena itu, setelah volume dihitung, penyusun harus melakukan konsistensi lintas dokumen sehingga seluruh nilai dan angka saling terhubung.

Identifikasi volume kerja juga membutuhkan komunikasi intensif antara pengguna, penyusun KAK, penyusun spesifikasi, dan penyusun HPS. Kesalahan sering terjadi karena masing-masing bekerja sendiri-sendiri. Pengguna tahu apa yang dibutuhkan, tetapi penyusun HPS tahu bagaimana menghitung harga, dan penyusun spesifikasi tahu bagaimana menulis kebutuhan secara teknis. Jika komunikasi tidak terjadi, volume akan terpecah dan tidak konsisten. Volume kerja terbaik adalah volume yang disepakati bersama oleh tim.

Pada akhirnya, identifikasi volume kerja secara akurat bukan hanya soal angka, tetapi soal integritas perencanaan. Volume yang akurat mencerminkan ketelitian instansi dalam mengelola uang negara. Auditor sering memuji instansi yang memiliki volume kerja jelas, terukur, dan didukung data lapangan yang valid. Volume yang akurat adalah tanda bahwa instansi merencanakan pengadaan dengan serius, bukan sekadar memenuhi formalitas.

Ketika volume dihitung dengan baik, pengadaan menjadi efisien, penyedia dapat bekerja dengan jelas, kontrak berjalan lancar, dan potensi konflik berkurang. Barang atau pekerjaan yang diterima pun sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang direncanakan. Identifikasi volume kerja yang akurat adalah salah satu fondasi terpenting agar pengadaan berjalan akuntabel dan memberikan manfaat nyata bagi organisasi maupun masyarakat.

Bagikan tulisan ini jika bermanfaat