Peran Strategis PBJ dalam Mendorong Ekonomi Lokal

I. Pendahuluan

Selama ini, banyak pihak masih memandang proses Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah sebagai urusan administratif belaka-serangkaian prosedur teknis yang melibatkan tender, dokumen lelang, dan proses evaluasi. Padahal, PBJ sejatinya adalah salah satu instrumen kebijakan fiskal paling strategis yang dimiliki negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya di tingkat lokal. Melalui belanja pemerintah, pemerintah pusat maupun daerah memiliki kekuatan untuk mempengaruhi struktur pasar, merangsang sektor usaha mikro dan kecil (UMK), serta menciptakan lapangan kerja baru di masyarakat.

Berdasarkan data dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), nilai total PBJ pemerintah setiap tahunnya mencapai ratusan triliun rupiah, dengan kontribusi signifikan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada tahun anggaran tertentu, belanja pemerintah untuk pengadaan dapat mencapai lebih dari 30% dari total belanja negara. Jika digunakan dengan cermat, setiap rupiah dalam PBJ bisa menghasilkan multiplier effect berupa perputaran ekonomi di tingkat lokal, peningkatan pendapatan masyarakat, dan pemberdayaan pelaku usaha kecil di daerah.

Sayangnya, potensi strategis PBJ ini belum sepenuhnya dimaksimalkan. Masih terdapat ketimpangan dalam distribusi kontrak, di mana penyedia besar dan terpusat mendominasi pasar, sementara pelaku lokal kesulitan bersaing. Oleh karena itu, penting untuk mengulas secara komprehensif bagaimana PBJ dapat dan seharusnya dioptimalkan untuk memperkuat ekonomi lokal. Artikel ini akan membahas landasan regulasinya, praktik baik di berbagai daerah, tantangan di lapangan, dan strategi optimalisasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan pelaku usaha lokal.

II. Landasan Regulasi: Keberpihakan pada UMK-Koperasi

Upaya mendorong peran Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) untuk memperkuat ekonomi lokal bukanlah hal baru dan tanpa dasar hukum. Dalam sistem hukum Indonesia, keberpihakan kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan koperasi (UMK-Koperasi) telah diamanatkan sejak konstitusi hingga peraturan teknis pelaksanaan PBJ.

A. Amanat Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan

Pasal 33 UUD 1945 secara eksplisit menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Di dalamnya terkandung semangat kolektivitas dan keadilan sosial yang selaras dengan pemberdayaan pelaku ekonomi kecil. Penerjemahan lebih teknis muncul dalam sejumlah undang-undang dan regulasi pengadaan:

  • UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM menegaskan bahwa negara berkewajiban menciptakan iklim usaha yang kondusif, termasuk melalui akses pasar dalam pengadaan pemerintah.
  • Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (dan perubahannya dalam Perpres 12/2021), dengan tegas mengatur keberpihakan pada UMK-Koperasi sebagai bagian dari kebijakan afirmasi.

Pasal 65 ayat (1) Perpres 16/2018 menyebutkan bahwa pengadaan barang/jasa untuk nilai paling banyak Rp2,5 miliar wajib disediakan untuk pelaku usaha kecil, kecuali untuk barang/jasa yang tidak dapat disediakan oleh usaha kecil. Ini adalah langkah afirmatif yang sangat penting untuk memberikan akses yang lebih luas kepada pelaku UMK di seluruh Indonesia.

B. Kebijakan Afirmasi: Paket Dipecah, Katalog Lokal, TKDN

Untuk mengakselerasi peran pelaku lokal, berbagai kebijakan afirmatif diperkenalkan dalam praktik PBJ. Di antaranya:

  1. Pemisahan Paket (Package Splitting)
    Paket-paket pengadaan dengan nilai besar dapat dipecah menjadi sub-paket bernilai kecil agar dapat diikuti oleh UMK. Hal ini memungkinkan keterlibatan yang lebih inklusif dan menghindari dominasi penyedia besar.
  2. E-Katalog Lokal dan Produk Dalam Negeri
    LKPP mendorong pengembangan e-katalog lokal yang memungkinkan UMK memasarkan produknya secara langsung kepada satuan kerja pemerintah. Selain itu, kewajiban penggunaan Produk Dalam Negeri (PDN) dan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) menjadi penopang penting pertumbuhan industri lokal.
  3. Prioritas pada UMK untuk Pengadaan Langsung
    Dalam ketentuan pengadaan langsung (nilai ≤ Rp200 juta), PA/KPA dan pejabat pengadaan diwajibkan mengutamakan UMK-Koperasi sebagai penyedia utama. Hal ini memberikan peluang konkret bagi pelaku lokal untuk mendapatkan proyek pemerintah tanpa harus bersaing dalam tender terbuka.
  4. Pemanfaatan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)
    Dengan sistem LPSE yang terstandarisasi, pelaku UMK dapat mendaftar, mengikuti lelang, dan memantau proses PBJ secara transparan. Ini mengurangi hambatan informasi dan birokrasi yang selama ini menghambat pelaku usaha kecil.

C. Contoh Praktik di Daerah

Beberapa pemerintah daerah telah menerjemahkan regulasi afirmatif ini ke dalam praktik nyata. Contohnya:

  • Pemerintah Kota Semarang melalui Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ)-nya secara aktif membina UMK lokal, membentuk katalog lokal untuk produk ATK, makanan-minuman, dan jasa kebersihan.
  • Pemprov Jawa Barat menerapkan prioritas belanja PDN dan menyiapkan coaching clinic rutin bagi UMK binaan Dinas Koperasi dan UMKM agar dapat masuk ke ekosistem PBJ.
  • Pemerintah Kabupaten Kulon Progo bahkan memberikan pelatihan tata cara penawaran dan penginputan produk di e-katalog kepada koperasi lokal, dengan hasil peningkatan signifikan dalam transaksi pengadaan dari penyedia lokal.

Melalui kombinasi regulasi afirmatif dan implementasi teknis yang inklusif, PBJ dapat menjadi pendorong utama dalam menciptakan ekosistem ekonomi lokal yang kuat dan mandiri.

III. Praktik PBJ yang Menggerakkan Ekonomi Lokal

Konsep strategis PBJ sebagai alat untuk mendorong ekonomi lokal menjadi nyata ketika implementasinya berhasil menjangkau pelaku usaha lokal dan menciptakan efek berantai (multiplier effect) di daerah. Baik belanja rutin maupun belanja modal memiliki potensi besar untuk menciptakan nilai tambah lokal, asalkan dirancang dengan prinsip keberpihakan dan keterlibatan UMK-Koperasi.

A. Belanja Rutin: Efek Langsung ke UMK

Belanja rutin pemerintah seperti pembelian alat tulis kantor (ATK), seragam pegawai, konsumsi rapat, dan jasa kebersihan sering kali dipandang sepele. Namun, bila dilakukan secara terstruktur dan memprioritaskan penyedia lokal, dampaknya signifikan.

Contohnya:

  • Belanja makan-minum untuk rapat dinas dari katering lokal bisa menghidupkan usaha kecil rumah tangga.
  • Pengadaan seragam sekolah dari konveksi lokal menciptakan lapangan kerja musiman bagi penjahit kecil.
  • Jasa kebersihan dari koperasi lokal mampu memberikan pendapatan tetap bagi anggota koperasi dan tenaga kerja informal.

Karena volumenya konsisten dan tersebar sepanjang tahun, belanja rutin menjadi sumber stabilitas ekonomi lokal.

B. Belanja Modal: Mendorong Pertumbuhan Sektor Produktif

Pengadaan proyek pembangunan seperti jalan desa, saluran irigasi, renovasi sekolah, atau pembangunan pasar tradisional, bila dilakukan dengan pendekatan lokal, akan memberikan efek ekonomi yang jauh lebih besar. Tidak hanya penyedia jasa konstruksi lokal yang mendapatkan manfaat, tetapi juga sektor pendukung seperti:

  • Transportasi lokal (angkutan bahan bangunan),
  • Jasa tukang dan harian lepas,
  • Supplier material lokal seperti batu, pasir, atau semen eceran.

Setiap rupiah belanja modal pemerintah akan memutar perekonomian setempat secara lebih luas dan berlapis.

C. Efek Multiplikasi Ekonomi: Dari UMK ke Komunitas

Menurut kajian LPEM FEB UI, setiap Rp1 triliun belanja pemerintah yang diserap UMK dapat menciptakan hingga 26.000 lapangan kerja baru, terutama di sektor padat karya dan informal. Efek ini disebut sebagai multiplier effect, di mana penerimaan satu usaha akan menjadi belanja untuk usaha lainnya, menciptakan lingkaran ekonomi yang produktif.

Contoh riil:

  • Ketika Pemkot Surakarta memesan ATK dari koperasi lokal, koperasi tersebut memesan bahan baku dari distributor lokal, yang kemudian mempekerjakan tenaga logistik setempat. Rantai ini terus berjalan dan menyebar.

D. Praktik Baik: E-Katalog Lokal dan Keterlibatan UMK

Beberapa daerah telah berhasil menciptakan sistem e-katalog lokal yang inklusif:

  • Kota Makassar menampilkan produk UMK dalam e-katalog lokal dengan item seperti makanan kemasan, batik lokal, dan souvenir khas. Hingga 2024, 78% belanja ATK dan konsumsi pemerintah kota dilakukan lewat katalog lokal.
  • Kota Denpasar menjadikan katalog lokal sebagai wahana promosi digital UMK binaan. Belanja jasa pelatihan, makanan, dan kebutuhan kegiatan OPD semuanya diarahkan ke UMK.

Peran Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) dan Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja) sangat menentukan di sini. Dengan menetapkan syarat-syarat tender yang tidak diskriminatif, memfasilitasi pelatihan pengisian e-katalog, dan menyediakan ruang konsultasi, mereka membuka jalan bagi pelaku lokal untuk ikut serta.

IV. Kendala dan Tantangan di Lapangan

Meskipun peluang PBJ untuk memperkuat ekonomi lokal sangat besar, implementasinya masih menghadapi sejumlah kendala, baik di sisi penyedia maupun penyelenggara pengadaan. Tanpa penanganan serius, tantangan ini dapat menghambat pencapaian tujuan keberpihakan yang telah diamanatkan regulasi.

A. Kapasitas Usaha Mikro dan Kecil Masih Lemah

UMK-Koperasi sering kali terkendala dalam hal:

  • Kemampuan teknis produksi: Produk belum memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan.
  • Administrasi usaha: Banyak UMK belum memiliki legalitas lengkap (NPWP, NIB, SIUP).
  • Keterbatasan SDM dan teknologi: Kurangnya tenaga kerja terampil dan penguasaan sistem digital seperti e-purchasing atau e-katalog.

Hal ini menyebabkan mereka kalah bersaing, bahkan di paket-paket pengadaan langsung yang sebenarnya dirancang untuk mereka.

B. Permodalan dan Likuiditas Terbatas

Pengadaan pemerintah umumnya menerapkan sistem pembayaran setelah pekerjaan selesai (termin), sedangkan banyak UMK tidak memiliki modal cukup untuk mendanai produksi terlebih dahulu. Tanpa dukungan pembiayaan atau fasilitas kredit lunak, penyedia lokal kesulitan mengikuti pengadaan, terutama yang nilainya mendekati batas maksimal pengadaan langsung.

C. Mindset Pengelola PBJ Masih “Main Aman”

Sebagian pejabat pengadaan atau Pokja cenderung memilih penyedia besar yang sudah berpengalaman dan punya reputasi, dengan alasan “menghindari risiko.” Akibatnya:

  • UMK jarang diberi kesempatan.
  • Paket tidak dibagi menjadi bagian kecil (unbundling) yang ramah UMK.
  • Persyaratan teknis dibuat tinggi secara tidak proporsional.

Kondisi ini menciptakan lingkaran setan: UMK tidak diberi kesempatan karena belum berpengalaman, dan tidak pernah bisa berpengalaman karena tidak pernah diberi kesempatan.

D. UMK Kalah di Tender Terbuka

Dalam tender terbuka, UMK sering kalah karena:

  • Harga mereka sedikit lebih tinggi (karena skala ekonomi kecil).
  • Dokumentasi kurang rapi atau tidak lengkap.
  • Tidak punya sistem pelaporan kinerja yang dibutuhkan sebagai referensi.

E. Kelembagaan dan Pendampingan Belum Optimal

Masih sedikit pemerintah daerah yang memiliki sistem pembinaan UMK terintegrasi dengan kebijakan pengadaan. Banyak pelaku usaha tidak tahu ada e-katalog lokal atau bagaimana cara masuk ke dalamnya.

V. Strategi Optimalisasi PBJ untuk Ekonomi Lokal

Agar PBJ benar-benar berdampak dalam mendorong ekonomi lokal, dibutuhkan strategi yang sistematis, kolaboratif, dan berkelanjutan. Berikut sejumlah pendekatan praktis yang dapat diterapkan:

A. Pelatihan, Sosialisasi, dan Coaching Clinic

  • Coaching clinic PBJ untuk UMK: Pelatihan langsung yang membantu UMK memahami proses tender, mengisi dokumen, hingga simulasi penawaran.
  • Sosialisasi regulasi afirmasi: UMK dan koperasi harus memahami hak dan peluangnya, termasuk kebijakan pembagian paket, e-katalog lokal, dan TKDN.
  • Bimtek bersama antara UKPBJ dan UMK: Untuk membangun komunikasi dua arah, memperbaiki persepsi, dan saling memahami kebutuhan.

B. Penguatan E-Katalog Lokal

  • Dorong tiap daerah membangun e-katalog lokal berbasis kebutuhan nyata OPD.
  • Libatkan Dinas Koperasi dan UKM dalam kurasi produk agar UMK yang masuk memiliki kapasitas dan mutu yang terjaga.
  • Lakukan integrasi e-katalog lokal ke sistem nasional agar UMK daerah bisa tumbuh lebih besar.

C. Monitoring dan Evaluasi Capaian Belanja UMK

  • Tetapkan target tahunan porsi belanja untuk UMK-Koperasi, misalnya minimal 40%.
  • Buat dashboard monitoring yang dapat diakses publik agar transparan.
  • Sanksi administratif bagi OPD yang tidak patuh terhadap instruksi afirmasi.

D. Inovasi Kolaboratif Antar-OPD dan Stakeholder

  • Kolaborasi OPD: Misalnya, Dinas Pendidikan bekerja sama dengan UKPBJ dan Dinas Koperasi untuk pengadaan seragam sekolah dari UMK lokal.
  • Kemitraan dengan Asosiasi UMKM: Menyediakan informasi tender dan pembinaan teknis secara kolektif.
  • Skema pembiayaan: Kerja sama dengan perbankan daerah atau LPDB-KUMKM untuk kredit lunak berbasis kontrak.

E. Penataan Ulang Paket Pengadaan

  • Terapkan prinsip unbundling: paket pengadaan besar dibagi agar UMK bisa ikut bagian tertentu.
  • Tender terbatas untuk UMK: Hanya UMK lokal yang bisa ikut di tender tertentu untuk memberi ruang keberpihakan.

VI. Kesimpulan

Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah bukanlah sekadar mekanisme administratif untuk membelanjakan anggaran, melainkan alat strategis pembangunan ekonomi lokal. Setiap rupiah yang dibelanjakan pemerintah memiliki potensi besar untuk menciptakan lapangan kerja, mendorong pertumbuhan pelaku usaha lokal, dan memperkuat struktur ekonomi daerah.

Dengan dukungan regulasi yang kuat, seperti Perpres 16/2018 dan kebijakan afirmatifnya, PBJ bisa menjadi kendaraan efektif dalam memberdayakan UMK-Koperasi. Namun, efektivitas ini sangat bergantung pada implementasi yang berpihak, kapasitas kelembagaan pengadaan, dan sinergi lintas sektor.

Tantangan nyata memang ada: dari kapasitas UMK yang terbatas, hingga pola pikir pengelola PBJ yang masih konservatif. Tetapi dengan strategi yang tepat-pelatihan, katalog lokal, monitoring belanja UMK, dan kolaborasi multipihak-PBJ dapat menjadi katalis pemerataan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia.

Oleh karena itu, para stakeholder-UKPBJ, OPD teknis, asosiasi usaha, dan masyarakat sipil-perlu bergerak bersama. Mari ubah cara pandang: PBJ bukan semata belanja, tetapi investasi untuk masa depan ekonomi lokal. Dengan pengadaan yang cerdas dan berpihak, kita mewujudkan pembangunan yang tidak hanya merata, tetapi juga berkeadilan dan berkelanjutan.

Bagikan tulisan ini jika bermanfaat