I. Pendahuluan
Kontrak berbasis kinerja (Performance-Based Contracting/PBC) telah berkembang menjadi salah satu instrumen strategis dalam pengelolaan pengadaan dan pemeliharaan infrastruktur publik, khususnya di sektor jalan, jembatan, air bersih, dan transportasi. Model kontrak ini memberikan pendekatan yang berbeda dari sistem tradisional, karena fokusnya bukan semata pada pemenuhan output fisik, melainkan juga pada pencapaian hasil nyata dan keberlanjutan manfaat jangka panjang yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Dalam konteks pembangunan infrastruktur, hal ini sangat penting mengingat proyek-proyek publik sering kali memerlukan investasi besar, waktu pelaksanaan yang panjang, dan keterlibatan banyak pemangku kepentingan. Oleh karena itu, menjamin efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya menjadi tantangan tersendiri.
Berbeda dari kontrak konvensional yang bersifat linier dan berbasis pada volume pekerjaan, kontrak berbasis kinerja menempatkan indikator kinerja utama (Key Performance Indicators/KPIs) sebagai pusat pengukuran keberhasilan. PBC menuntut penyedia jasa untuk secara proaktif menjaga kualitas layanan, mengoptimalkan sumber daya, serta memprioritaskan kepuasan pengguna akhir. Hal ini menjadikan PBC sebagai alat transformasi kebijakan publik menuju sistem pengadaan yang lebih akuntabel dan berorientasi pada hasil. Artikel sepanjang 2000 kata ini akan membahas studi kasus penerapan kontrak berbasis kinerja pada proyek pemeliharaan jalan tol di Provinsi Y. Studi ini dipilih karena mewakili transformasi penting dalam paradigma pengelolaan infrastruktur jalan, dari pendekatan reaktif ke preventif, serta dari orientasi input ke hasil. Artikel ini menyajikan pembahasan mendalam tentang latar belakang proyek, kondisi eksisting sebelum PBC diterapkan, strategi penyusunan KPI, mekanisme insentif dan penalti, hasil pengukuran kinerja, tantangan selama implementasi, dan pelajaran yang dapat diambil oleh instansi pemerintah dan pelaku usaha dalam mengadopsi kontrak sejenis.
II. Latar Belakang dan Konteks Proyek
A. Kondisi Jalan Tol Sebelum Penerapan PBC
Pada tahun 2018, Jalan Tol Trans-Pantai Utara di Provinsi Y, yang merupakan salah satu jalur vital penghubung wilayah industri dan pelabuhan utama, mengalami berbagai permasalahan yang berulang dan sistemik. Permukaan jalan yang tidak rata dan berlubang sering kali menjadi penyebab utama kecelakaan lalu lintas, termasuk kendaraan terguling dan tabrakan beruntun. Di sisi lain, prosedur pemeliharaan jalan yang dilakukan bersifat reaktif dan sporadis, tanpa jadwal yang pasti dan tanpa standar mutu yang jelas. Akibatnya, pengguna jalan tidak mendapatkan informasi yang transparan tentang kapan dan di mana pemeliharaan akan dilakukan, serta berapa lama waktu perbaikannya.
Masalah lain yang muncul adalah seringnya terjadi kemacetan panjang di titik-titik perbaikan jalan. Hal ini bukan hanya menurunkan efisiensi logistik dan mobilitas warga, tetapi juga menimbulkan tekanan ekonomi akibat waktu tempuh yang tidak pasti. Data dari Dinas Perhubungan menunjukkan bahwa rata-rata waktu perjalanan meningkat 18% selama periode pemeliharaan non-terencana, dan pengguna jalan mengeluhkan kualitas pelayanan jalan tol yang terus menurun
B. Kebutuhan Akan Model Kontrak Baru
Permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah dan operator tol saat itu tidak hanya menyangkut aspek teknis, tetapi juga menyentuh persoalan keuangan dan reputasi publik. Anggaran untuk pemeliharaan darurat terus membengkak, sementara tingkat kepuasan masyarakat terhadap layanan infrastruktur menurun drastis. Evaluasi internal yang dilakukan oleh Direktorat Jalan Bebas Hambatan pada akhir tahun 2019 menunjukkan bahwa model kontrak tradisional hanya menyelesaikan masalah permukaan, tanpa memberikan insentif bagi penyedia jasa untuk mempertahankan kualitas jalan dalam jangka panjang.
Merespons tantangan tersebut, pada awal tahun 2020, Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melakukan reformasi pendekatan pengelolaan kontrak pemeliharaan jalan dengan mengadopsi model kontrak berbasis kinerja. Model ini dirancang untuk mengubah hubungan kerja antara pemerintah dan penyedia jasa dari yang bersifat transaksi ke arah kemitraan strategis. Dalam model PBC, pembayaran kepada penyedia akan dikaitkan secara langsung dengan tingkat pemenuhan KPI yang telah ditentukan bersama di awal kontrak. Beberapa KPI yang ditetapkan antara lain adalah nilai kekasaran permukaan jalan atau International Roughness Index (IRI), waktu respon maksimum terhadap pelaporan lubang jalan (maksimal 24 jam sejak laporan diterima), dan tingkat kecelakaan per kilometer yang ditargetkan untuk ditekan di bawah ambang batas nasional. Penerapan KPI ini dimaksudkan untuk mengarahkan fokus penyedia jasa tidak hanya pada penyelesaian kegiatan fisik, tetapi juga pada peningkatan pengalaman dan keselamatan pengguna jalan secara menyeluruh. Dengan strategi baru ini, diharapkan terjadi pergeseran budaya kerja dari sekadar mengejar volume pekerjaan ke pencapaian hasil yang bermakna bagi publik.
III. Desain Kerangka Kontrak Berbasis Kinerja
A. Identifikasi Outcome dan KPI Utama
Langkah awal yang dilakukan dalam menyusun kerangka kontrak berbasis kinerja adalah merumuskan outcome yang ingin dicapai. Tim proyek menetapkan tiga outcome strategis yang menjadi landasan perancangan indikator, yaitu:
- Memastikan permukaan jalan tetap halus dan aman,
- Meningkatkan kecepatan respon terhadap kondisi darurat atau pelaporan lubang jalan, dan
- Menurunkan tingkat kecelakaan lalu lintas di ruas tol tersebut.
Untuk mengukur outcome tersebut, ditetapkan KPI utama sebagai berikut:
- International Roughness Index (IRI) ≤ 3,0 m/km sebagai indikator permukaan jalan.
- Waktu respon maksimal 12 jam untuk menindaklanjuti setiap laporan kerusakan.
- Penurunan tingkat kecelakaan minimal sebesar 20% dalam satu tahun dibanding baseline sebelumnya.
B. Penetapan Struktur Pembayaran
Struktur pembayaran dalam kontrak dirancang untuk memberikan insentif sekaligus mendorong akuntabilitas. Dalam kontrak berdurasi tiga tahun ini, mekanisme pembayaran disusun sebagai berikut:
- Pembayaran awal (mobilisasi) sebesar 20% dari total anggaran dikucurkan setelah penandatanganan kontrak.
- Pembayaran berkala sebesar 70% dibayarkan setiap triwulan, tergantung pada pencapaian terhadap ketiga KPI utama yang telah ditetapkan.
- Pembayaran akhir sebesar 10% diberikan sebagai bonus apabila seluruh target KPI tercapai secara konsisten sepanjang periode kontrak.
Kontrak ini juga mengandung mekanisme insentif tambahan sebesar 5% dari nilai kontrak apabila penyedia mampu melampaui target perbaikan hingga 10% atau lebih. Sebaliknya, jika terjadi deviasi kinerja di bawah 90% dari target selama tiga bulan berturut-turut, maka diberlakukan penalti berupa pengurangan pembayaran sebesar 3%.
C. Mekanisme Monitoring dan Pelaporan
Untuk menjamin transparansi dan kecepatan respons, sistem monitoring terintegrasi dikembangkan menggunakan aplikasi mobile yang digunakan oleh petugas lapangan. Aplikasi ini memungkinkan mereka mengunggah bukti dokumentasi berupa foto, koordinat GPS, dan waktu perbaikan secara real-time. Data yang dikumpulkan langsung terhubung dengan dashboard monitoring yang dapat diakses oleh manajer kontrak dan pejabat pengawas proyek. Selain itu, dilakukan survei berkala terhadap pengguna jalan untuk mengukur tingkat kepuasan terhadap layanan infrastruktur, serta validasi data kecelakaan yang dikompilasi dari pihak kepolisian dan rumah sakit setempat. Dengan demikian, evaluasi tidak hanya berdasarkan catatan internal penyedia jasa, tetapi juga divalidasi oleh data eksternal.
IV. Pelaksanaan dan Hasil Evaluasi
A. Implementasi Tahun Pertama
Selama tahun pertama pelaksanaan pada 2021, penyedia jasa berhasil menunjukkan kinerja yang cukup baik. Sebanyak 1.200 titik lubang jalan berhasil diperbaiki dan dilakukan pemeliharaan rutin dengan interval yang lebih tertata. Nilai IRI rerata berhasil dijaga pada angka 2,7 m/km-di bawah ambang batas maksimum. Selain itu, sebanyak 92% laporan kerusakan berhasil ditangani dalam waktu kurang dari 12 jam. Penurunan tingkat kecelakaan tercatat sebesar 15% dibanding tahun sebelumnya, menunjukkan perbaikan dalam aspek keselamatan.
B. Evaluasi Triwulan dan Penyesuaian
Namun demikian, evaluasi pada triwulan kedua menunjukkan adanya lonjakan nilai IRI menjadi 3,2 m/km, disebabkan oleh curah hujan ekstrem yang melanda wilayah tersebut selama dua bulan berturut-turut. Akibatnya, insentif triwulan tersebut tidak diberikan karena capaian KPI tidak terpenuhi. Tim manajemen kemudian melakukan kajian bersama untuk merevisi rencana pemeliharaan agar lebih adaptif terhadap faktor cuaca, seperti penambahan frekuensi inspeksi harian dan penggunaan material yang lebih tahan air. Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa desain KPI harus mempertimbangkan faktor eksternal di luar kendali penyedia, dan struktur kontrak perlu cukup fleksibel untuk memungkinkan penyesuaian teknis ketika diperlukan.
C. Pencapaian Akhir Kontrak
Pada akhir tahun ketiga pelaksanaan, hasil akhir menunjukkan pencapaian yang menggembirakan. Nilai IRI rata-rata berhasil ditekan kembali ke 2,8 m/km. Waktu respons perbaikan tetap stabil, dengan 95% laporan ditindaklanjuti dalam kurun waktu maksimal 12 jam. Tingkat kecelakaan berhasil ditekan hingga 25% dari baseline awal kontrak. Efisiensi anggaran juga meningkat signifikan, dengan total pengeluaran pemeliharaan yang menurun sebesar 18% dibandingkan dengan model kontrak tradisional sebelumnya. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa kontrak berbasis kinerja dapat menjadi alternatif strategis yang efektif untuk sektor infrastruktur jalan, asalkan didukung oleh desain KPI yang realistis, sistem monitoring berbasis teknologi, serta komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan.
V. Tantangan dan Pembelajaran
Salah satu tantangan awal yang dihadapi dalam penerapan kontrak berbasis kinerja ini adalah integrasi data real-time dari lapangan ke sistem pusat. Meskipun sistem monitoring telah dirancang dengan aplikasi mobile yang canggih, kualitas data yang diinput oleh petugas lapangan pada fase awal sangat bervariasi-baik dari segi keakuratan, waktu pelaporan, maupun dokumentasi visual. Untuk mengatasi hal ini, dilakukan pelatihan intensif terhadap seluruh petugas lapangan dengan fokus pada penggunaan teknologi, etika pelaporan, dan pentingnya akurasi data dalam penentuan insentif. Setelah tiga bulan, standar pelaporan meningkat signifikan, dengan konsistensi input yang lebih baik dan data yang lebih dapat diandalkan oleh manajemen proyek. Selain itu, faktor cuaca ekstrem menjadi kendala yang nyata dalam pencapaian KPI. Pada musim penghujan, beberapa ruas jalan mengalami kerusakan lebih cepat dari biasanya, menyebabkan lonjakan IRI dan ketidakmampuan memenuhi target dalam periode tertentu. Hal ini menunjukkan pentingnya menyusun klausul force majeure dalam kontrak untuk memberikan ruang fleksibilitas ketika kondisi alam tidak mendukung. Tim pengelola kemudian menyusun pendekatan responsif berbasis cuaca, seperti penyesuaian bahan perbaikan yang lebih tahan air dan rotasi jadwal inspeksi untuk memitigasi risiko kegagalan KPI. Tantangan lain yang signifikan adalah koordinasi lintas unit. Keberhasilan pelaksanaan kontrak sangat bergantung pada sinergi antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk Dinas Bina Marga, Kepolisian Lalu Lintas, operator tol, dan penyedia jasa pemeliharaan. Pada tahap awal, koordinasi kurang optimal karena perbedaan pemahaman terhadap tugas masing-masing. Untuk itu, dibentuk forum koordinasi bulanan yang mempertemukan seluruh pihak terkait guna menyamakan persepsi, membahas kendala lapangan, dan mengevaluasi perkembangan. Selain aspek teknis dan koordinasi, tantangan bersifat administratif juga muncul, terutama dalam hal perpanjangan kontrak menjelang akhir periode tiga tahun. Meskipun penyedia telah menunjukkan kinerja yang memuaskan, proses administratif untuk memperpanjang atau mengembangkan kontrak lanjutan memerlukan persetujuan multi-level dan analisis legal baru. Ini menunjukkan pentingnya menyusun rencana jangka panjang sejak awal kontrak, termasuk klausul perpanjangan bersyarat dan evaluasi dini agar tidak terjadi kekosongan layanan yang dapat merugikan publik.
VI. Rekomendasi untuk Sektor Infrastruktur Lainnya
Berdasarkan pengalaman implementasi PBC di proyek pemeliharaan jalan tol Provinsi Y, terdapat sejumlah rekomendasi yang dapat diterapkan oleh sektor infrastruktur lainnya, seperti pengelolaan air bersih, pengangkutan publik, dan perawatan gedung negara.
- Pertama, sangat disarankan untuk memulai penerapan PBC melalui proyek percontohan berskala kecil. Dengan memfokuskan pada satu ruas jalan, satu fasilitas atau satu jenis layanan terlebih dahulu, pemerintah dapat menguji coba desain KPI, validasi metode pemantauan, dan mengukur kesiapan penyedia sebelum implementasi penuh. Pilot project juga memberikan ruang untuk mengidentifikasi kesenjangan antara rencana di atas kertas dengan kondisi operasional di lapangan.
- Kedua, keterlibatan pengguna akhir dalam proses evaluasi sangat penting. Survei kepuasan pengguna secara berkala tidak hanya menjadi validasi atas capaian KPI, tetapi juga memberikan data kualitatif yang berguna dalam menyusun kebijakan selanjutnya. Misalnya, pada proyek jalan tol ini, survei pengguna memberikan masukan berharga terkait titik rawan kemacetan yang tidak terjangkau dalam indikator formal.
- Ketiga, infrastruktur teknologi informasi (TI) menjadi prasyarat utama keberhasilan. Penerapan sistem digital berbasis dashboard, aplikasi mobile, dan database terintegrasi memungkinkan evaluasi yang objektif dan real-time. Investasi dalam TI bukanlah biaya tambahan, melainkan investasi jangka panjang yang menjamin efisiensi dan transparansi.
- Keempat, desain KPI harus ditinjau secara berkala untuk memastikan bahwa indikator masih relevan terhadap tantangan dan dinamika lingkungan. Faktor musiman seperti curah hujan tinggi atau bencana alam harus dimasukkan dalam revisi KPI, agar sistem penilaian tidak hanya adil tetapi juga adaptif. Penyusunan KPI yang terlalu kaku justru dapat menjebak penyedia dalam target yang tidak realistis dan memicu demotivasi.
VII. Kesimpulan
Studi kasus kontrak berbasis kinerja di sektor pemeliharaan jalan tol Provinsi Y menunjukkan bahwa pendekatan ini mampu meningkatkan kualitas layanan infrastruktur secara signifikan, menurunkan angka kecelakaan, serta menciptakan efisiensi anggaran. Kunci utama keberhasilan terletak pada perencanaan KPI yang matang, penggunaan teknologi digital untuk monitoring, dan penciptaan ekosistem kolaboratif antara pemerintah, penyedia jasa, dan masyarakat sebagai pengguna akhir. Namun demikian, PBC bukan solusi instan yang bisa diadopsi begitu saja. Ia memerlukan perubahan budaya kerja, investasi teknologi, dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman sistem kontrak tradisional. Organisasi yang tertarik menerapkan PBC harus memulai dengan penguatan kapasitas SDM, penyusunan regulasi pendukung, serta strategi implementasi bertahap. Jika dilakukan dengan serius dan konsisten, kontrak berbasis kinerja akan menjadi fondasi penting bagi tata kelola infrastruktur publik yang efisien, transparan, dan berorientasi hasil.