SOP Pengadaan Sudah Ada, Tapi Tidak Dijalankan: Ini Penyebabnya

Pendahuluan

Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan tulang punggung dari sistem kerja di instansi pemerintah maupun perusahaan swasta, termasuk dalam proses pengadaan barang dan jasa. Tujuan dibuatnya SOP adalah agar setiap tahapan dapat berjalan seragam, terukur, transparan, dan akuntabel. Namun, dalam praktiknya, tidak jarang SOP yang sudah dirancang dengan susah payah justru tidak dijalankan dengan konsisten.

Kondisi ini tentu menimbulkan sejumlah pertanyaan kritis: Mengapa SOP pengadaan tidak dijalankan padahal sudah tersedia? Apakah ada kelemahan dalam penyusunannya? Apakah sumber masalah berasal dari budaya kerja? Atau barangkali dari faktor eksternal seperti tekanan waktu dan permintaan mendadak?

Artikel ini akan membahas secara mendalam berbagai penyebab mengapa SOP pengadaan tidak dijalankan, mulai dari faktor manusia, struktur organisasi, hingga sistem pengawasan. Tidak hanya itu, artikel ini juga menyajikan pendekatan solutif agar SOP tidak sekadar menjadi dokumen mati, tetapi dapat menjadi pedoman nyata dalam pengadaan yang tertib dan profesional.

1. Memahami Fungsi SOP Pengadaan – Lebih Dalam

Sebelum menelusuri alasan mengapa SOP kerap diabaikan, kita harus benar-benar memahami nilai strategis keberadaannya. Tanpa kesadaran ini, SOP akan terus dipandang sekadar “syarat dokumen” yang dibubuhkan di lembar audit, bukan instrumen manajemen yang melindungi organisasi dari risiko finansial, hukum, dan reputasi. Berikut penguraian rinci empat fungsi utama SOP pengadaan beserta ilustrasi praktisnya.

1.1 Memberikan Panduan Teknis dan Administratif

Apa artinya?

SOP memecah proses pengadaan menjadi langkah-langkah terukur-dari perencanaan kebutuhan, proses seleksi penyedia, penetapan harga, penandatanganan kontrak, hingga penerimaan barang/jasa. Setiap langkah memuat:

  • Tugas: apa yang harus dilakukan (mis. menyusun Kerangka Acuan Kerja).
  • Pelaku: siapa yang bertanggung jawab (mis. PPK, Pokja, Pejabat Pengadaan).
  • Batas waktu: berapa lama tahap dilaksanakan.
  • Formulir/dokumen: apa yang harus diisi atau diunggah pada sistem.

Mengapa penting?

Tanpa panduan semacam ini, interpretasi tiap orang bisa berbeda. Pelaksana A mungkin beranggapan negosiasi harga boleh dilakukan lewat telepon saja, sedangkan Pelaksana B menuntut berita acara resmi. Perbedaan tadi menimbulkan konflik internal dan celah sengketa hukum.

Ilustrasi singkat

SOP yang baik biasanya memuat decision matrix-misalnya, belanja di bawah Rp 50 juta menggunakan metode pembelian langsung, Rp 50-200 juta menggunakan perbandingan minimal dua penawaran, di atas Rp 200 juta wajib tender. Matriks ini membuat “batas kewenangan” menjadi terang; staf level supervisor tidak bisa tiba-tiba menandatangani kontrak Rp 5 miliar.

1.2 Menghindari Praktik Koruptif dan Penyimpangan

Apa artinya?

SOP menghadirkan control points (titik kendali) dan segregation of duties (pemisahan tugas) sehingga proses tidak dikuasai satu tangan saja. Setiap transaksi tercatat dan harus melewati persetujuan berlapis.

Bagaimana bekerja?

  1. Transparansi harga – penyedia diminta mengunggah penawaran di sistem e-procurement; semua pihak bisa melihat kapan dokumen diunggah, siapa yang mengubah, dan nilai penawaran.
  2. Jejak audit digital – sistem mencatat IP address dan waktu login setiap pengguna.
  3. Pemisahan fungsi – orang yang menyusun spesifikasi tidak boleh menjadi anggota evaluasi harga, sehingga konflik kepentingan dikurangi.

Hasilnya?

Ruang negosiasi “di bawah meja” menyempit drastis. Penyedia yang mencoba menyuap satu oknum tidak akan berhasil bila keputusan akhir harus diverifikasi banyak tangan dan rekam jejaknya diamankan di server.

1.3 Meningkatkan Efisiensi Proses

Apa artinya?

SOP men-standardisasi alur kerja sehingga:

  • Tidak ada duplikasi – form yang sama tidak diisi di dua tempat berbeda.
  • Tidak ada penundaan tanpa alasan – tanggal jatuh tempo tiap tahap jelas.
  • Tidak ada kebingungan peran – siapa “melempar bola” ke siapa sesudah tanda tangan bisa dilihat di bagan alur.

Dampak positif langsung

Rata-rata waktu pengadaan turun karena pelaksana tidak sibuk menebak-nebak prosedur. Biaya lembur berkurang, vendor puas karena kepastian proses, dan proyek mulai tepat waktu.

Contoh konkrit

Perusahaan konstruksi yang sebelumnya memerlukan 45 hari untuk pengadaan material kini bisa menekan durasi menjadi 25 hari setelah SOP baru dikombinasikan dengan e-catalog dan online approval.

1.4 Membangun Akuntabilitas dan Rekam Jejak

Apa artinya?

Semua kegiatan pengadaan-mulai dari notulen rapat klarifikasi hingga Berita Acara Serah Terima-tersimpan rapi. Ketika auditor menelusuri pengeluaran, organisasi cukup membuka folder SOP-Pengadaan-Tahun Berjalan, bukan memburu dokumen di laci pegawai yang sudah pindah.

Manfaat strategis

  1. Menjawab audit eksternal – BPK, KAP, atau inspektorat cepat mendapat bukti, mengurangi potensi temuan.
  2. Mitigasi sengketa – bila vendor menggugat, organisasi bisa menunjuk bukti kepatuhan prosedur.
  3. Pembelajaran organisasi – data historis diolah menjadi benchmark harga dan waktu untuk pengadaan berikutnya.

1.5 Ketika SOP Hanya “Formalitas Kertas”

Semua manfaat di atas berlaku hanya jika SOP dipraktikkan. Begitu SOP sekadar jadi lampiran ISO atau persyaratan Sertifikasi LKPP tanpa disosialisasikan, naskah itu berubah “kertas mati”. Pelaksana akan:

  • Kembali ke pola lama (“tanya senior saja” atau “ikuti instruksi lisan atasan”).
  • Melompati tahapan yang dianggap ribet.
  • Mempersingkat waktu dengan cara yang tidak terdokumentasi.

Dampaknya, organisasi tetap rentan praktik curang, inefisiensi, dan kehilangan daya saing-padahal sudah punya SOP yang seharusnya bisa mencegah semua itu.

Ringkasan Fungsi SOP Pengadaan
Fungsi Nilai Tambah Risiko jika Diabaikan
Panduan teknis-administratif Kejelasan tugas & batas kewenangan Kekacauan peran, interpretasi liar
Mekanisme antikorupsi Titik kendali & bukti audit Celah suap, mark-up harga
Efisiensi proses Waktu & biaya pengadaan turun Pemborosan, keterlambatan proyek
Akuntabilitas Dokumen lengkap, siap audit Temuan, sengketa, reputasi buruk

2. Penyebab Internal: Faktor Manusia dan Budaya Kerja

2.1. Kurangnya Pemahaman atas Isi SOP

Banyak pelaksana pengadaan hanya tahu bahwa SOP itu “ada”, tetapi tidak benar-benar memahami isinya. Dokumen setebal 40 halaman lebih sering dijadikan syarat administrasi daripada dipelajari.

Contoh kasus:Staf logistik tidak tahu bahwa pemilihan vendor harus melewati proses evaluasi teknis, karena selama ini hanya mengikuti instruksi atasan secara verbal.

Akar masalahnya:

  • Sosialisasi SOP minim.
  • Tidak ada pelatihan khusus.
  • Bahasa SOP terlalu teknis atau kaku.

2.2. Budaya Kerja “Yang Penting Cepat”

Di banyak organisasi, ada tekanan tidak tertulis: kecepatan lebih penting daripada kepatuhan prosedur. Hal ini memicu sikap improvisasi tanpa dasar.

Contoh:

Saat kebutuhan mendesak, pengadaan dilakukan secara langsung tanpa proses pembandingan harga, tanpa melibatkan tim verifikasi.

Dampak jangka panjang:

  • Rentan temuan audit.
  • Potensi mark-up harga tinggi.
  • Menurunnya integritas proses.

2.3. Ketergantungan pada Figur Tertentu

Jika proses pengadaan terlalu bergantung pada satu orang (misalnya pejabat pembuat komitmen/PPK), maka saat orang tersebut cuti atau diganti, SOP terabaikan.

Masalah sistemik:

  • Tidak ada alih pengetahuan.
  • Pengadaan menjadi personalistik, bukan sistemik.

3. Penyebab Struktural: Desain SOP dan Organisasi yang Lemah

3.1. SOP Terlalu Ideal, Tidak Realistis

SOP yang dirancang oleh konsultan atau bagian hukum kadang tidak memperhitungkan dinamika lapangan. Misalnya, tahap pengadaan diatur harus memakan waktu 30 hari padahal kebutuhan barangnya mendesak dan hanya tersedia di satu penyedia lokal.

Akhirnya:

Pengguna melompati prosedur karena SOP dianggap memperlambat.

3.2. Tidak Ada Penyesuaian SOP dengan Kondisi Terkini

SOP yang dibuat lima tahun lalu belum tentu cocok dengan sistem e-purchasing terbaru. Jika tidak direvisi secara berkala, pelaksana akan merasa “lebih mudah” mengambil jalur cepat di luar SOP.

3.3. Struktur Tim Tidak Mendukung

  • Tidak ada unit pengadaan khusus.
  • Tugas pengadaan dibebankan pada orang yang juga merangkap urusan lain.
  • Terlalu banyak lapis birokrasi yang membuat SOP tidak praktis.

Hal-hal tersebut mendorong pelaksana untuk menghindari SOP karena dianggap menyulitkan pekerjaan.

4. Faktor Eksternal: Tekanan Waktu dan Politik Organisasi

Walaupun SOP pengadaan telah disusun secara cermat dan sesuai dengan aturan regulasi yang berlaku, kenyataan di lapangan sering kali tidak semulus teori. Salah satu kendala utama datang dari faktor eksternal yang berada di luar kendali teknis pelaksana pengadaan, yaitu tekanan waktu yang tidak realistis dan dinamika politik organisasi. Dua faktor ini sering menjadi pemicu utama mengapa prosedur yang telah ditetapkan secara resmi tidak dijalankan sepenuhnya.

4.1. Permintaan Mendadak: Ketika Waktu Tidak Bersahabat dengan SOP

Fenomena umum di instansi dan organisasi pemerintahan maupun swasta adalah munculnya permintaan pengadaan barang atau jasa secara tiba-tiba. Kondisi ini dapat terjadi karena beberapa hal:

  • Arahan mendadak dari pimpinan atas.
  • Penyesuaian anggaran akhir tahun (serapan harus segera dilakukan).
  • Kegiatan dadakan seperti kunjungan pejabat pusat, bencana alam, atau event strategis.

Contoh nyata:

“Besok Menteri Kesehatan akan berkunjung, tolong siapkan ruang isolasi tambahan dan perlengkapannya hari ini juga.”Padahal pengadaan alat kesehatan membutuhkan setidaknya 5-7 hari kerja sesuai SOP.

Dalam situasi ini, tim pengadaan berada dalam posisi serba salah. Di satu sisi, mereka tahu bahwa proses harus mengikuti tahapan mulai dari penyusunan HPS (Harga Perkiraan Sendiri), permintaan penawaran, evaluasi, hingga kontrak. Di sisi lain, waktu yang diberikan secara praktis tidak memungkinkan.

Dampaknya?

  • Pelaksana terpaksa “melangkahi” beberapa tahap.
  • Bukti administrasi sering kali dibuat setelah barang diterima, bukan sebelumnya.
  • Vendor dipilih secara instan, tanpa klarifikasi teknis maupun pembandingan harga.

Mengapa ini terjadi? SOP pengadaan umumnya tidak mencantumkan jalur khusus untuk situasi darurat atau permintaan mendesak. Akibatnya, ketika kondisi “tidak normal” muncul, pelaksana tidak punya panduan alternatif yang sah, sehingga improvisasi menjadi pilihan satu-satunya.

Solusi jangka panjang: Organisasi perlu:

  • Menyusun protokol pengadaan darurat secara resmi dan terdokumentasi.
  • Memberikan ruang dalam SOP untuk “fast track procurement” dengan batasan dan mekanisme pengawasan ketat.
  • Melatih pelaksana agar dapat membedakan antara permintaan darurat yang valid dan alasan “darurat semu” yang digunakan untuk melanggar prosedur.

4.2. Intervensi Non-Teknis: Ketika Jalur Formal Ditekan Jalur Informal

Salah satu faktor paling sensitif yang menyebabkan SOP pengadaan tidak dijalankan adalah intervensi dari pihak-pihak berkepentingan di luar proses teknis. Intervensi ini dapat berasal dari berbagai sumber:

  • Pejabat tinggi internal (direktur, kepala dinas, bupati).
  • Mitra eksternal (pengusaha lokal, politisi, sponsor proyek).
  • Tokoh-tokoh informal dengan pengaruh sosial atau ekonomi kuat.

Contoh-contoh kasus di lapangan:

  • Seorang kepala bidang diminta “mengakomodasi” perusahaan A sebagai penyedia walaupun nilai penawarannya tidak kompetitif.
  • Vendor sudah ditentukan sejak awal, dan proses pengadaan hanya menjadi “drama pengiring”.
  • Arahan informal datang melalui pesan singkat atau percakapan pribadi: “Tolong bantu vendor ini saja ya, sudah komunikasi sama pimpinan.”

Dalam situasi ini, pelaksana pengadaan berada dalam dilema:

Dilema Pilihan Rasional Konsekuensi
Menjalankan SOP Sesuai prosedur, objektif, transparan Bisa dianggap tidak loyal atau “menghambat”
Mengikuti arahan informal “Aman” secara hubungan organisasi Berisiko menyalahi aturan dan rawan audit

Mengapa pelaksana bisa tunduk pada intervensi?

  • Struktur organisasi yang hierarkis, di mana bawahan cenderung mengikuti perintah atasan tanpa banyak bertanya.
  • Kurangnya keberanian menolak, karena takut berdampak pada karier, rotasi jabatan, atau reputasi personal.
  • Minimnya perlindungan terhadap pelaksana teknis yang mencoba bersikap independen.

Apa dampaknya bagi pengadaan?

  • Penyedia yang tidak layak bisa memenangkan kontrak, menghasilkan produk atau layanan di bawah standar.
  • Proses dokumentasi “dipoles” agar terlihat sah, padahal substansinya sudah cacat.
  • Kepercayaan internal dan eksternal terhadap integritas proses pengadaan menurun drastis.

Upaya mitigasi yang bisa dilakukan:

  1. Membangun budaya organisasi yang sehat:
    Di mana pimpinan menghargai kepatuhan terhadap SOP, bukan sekadar hasil cepat.
  2. Memberikan pelatihan integritas dan keberanian moral:
    Bukan hanya pada pelaksana pengadaan, tapi juga pada pimpinan unit kerja.
  3. Menerapkan sistem whistleblower yang efektif:
    Agar pelaksana bisa melapor jika terjadi tekanan politik atau intervensi vendor.
  4. Membuat SOP lebih “antipeluru” terhadap intervensi:
    Contohnya dengan menyusun checklist otomatis berbasis sistem (e-procurement) yang tidak bisa dilewati secara manual.

4.3. Antara Ideal dan Realitas: Mengelola Tekanan dengan Bijak

Faktor eksternal memang tidak bisa dihindari sepenuhnya. Namun bukan berarti pelaksana harus menyerah. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah:

  • Kematangan organisasi dalam menyikapi tekanan, baik waktu maupun politik.
  • Pemahaman menyeluruh tentang tujuan SOP bukan sebagai penghambat, melainkan sebagai pelindung-bagi organisasi maupun individu pelaksana.
  • Peningkatan ketahanan sistem, termasuk SOP itu sendiri, agar tetap relevan dalam situasi darurat sekalipun.

Kunci utama:

SOP yang baik bukan hanya yang lengkap, tetapi juga adaptif dan terlindungi dari tekanan eksternal.

5. Ketiadaan Pengawasan dan Sanksi yang Tegas

SOP hanya efektif jika disertai mekanisme pengawasan dan penegakan aturan. Jika pelanggaran SOP dibiarkan tanpa konsekuensi, maka ketidakpatuhan akan menjadi budaya.

5.1. Lemahnya Internal Control

  • Audit internal tidak fokus pada aspek prosedural.
  • Tidak ada check-list SOP dalam monitoring rutin.

5.2. Tidak Ada Sanksi atau Evaluasi

  • Pelanggaran SOP tidak masuk dalam penilaian kinerja.
  • Atasan membiarkan pelanggaran demi efisiensi waktu.

5.3. Pelanggaran Justru Dianggap Inisiatif

Ironisnya, ketika seseorang melompati prosedur dan berhasil menyelesaikan tugas, dia justru dipuji karena “solutif”. Ini menumbuhkan budaya pengabaian SOP secara permanen.

6. Jalan Keluar: Agar SOP Dijalankan dan Dihormati

6.1. Revitalisasi SOP: Buat yang Relevan dan Aplikatif

  • Libatkan pelaksana lapangan saat merancang SOP baru.
  • Gunakan bahasa sederhana dan format visual (flowchart).
  • Bedakan SOP normal dan SOP kondisi darurat.

6.2. Sosialisasi dan Pelatihan Berulang

  • Lakukan refresh training tahunan.
  • Simulasikan SOP dalam kegiatan roleplay atau studi kasus.
  • Berikan materi video pendek dan infografis agar mudah diingat.

6.3. Perkuat Fungsi Monitoring

  • Gunakan sistem checklist berbasis aplikasi.
  • Tambahkan evaluasi pelaksanaan SOP dalam laporan kinerja.

6.4. Integrasikan SOP ke Sistem Digital

  • Gunakan e-procurement yang memaksa urutan SOP secara digital.
  • Blokir sistem jika tahapan belum dipenuhi.

6.5. Bangun Budaya Kepatuhan

  • Berikan penghargaan bagi unit kerja yang patuh SOP.
  • Sediakan kanal pelaporan anonim jika ada pelanggaran.
  • Tumbuhkan pemahaman bahwa SOP melindungi pelaksana, bukan sekadar birokrasi.

Kesimpulan: SOP yang Tidak Dijalankan adalah Risiko Organisasi

Ketika SOP pengadaan tidak dijalankan, organisasi menghadapi risiko serius: dari pengadaan yang tidak efisien, hilangnya transparansi, hingga kerugian negara dan ancaman pidana. Penyebabnya tidak selalu karena niat buruk, tetapi bisa berasal dari banyak sisi-kurangnya pemahaman, desain SOP yang tidak realistis, tekanan waktu, hingga lemahnya pengawasan.

Namun, solusi pun tersedia. Dengan membangun sistem yang lebih adaptif, menguatkan pengawasan, serta menumbuhkan budaya patuh yang positif, SOP bisa kembali menjadi alat kendali yang efektif. Bukan sekadar dokumen mati di rak arsip, melainkan pedoman hidup yang memandu kerja profesional dan akuntabel.

Bagikan tulisan ini jika bermanfaat