Belanja Pengadaan Desa: Peluang atau Risiko?

I. Pendahuluan

Pengadaan barang dan jasa di tingkat desa menjadi salah satu ujung tombak pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Dengan anggaran yang dialokasikan melalui Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD), desa memiliki otonomi untuk merencanakan dan melaksanakan program sesuai kebutuhan lokal. Sejak diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, besaran belanja pengadaan barang/jasa desa meningkat signifikan, mencapai puluhan triliun rupiah per tahun. Di satu sisi, belanja pengadaan desa menghadirkan peluang besar: membangun infrastruktur dasar seperti jalan desa, irigasi, posyandu, serta memberdayakan UMKM dan tenaga kerja lokal. Proses tender atau lelang yang transparan dapat meningkatkan akuntabilitas dan kualitas hasil. Namun, di sisi lain, ancaman korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta kelemahan kapasitas SDM desa, dapat mengakibatkan risiko pemborosan anggaran dan kegagalan proyek. Artikel ini mengulas secara mendalam fenomena belanja pengadaan di desa: potensi yang dapat dimanfaatkan, risiko yang perlu diwaspadai, kerangka regulasi yang mengaturnya, serta rekomendasi strategi agar belanja pengadaan desa menjadi instrumen pembangunan yang efektif dan berkelanjutan.

II. Landasan Regulasi Pengadaan di Desa

A. UU Desa dan Peraturan Turunannya

Pengadaan barang/jasa desa diatur dalam beberapa regulasi utama yang menjadi fondasi legal sekaligus pedoman operasional dalam pengelolaan dana pembangunan desa. Regulasi-regulasi ini dirancang untuk menjaga akuntabilitas dan mendorong partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan desa.

  • UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa: Memberikan dasar hukum atas alokasi Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD), serta menegaskan posisi desa sebagai entitas pemerintahan dengan otonomi dalam pengelolaan anggaran, termasuk dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.
  • Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 (dan perubahannya): Mengatur pedoman teknis pelaksanaan DD, termasuk mekanisme pencairan, penggunaan, hingga pertanggungjawaban. Regulasi ini menjadi panduan utama aparatur desa dalam mengelola dana dan belanja pembangunan.
  • Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa: Memuat aturan lebih rinci terkait tata cara pengelolaan keuangan, termasuk pengadaan barang dan jasa di desa. Peraturan ini memperkenalkan model pengadaan sederhana tanpa harus mengikuti seluruh tahapan formal LPSE, namun tetap mengedepankan prinsip efisiensi dan transparansi.
  • Peraturan LKPP: LKPP sebagai otoritas pengadaan nasional juga telah mengeluarkan panduan penyederhanaan proses pengadaan desa, termasuk melalui penyusunan e-katalog desa yang berbasis lokal, dan model pengadaan langsung dengan administrasi yang simpel.

Secara umum, regulasi ini menekankan prinsip-prinsip dasar pengadaan: transparansi, efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan partisipatif. Dalam praktiknya, desa diperbolehkan melakukan pengadaan langsung untuk paket pekerjaan bernilai hingga Rp200 juta, dan tender terbatas untuk nilai menengah. Selain itu, model swakelola yang melibatkan masyarakat secara langsung juga dianjurkan untuk pekerjaan berskala kecil.

B. Peran Pemerintah Daerah dan Kabupaten

Meskipun desa memiliki kewenangan dalam pengelolaan keuangan dan pengadaan, peran pemerintah kabupaten/kota tetap sangat penting dalam menjaga kualitas tata kelola. Penguatan kapasitas dan pengawasan diperlukan agar pengadaan desa tetap sejalan dengan prinsip good governance. Tugas dan fungsi pemerintah daerah/kabupaten mencakup:

  • Pendampingan Perencanaan dan Evaluasi: Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMD) memiliki peran strategis dalam membantu penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes), termasuk memverifikasi apakah belanja desa mencerminkan kebutuhan dan prioritas masyarakat.
  • Penyediaan Sistem dan Fasilitas: Beberapa daerah telah mengembangkan Sistem Pengadaan Desa (SPKD) berbasis elektronik yang terintegrasi dengan platform LPSE kabupaten. Sistem ini membantu desa dalam mengelola proses pengadaan dengan lebih tertib dan terdokumentasi.
  • Audit dan Supervisi Keuangan: Inspektorat daerah dan BPKP turut berperan dalam mengawasi pertanggungjawaban penggunaan dana desa, termasuk transaksi pengadaan barang dan jasa. Proses audit ini penting untuk mencegah terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang.
  • Fasilitasi Pelatihan: Pemerintah kabupaten juga bertanggung jawab memberikan pelatihan dan penguatan kapasitas kepada aparat desa, seperti bimtek tentang prosedur pengadaan, penyusunan HPS, serta administrasi kontrak.

Sinergi antara pemerintah desa dan kabupaten menjadi kunci utama agar kebijakan pengadaan dapat dijalankan secara konsisten, efisien, dan adaptif terhadap kebutuhan lokal.

III. Peluang Belanja Pengadaan Desa

A. Pembangunan Infrastruktur Berbasis Kebutuhan Lokal

Salah satu manfaat nyata dari Dana Desa adalah kemampuannya untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Dengan pendekatan partisipatif dan perencanaan bottom-up, pengadaan barang/jasa desa berpotensi menciptakan infrastruktur yang lebih tepat guna, seperti:

  • Pembangunan jalan dan jembatan desa untuk memperlancar mobilitas warga dan akses pasar.
  • Rehabilitasi saluran irigasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
  • Pembangunan posyandu, balai desa, dan PAUD sebagai penunjang layanan dasar masyarakat.

Karena proyek dikelola di tingkat desa, keputusan teknis lebih sensitif terhadap kondisi geografis dan sosial setempat. Hal ini juga mengurangi biaya overhead dan meningkatkan efisiensi penggunaan dana. Infrastruktur berbasis kebutuhan lokal cenderung berumur panjang dan lebih dirawat karena masyarakat merasa memiliki.

B. Pemberdayaan Ekonomi Lokal

Pengadaan desa dapat diarahkan untuk menggerakkan ekonomi lokal. Dengan mendahulukan penyedia lokal seperti UMKM desa, koperasi, dan tenaga kerja sekitar, efek ganda ekonomi menjadi signifikan:

  • Pengrajin mebel bisa menjadi penyedia kursi, meja, dan lemari untuk fasilitas desa.
  • Toko kelontong lokal menjadi penyedia bahan ATK dan kebutuhan operasional kegiatan desa.
  • Tukang dan buruh desa terlibat dalam konstruksi, pemeliharaan jalan, atau rehabilitasi fasilitas.

Model seperti ini meningkatkan perputaran uang di desa, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat kemandirian ekonomi masyarakat. Dalam jangka panjang, desa tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi juga subjek yang aktif menggerakkan ekonominya sendiri.

C. Transfer Teknologi dan Pengetahuan

Belanja pengadaan juga menjadi medium pembelajaran dan peningkatan kapasitas teknis. Desa yang melibatkan pihak ketiga seperti konsultan teknis atau akademisi dalam penyusunan HPS, desain teknis, atau pengawasan lapangan akan mendapatkan manfaat berupa:

  • Transfer pengetahuan manajemen proyek, termasuk administrasi kontrak dan pelaporan keuangan.
  • Peningkatan kapasitas aparat desa dalam melakukan survei harga, menyusun dokumen pengadaan, dan mengevaluasi penawaran.
  • Pengenalan teknologi konstruksi sederhana yang efisien dan cocok untuk kondisi pedesaan.

Dengan demikian, pengadaan tidak hanya menghasilkan output fisik, tetapi juga meningkatkan kompetensi institusional desa. Pengetahuan yang diperoleh akan terus berguna dalam siklus pembangunan desa berikutnya.

IV. Risiko dan Tantangan

Di balik potensi positifnya, pengadaan desa juga menyimpan berbagai risiko dan tantangan serius. Jika tidak dikelola secara cermat, alokasi Dana Desa bisa menimbulkan inefisiensi hingga penyimpangan. Berikut empat tantangan utama yang dihadapi desa dalam pelaksanaan pengadaan:

A. Kapasitas SDM Desa Terbatas

Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di tingkat desa, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Banyak perangkat desa berasal dari latar belakang non-teknis, seperti administrasi umum atau sosial masyarakat, dan belum pernah mendapatkan pelatihan memadai tentang proses pengadaan.

Dampaknya meliputi:

  • Kesalahan menyusun RKS (Rencana Kerja dan Syarat-syarat): Misalnya, spesifikasi teknis terlalu umum, tidak mencerminkan kebutuhan lapangan, atau tidak memenuhi prinsip value for money.
  • Analisis harga yang lemah: Tidak memiliki acuan harga pasar, sehingga membuka celah terjadinya penggelembungan harga (mark-up).
  • Manajemen kontrak yang tidak efektif: Terjadi keterlambatan pekerjaan, tidak adanya termin pembayaran yang jelas, dan lemahnya dokumentasi hasil pekerjaan.

Hal ini mengindikasikan perlunya pendekatan yang tidak hanya berbasis aturan, tapi juga capacity building berkelanjutan bagi aparat desa.

B. Potensi Korupsi dan Kolusi

Pengadaan desa, terutama yang menggunakan mekanisme pengadaan langsung, sangat rentan terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Beberapa modus umum antara lain:

  • Penunjukan langsung penyedia “titipan” yang tidak berkompeten namun punya kedekatan personal atau politik dengan kepala desa.
  • Penggelembungan harga (mark-up) dengan dokumen pendukung fiktif.
  • Pemecahan paket secara artifisial agar bisa dilakukan secara langsung tanpa tender.
  • Pembayaran fiktif: Barang tidak ada atau kualitasnya jauh dari standar.

Kelemahan pada sistem kontrol internal desa, serta minimnya fungsi audit berkala, memperparah potensi penyimpangan ini.

C. Kualitas Pekerjaan yang Dipertanyakan

Akibat lemahnya pengawasan teknis dan tidak adanya pengujian hasil pekerjaan, banyak proyek desa menghasilkan output fisik yang tidak sesuai standar mutu. Beberapa kasus nyata antara lain:

  • Jalan desa cepat rusak karena ketebalan aspal atau lapisan batu tidak sesuai spesifikasi.
  • Gedung posyandu bocor atau tidak layak pakai meskipun baru dibangun.
  • Barang seperti laptop, mebel, atau perangkat audio digunakan tetapi tidak sesuai spesifikasi kontrak.

Hal ini tentu merugikan masyarakat dan mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah desa.

D. Pengadaan yang Tidak Terintegrasi

Banyak desa masih menjalankan proses pengadaan secara manual dan belum terintegrasi dengan sistem e-procurement kabupaten/kota atau tidak memanfaatkan e-catalog lokal.

Dampaknya:

  • Harga barang/jasa sangat variatif antar desa, meskipun jenisnya sama.
  • Sulit mengakses referensi harga standar, sehingga rawan pemborosan.
  • Kinerja penyedia tidak tercatat secara digital, sehingga sulit melakukan evaluasi rekam jejak.

Minimnya integrasi sistem ini membuat akuntabilitas dan efisiensi sulit tercapai secara sistemik.

V. Strategi Pengelolaan Risiko

Meski tantangan pengadaan desa signifikan, berbagai strategi dapat diterapkan untuk meminimalkan risiko dan meningkatkan efektivitas. Strategi ini harus dilakukan secara terstruktur, kolaboratif, dan berkelanjutan.

A. Peningkatan Kapasitas SDM Desa

Solusi pertama dan paling fundamental adalah peningkatan kapasitas aparatur desa. Beberapa pendekatan yang direkomendasikan:

  • Pelatihan Reguler dan Berjenjang:
    • Pelatihan pengadaan barang/jasa berbasis Permendagri 20/2018.
    • Workshop penyusunan RAB, manajemen kontrak, dan pengawasan proyek.
    • Sertifikasi dasar pengadaan LKPP (level 1) untuk operator SPKD.
  • Kemitraan dengan Lembaga Pendidikan dan Praktisi:
    • Universitas lokal atau LSM dapat dilibatkan sebagai fasilitator pelatihan teknis dan konsultasi ad-hoc.
    • Program “Kampus Desa” untuk pembelajaran jarak jauh berbasis daring (online).
  • Pendampingan Lapangan Terstruktur:
    • Setiap kecamatan memiliki Tim Pendamping Desa (TPD) yang mendampingi mulai dari perencanaan, pengadaan, hingga pelaporan.
    • Pendamping juga bertugas menyusun dokumentasi teknis dan evaluasi hasil.

B. Penerapan Sistem e-Procurement Desa

Digitalisasi proses pengadaan harus menjadi prioritas untuk transparansi dan efisiensi.

  • Integrasi Sistem Pengadaan (SPKD) ke LPSE Kabupaten/Kota:
    • Memungkinkan proses pengadaan terekam secara digital, dari RUP hingga evaluasi.
    • Mempermudah monitoring bagi inspektorat dan masyarakat.
  • Pengembangan e-Catalog Desa:
    • Menyediakan referensi harga barang/jasa untuk pengadaan langsung.
    • Menampilkan penyedia lokal yang tersertifikasi dan memenuhi kriteria teknis.
  • Aplikasi Mobile atau Dashboard Pengadaan:
    • Menyediakan akses informasi pengadaan desa bagi masyarakat.
    • Melaporkan progres pekerjaan dan realisasi belanja secara terbuka.

Digitalisasi akan menekan potensi manipulasi data, mempercepat proses, dan meningkatkan akuntabilitas.

C. Penguatan Pengawasan dan Audit

Kontrol terhadap pelaksanaan pengadaan desa harus ditingkatkan melalui mekanisme audit, evaluasi, dan pelaporan yang transparan.

  • Sistem Laporan Berkala:
    • Setiap kegiatan pengadaan wajib dilaporkan secara triwulanan.
    • Laporan mencakup progres fisik, keuangan, dan dokumentasi lapangan (foto/video).
  • Audit oleh Inspektorat Daerah:
    • Pemeriksaan rutin dan mendadak untuk memastikan integritas proses.
    • Audit tematik (khusus proyek infrastruktur) dengan tools audit fisik (GPS, drone).
  • Mekanisme Pengaduan Masyarakat:
    • Kanal pengaduan (whistleblowing system) berbasis SMS atau website.
    • Masyarakat dapat melaporkan penyimpangan, keterlambatan, atau mutu buruk.

Transparansi publik menjadi elemen penting dalam menciptakan pengadaan desa yang bersih dan akuntabel.

D. Kolaborasi Antar-Desa

Strategi lain yang dapat ditempuh adalah mendorong kerja sama antar-desa (konsorsium) dalam pengadaan barang/jasa yang serupa. Manfaat kolaborasi ini antara lain:

  • Skala Ekonomi:
    • Jika 5 desa membeli seragam pegawai dalam satu paket, harga bisa ditekan karena volume besar.
  • Standarisasi Mutu:
    • Konsorsium memungkinkan penetapan spesifikasi teknis bersama.
  • Peningkatan Daya Tawar:
    • Gabungan beberapa desa menjadi kekuatan kolektif saat negosiasi dengan penyedia.
  • Efisiensi Pengelolaan:
    • Satu tim teknis bersama bisa mengelola administrasi dan evaluasi penyedia.

Konsorsium pengadaan ini juga membuka peluang pengembangan katalog regional berbasis kebutuhan antar-desa di satu kecamatan atau kabupaten.

VI. Studi Kasus: Desa Mandiri di Jawa Tengah

A. Latar Belakang

Desa Mandiri adalah salah satu desa di wilayah Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, yang menjadi pionir dalam implementasi sistem pengadaan barang/jasa berbasis elektronik (e-procurement) di tingkat desa. Sejak tahun 2020, Desa Mandiri telah mengadopsi Sistem Pengadaan Komunitas Desa (SPKD) yang terintegrasi dengan LPSE kabupaten melalui kebijakan khusus kepala daerah.

Langkah ini bermula dari dorongan Pemerintah Kabupaten yang mendorong transparansi keuangan desa dan pengelolaan Dana Desa yang lebih modern. Melalui dukungan dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) serta Unit Layanan Pengadaan (ULP) kabupaten, Desa Mandiri mengikuti serangkaian pelatihan tentang SPKD, penyusunan RKS, hingga audit berbasis digital.

Desa ini juga menggandeng lembaga perguruan tinggi setempat-khususnya fakultas teknik dari universitas negeri di Magelang-untuk mendampingi perencanaan teknis infrastruktur dan memantau kualitas pekerjaan. Kolaborasi ini menjadikan Desa Mandiri sebagai contoh penerapan smart village procurement yang progresif dan bertanggung jawab.

B. Pelaksanaan Pengadaan Infrastruktur

Pada tahun anggaran 2021 dan 2022, Desa Mandiri mengalokasikan sebagian besar Dana Desanya untuk pembangunan infrastruktur dasar dengan pendekatan berbasis kebutuhan warga. Dua program pengadaan menjadi sorotan karena berdampak signifikan:

  1. Pengadaan Paving Block Jalan Lingkungan:Proyek senilai Rp300 juta dialokasikan untuk menata jalan-jalan kampung yang sebelumnya belum berpaving. Desa tidak menggunakan kontraktor luar, melainkan menunjuk pengrajin paving lokal yang tergabung dalam koperasi desa sebagai penyedia barang.Proses pengadaannya dilakukan melalui SPKD, dan proses pemilihan penyedia dilakukan dengan pembandingan harga dari tiga pelaku usaha desa.

    Tenaga kerja yang digunakan berasal dari kelompok pemuda setempat, dan pengawas lapangan berasal dari unsur Karang Taruna dan perangkat desa.

  2. Pembangunan Saluran Drainase:Proyek drainase dengan anggaran Rp500 juta difokuskan pada kawasan rawan banjir musiman. Rancangan teknis drainase disusun oleh dosen teknik sipil dari kampus mitra, dengan pendekatan partisipatif.Tim dari universitas juga terlibat dalam quality control saat pelaksanaan dan melakukan uji struktur sebelum serah terima. Semua proses administrasi, mulai dari perencanaan, kontrak, hingga pelaporan, dilakukan melalui platform SPKD dan terdokumentasi secara digital.

C. Hasil dan Dampak

Dampak dari penerapan sistem pengadaan yang profesional dan inklusif di Desa Mandiri dapat dilihat dari tiga sisi utama:

  1. Ketahanan Infrastruktur:Infrastruktur paving block dan drainase yang dibangun sejak 2021 terbukti awet hingga tahun 2024. Tidak ada kerusakan besar, dan saluran air tetap berfungsi meskipun curah hujan tinggi. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan dilakukan sesuai spesifikasi dan melewati uji teknis yang layak.
  2. Dampak Ekonomi Lokal:Dengan melibatkan pengrajin lokal, pendapatan pelaku usaha mikro di desa meningkat signifikan. Pengrajin paving melaporkan kenaikan omzet hingga 35%, dan membuka lapangan kerja bagi 14 pemuda desa selama proyek berlangsung. Dana yang dibelanjakan tetap berputar di desa, menimbulkan efek berganda (multiplier effect) pada sektor informal lainnya seperti warung makan dan transportasi lokal.
  3. Keterlibatan Warga dalam Pengawasan:Adanya laporan berkala melalui sistem SPKD, ditambah dokumentasi visual yang dibagikan ke grup WhatsApp warga, mendorong keterlibatan masyarakat. Mereka merasa memiliki dan ikut menjaga hasil pembangunan. Selain itu, partisipasi pemuda desa dalam pelaksanaan proyek memperkuat rasa tanggung jawab kolektif.
  4. Kredibilitas Desa Meningkat:Desa Mandiri kini menjadi rujukan studi banding bagi desa lain di Jawa Tengah. Capaian transparansi dan efisiensi membuat pengelolaan Dana Desa mereka memperoleh penghargaan dari Pemerintah Kabupaten dan masuk nominasi “Desa Terbaik dalam Inovasi Pengelolaan Keuangan”.

VII. Kesimpulan dan Rekomendasi

Belanja pengadaan desa adalah peluang besar untuk mendorong pembangunan berkeadilan dan pemberdayaan ekonomi lokal. Namun, peluang ini hanya bisa diwujudkan bila pengelolaan dilakukan secara profesional, transparan, dan partisipatif.

Pengalaman desa seperti Desa Mandiri menunjukkan bahwa pengadaan desa bukan sekadar belanja barang dan jasa, tetapi bagian dari transformasi manajemen pemerintahan tingkat lokal. Ketika proses pengadaan dilakukan dengan prinsip tata kelola yang baik (good governance), maka efeknya dapat terasa luas: infrastruktur yang lebih awet, masyarakat yang lebih percaya, dan ekonomi desa yang lebih hidup.

Agar pengadaan desa menjadi instrumen pembangunan yang berdampak dan minim risiko, berikut beberapa rekomendasi strategis yang dapat diterapkan oleh pemangku kepentingan:

1. Penguatan Regulasi dan SOP Tingkat Desa

  • Dorong penyusunan Peraturan Desa (Perdes) dan Peraturan Kepala Desa (Perkades) tentang pengadaan berbasis SPKD.
  • Buat SOP pengadaan sederhana dan kontekstual, disesuaikan dengan kapasitas desa tetapi tetap mengacu pada prinsip-prinsip PBJ nasional.

2. Peningkatan Kapasitas Aparatur

  • Laksanakan pelatihan berkelanjutan dalam bentuk klinik pengadaan, e-learning, dan mentoring oleh DPMD dan UKPBJ.
  • Arahkan sertifikasi dasar PBJ kepada Kaur Keuangan dan Kaur Perencanaan.

3. Integrasi Sistem Digital

  • Percepat integrasi SPKD ke dalam sistem LPSE kabupaten/kota agar lebih mudah dipantau dan efisien.
  • Bangun e-catalog desa yang menampilkan produk UMKM lokal, pengrajin desa, dan jasa berbasis komunitas.

4. Mendorong Konsorsium Antar-Desa

  • Fasilitasi pembentukan kelompok kerja antar-desa (PokjaDes) untuk melakukan pengadaan skala besar secara kolektif.
  • Konsorsium ini akan meningkatkan daya tawar, efisiensi biaya, dan memperluas pasar bagi pelaku usaha desa.

5. Pelibatan Masyarakat dan Audit Partisipatif

  • Perkuat kanal pelaporan masyarakat untuk pengawasan, seperti pos pengaduan dan sistem pelaporan online.
  • Dorong partisipasi Karang Taruna, BPD, dan tokoh masyarakat dalam audit proyek pembangunan desa.

Penutup

Belanja pengadaan desa, pada akhirnya, bukan hanya soal bagaimana desa membelanjakan uang. Lebih jauh, ini adalah tentang bagaimana desa membangun kapasitas dirinya sendiri, memperkuat ekonominya, dan meningkatkan kualitas hidup warganya. Ketika pengadaan dilakukan secara adil, transparan, dan inklusif, maka pengadaan itu sendiri menjadi alat untuk mengubah desa dari sekadar wilayah administratif menjadi laboratorium inovasi dan kemandirian ekonomi lokal.

Dengan komitmen bersama-antara pemerintah pusat, kabupaten/kota, desa, dan masyarakat-pengadaan desa bisa menjadi tonggak kemajuan yang nyata, dan bukan sekadar daftar belanja tahunan.

Bagikan tulisan ini jika bermanfaat