Bagaimana Cara Menghitung Denda Keterlambatan dalam Kontrak PBJ

Pendahuluan

Denda keterlambatan adalah salah satu sanksi finansial yang paling sering ditemui dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJ). Tujuannya dua: memberi insentif agar pekerjaan selesai tepat waktu, dan memberi kompensasi kepada pemberi tugas atas kerugian waktu atau biaya akibat keterlambatan pelaksana. Di lingkungan PBJ aturan tentang denda tidak diserahkan sepenuhnya ke “kreativitas” kontrak pihak-pihak – ada ketentuan norma yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden dan pedoman LKPP yang harus dipahami dan dipatuhi.

Artikel ini menjelaskan secara praktis dan terstruktur bagaimana denda keterlambatan ditetapkan dan dihitung: dasar hukumnya, kapan dan bagaimana denda mulai berlaku, rumus perhitungan (dengan contoh angka), perlakuan terhadap PPN dan nilai bagian kontrak, bagaimana denda dicatat/pembayaran/kompensasi, serta langkah pengaduan atau mediasi bila terjadi perselisihan. Penjelasan dibuat mudah dibaca-dilengkapi formula matematis sederhana dan contoh hitungan-sehingga pegawai pengadaan, bendahara, manajer proyek, dan penyedia dapat memahami implikasi finansial dan prosedural sebelum menandatangani kontrak PBJ.

1. Pengertian Denda Keterlambatan dan Dasar Hukum Utama

Secara teknis, denda keterlambatan (sering disebut juga sanksi denda) adalah jumlah uang yang dikenakan kepada penyedia karena gagal menyelesaikan pekerjaan sesuai jadwal yang ditetapkan dalam kontrak. Dalam konteks pengadaan pemerintah Indonesia, besaran dan mekanisme pengenaan denda diatur secara jelas oleh regulasi pusat – sehingga klausul denda dalam rancangan kontrak harus konsisten dengan ketentuan tersebut.

Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/2018) adalah salah satu rujukan utama di tingkat nasional yang mengatur banyak aspek kontrak PBJ. Perpres ini menyebutkan bahwa pengenaan sanksi denda keterlambatan harus ditetapkan dalam kontrak dan memberikan parameter besaran denda. Pasal 79 ayat (4) menyatakan besaran denda keterlambatan sebesar 1‰ (satu permil atau 0,1%) dari nilai kontrak atau nilai bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan; nilai yang dipakai tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketentuan ini juga umum dijadikan dasar standar dokumen pemilihan dan template SPK yang dikeluarkan LKPP.

Sebelumnya terdapat aturan lain (mis. Perpres 54/2010 dan perubahan) yang pernah memberikan batas maksimal denda dalam relasinya dengan jaminan pelaksanaan (contoh: pembahasan historis tentang batas 5%). Namun aturan turunan dan pembaruan perpres telah mengubah beberapa ketentuan tersebut sehingga praktik modern umumnya mengacu pada ketentuan 1‰ per hari dan pengaturan lebih rinci ada dalam klausul kontrak dan peraturan pelaksana LKPP. Untuk memastikan kepatuhan, pihak kontrak (PPK) dan penyedia harus memeriksa versi Perpres/LKPP yang berlaku saat kontrak dibuat.

Intinya: dasar hukum formal menetapkan tarif “satuan” denda (1/1000 dari nilai dasar per hari) dan mewajibkan agar pengenaan denda dirumuskan secara jelas dalam kontrak (nilai dasar, apakah denda berdasarkan nilai kontrak penuh atau bagian kontrak, dan apakah PPN termasuk atau tidak). Mengetahui dasar hukum ini penting agar perhitungan denda bersifat defensible saat diaudit atau disengketakan.

2. Kapan Denda Dikenakan – Syarat dan Pemberian Kesempatan

Denda tidak otomatis muncul sekadar ada keterlambatan; aturan pelaksana dan praktik kontraktual menetapkan tahapan yang harus diperhatikan. Dua kondisi umum yang perlu dipahami: (1) beda antara keterlambatan karena kesalahan penyedia dan keterlambatan karena keadaan kahar (force majeure), serta (2) adanya mekanisme “pemberian kesempatan” sebelum pemutusan kontrak.

Pertama, denda umumnya dikenakan apabila penyedia lalai/wanprestasi-bukan karena alasan di luar kendali kedua pihak (mis. bencana alam yang memenuhi kriteria keadaan kahar). Perpres mengatur pula soal keadaan kahar (force majeure) yang memberi ruang bagi perpanjangan waktu atau penangguhan kewajiban tanpa denda jika terbukti. Oleh karenanya, status penyebab keterlambatan harus dianalisis dan didokumentasikan-apakah inklusif di bawah force majeure, perubahan ruang lingkup yang disetujui, atau murni kelalaian penyedia.

Kedua, Perpres 16/2018 menegaskan mekanisme pemberian kesempatan (Pasal 56). Jika masa kontrak berakhir tetapi pekerjaan belum selesai, PPK dapat memberi kesempatan kepada penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan (mis. periode singkat, seperti hingga 50-90 hari berdasarkan analisis PPK dan ketentuan adendum). Peluang ini harus dituangkan dalam adendum kontrak yang mengatur ulang waktu penyelesaian, pengenaan sanksi denda keterlambatan selama periode kesempatan tersebut, dan perpanjangan masa berlaku jaminan pelaksanaan jika diperlukan. Dengan kata lain, pemberian kesempatan sering menjadi kondisi sebelum denda kumulatif dipakai sebagai dasar pemutusan kontrak.

Ketentuan praktis yang sering dipakai di lapangan: PPK akan melakukan pemeriksaan kondisi, memutuskan apakah penyedia memang memiliki kapasitas menyelesaikan pekerjaan, dan jika ya, membuat adendum (dokumen resmi) menyertakan jumlah hari tambahan dan klausul denda (1‰ per hari). Jika penyedia tetap gagal setelah periode kesempatan tersebut, tindakan berikutnya bisa berupa pemutusan kontrak atau penarikan jaminan pelaksanaan sesuai pasal terkait. Semua langkah ini harus didokumentasikan untuk kepentingan audit dan bila terjadi sengketa.

Singkatnya, denda bekerja ketika:

  • Keterlambatan karena kesalahan penyedia.
  • Pemberitahuan dan (jika relevan) pemberian kesempatan sudah dilakukan/direkam.
  • Adendum/kontrak menetapkan dasar perhitungan (nilai kontrak atau nilai bagian) serta pengecualian (force majeure).

Pihak yang menanggung beban pembuktian penyebab keterlambatan harus siap menyediakan bukti tertulis.

3. Basis Perhitungan dan Rumus Matematika

Secara matematis formula denda keterlambatan sangat sederhana, namun pengaplikasiannya butuh ketelitian karena ada beberapa pilihan basis nilai yang berbeda (nilai kontrak penuh atau nilai bagian kontrak), perlakuan PPN, dan ketentuan kontrak spesifik. Rumus dasar yang digunakan di mayoritas kontrak PBJ Indonesia adalah:

Denda per hari = Nilai Dasar × (1/1000)

dimana Nilai Dasar adalah salah satu dari:

  • Nilai kontrak penuh (harga kontrak yang tercantum dalam SPK/kontrak); atau
  • Nilai bagian kontrak (harga bagian kontrak yang belum diselesaikan / sisa pekerjaan yang relevan), tergantung bagaimana klausul kontrak merumuskan pemberlakuan denda.

Untuk menghitung total denda kumulatif selama N hari keterlambatan, rumusnya:

Total Denda = Nilai Dasar × (1/1000) × N

Contoh dalam bentuk variabel: jika V = nilai dasar (tanpa PPN), r = 1/1000 per hari, dan H = jumlah hari keterlambatan, maka:

Total Denda = V × r × H

Catatan penting: Perpres menyatakan nilai dasar tidak termasuk PPN, sehingga bila kontrak dicantumkan dengan PPN, pertama-tama hapus komponen PPN sebelum menghitung denda. Jika kontrak berharga bruto (termasuk PPN), gunakan formula: V_net = V_gross / (1 + tarif_PPN) untuk mendapatkan nilai dasar yang tepat sebelum dipakai dalam perhitungan denda.

Pilihan menggunakan nilai kontrak penuh atau nilai bagian kontrak sangat kontekstual:

  • Nilai bagian kontrak sering dipakai bila sebagian pekerjaan sudah dapat berfungsi (mis. sebagian barang sudah bisa dipakai) sehingga hanya sisa pekerjaan yang belum selesai yang dikenakan denda. Dalam praktik ini, basisnya adalah sisa nilai pekerjaan yang belum diserahkan/diterima.
  • Nilai kontrak penuh dipakai bila keseluruhan pekerjaan yang menjadi objektif kontrak belum bisa memberi manfaat sampai seluruhnya selesai; maka denda atas keterlambatan bisa dikenakan terhadap nilai kontrak lengkap. Banyak dokumen standar LKPP memberi opsi kedua cara ini dan kontrak harus jelas memilih salah satu atau mengatur kondisi kapan masing-masing berlaku.

Hal lain yang perlu diperhatikan: beberapa kontrak menuliskan batas maksimal akumulasi denda (mis. terkait jaminan pelaksanaan) berdasarkan aturan lama – tetapi praktik modern mengikuti ketentuan Perpres terbaru. Oleh karena itu selalu konfirmasi klausul kontrak dan peraturan yang berlaku saat perhitungan.

4. Contoh Perhitungan Lengkap (beberapa skenario)

Berikut beberapa contoh perhitungan nyata untuk membantu memahami penerapan rumus di berbagai situasi.

Contoh A – Denda berdasarkan nilai kontrak penuh (tanpa PPN)

  • Nilai kontrak (V) = Rp 2.000.000.000 (sudah tercantum sebelum PPN)
  • Tarif denda per hari (r) = 1/1000 = 0,001
  • Jumlah hari keterlambatan (H) = 30 hari

Per hari denda = 2.000.000.000 × 0,001 = Rp 2.000.000Total denda = 2.000.000 × 30 = Rp 60.000.000

Artinya dalam contoh ini PPK berhak menahan atau memotong pembayaran hingga total Rp 60 juta akibat keterlambatan 30 hari.

Contoh B – Denda berdasarkan nilai bagian kontrak (sisa pekerjaan)

  • Nilai kontrak penuh = Rp 2.000.000.000 (tidak termasuk PPN)
  • Pekerjaan yang sudah selesai bernilai Rp 1.500.000.000; sisa nilai yang belum selesai (V_sisa) = Rp 500.000.000
  • Tarif r = 0,001; H = 30 hari

Per hari denda = 500.000.000 × 0,001 = Rp 500.000Total denda = 500.000 × 30 = Rp 15.000.000

Dengan pendekatan ini, denda jadi lebih “proporsional” terhadap bagian yang belum selesai. Penggunaan metode ini harus tertera jelas dalam kontrak atau adendum.

Contoh C – Kontrak tercantum termasuk PPN (harus di-net-kan dulu)

  • Harga kontrak tercantum di SPK: Rp 1.100.000.000 (termasuk 10% PPN)
  • Tarif PPN = 10% → V_net = 1.100.000.000 / 1,10 = Rp 1.000.000.000
  • H = 20 hari; r = 0,001

Per hari denda = 1.000.000.000 × 0,001 = Rp 1.000.000Total denda = 1.000.000 × 20 = Rp 20.000.000

Perhatikan langkah netting (menghilangkan PPN) sebelum hitung denda – hal ini sering terlupakan dan bisa menyebabkan perhitungan yang keliru.

Contoh D – Akumulasi denda vs jaminan pelaksanaan (catatan praktis)

Beberapa dokumen lama merujuk pada batasan akumulasi denda yang tidak melebihi nilai jaminan pelaksanaan (mis. 5% dari nilai kontrak) – aturan semacam itu ada dalam peraturan terdahulu. Namun praktik dan peraturan terbaru memberi penekanan pada ketentuan 1‰ per hari; apabila kontrak masih mengadopsi aturan lama perlu diperiksa ketentuan transisi dan peraturan pelaksana. Selalu verifikasi ketentuan tentang pemutusan kontrak bila akumulasi denda mencapai level tertentu.

5. Perlakuan terhadap PPN, Bagian Kontrak, dan Pasal-Pasal Kontrak yang Perlu Diperhatikan

Beberapa elemen kontrak sering menimbulkan kebingungan saat menghitung denda: apakah PPN dihitung, apakah denda berlaku pada bagian kontrak, dan apakah ada syarat minimum hari atau grace period. Berikut penjelasan praktis.

PPN – aturan Perpres jelas: nilai kontrak/nilai bagian kontrak yang dipakai untuk menghitung denda tidak termasuk PPN. Jadi bila SPK/kontrak menuliskan angka termasuk PPN, bendahara/PPK harus terlebih dahulu menghitung nilai netto (V_net) dengan membagi nilai bruto dengan (1 + tarif_PPN). Kesalahan umum adalah langsung mengalikan tarif denda terhadap angka bruto sehingga denda jadi lebih besar dari yang seharusnya. Pastikan juga dokumen SPK mencantumkan apakah harga kontrak adalah net (sebelum PPN) atau gross (termasuk PPN).

Bagian kontrak vs keseluruhan kontrak – kontrak bisa dibagi dalam part atau package (mis. item 1: supply alat, item 2: instalasi, item 3: training). Jika bagian tertentu dapat berfungsi sendiri (mis. barang sudah dipakai walau instalasi belum selesai), maka penggunaan nilai bagian kontrak sebagai basis denda lebih adil dan sering dipilih. Namun bila keberfungsian hanya tercapai setelah seluruh deliverable selesai, maka denda terhadap nilai kontrak penuh dapat dibenarkan. Hal ini harus tertera di klausul penerapan denda: jelas menyebutkan kondisi kapan basis bagian dan kapan basis keseluruhan dipakai.

Grace period / peringatan / pemberian kesempatan – praktik baik kontrak biasanya memuat prosedur awal: peringatan tertulis, permintaan penyelesaian, dan, bila layak, pemberian kesempatan hingga jangka waktu tertentu melalui adendum (lihat Pasal 56 Perpres). Saat pemberian kesempatan diberikan, adendum harus mencantumkan penghitungan denda selama periode tambahan dan kewajiban perpanjangan jaminan pelaksanaan. Tanpa dokumentasi adendum, penerapan denda berisiko digugat.

Klausa pemutusan dan ambang akumulasi denda – beberapa kontrak/kecamatan peraturan lama menyebutkan ambang akumulasi denda yang dapat memicu pemutusan kontrak (mis. akumulasi melebihi 5% jaminan pelaksanaan). Meski ada perubahan regulasi, praktik administratif di daerah mungkin masih mengacu pada aturan lama-oleh karena itu penting mencantumkan mekanisme pemutusan kontrak yang sesuai peraturan berlaku. Jika akumulasi denda mencapai level yang berimplikasi pemutusan, pastikan proses administrasi (pemberitahuan, klarifikasi, penyusunan berita acara) dilaksanakan sesuai pedoman agar putusan pemutusan dapat dipertahankan jika diaudit.

6. Prosedur Administratif Pengenaan Denda: Dokumen, Potongan Pembayaran, dan Jaminan

Menegakkan denda bukan sekadar menghitung angka – ada rangkaian langkah administrasi yang harus dilakukan agar tindakan itu sah, akuntabel, dan tahan diuji audit.

1) Verifikasi Keterlambatan & Penyebab
Sebelum mengenakan denda, PPK atau tim pemeriksa hasil pekerjaan harus menyiapkan bukti bahwa penyedia memang terlambat dan penyebabnya bukan force majeure atau perubahan kontrak yang disetujui. Bukti meliputi: berita acara pemeriksaan lapangan, e-mail/komunikasi, laporan progres, dan surat peringatan. Semua bukti ini penting untuk menunjukkan bahwa denda diberlakukan secara adil.

2) Pemberitahuan Tertulis & Pemberian Kesempatan
Jika kondisi memenuhi, PPK umumnya mengeluarkan peringatan tertulis dan, bila memutuskan memberi kesempatan, membuat adendum kontrak yang memuat perpanjangan waktu, ketentuan denda per hari, dan perpanjangan jaminan pelaksanaan (jika ada). Adendum ini harus ditandatangani kedua belah pihak dan diarsipkan. Tanpa adendum pemberian kesempatan, argumentasi denda akan lemah.

3) Penerbitan Berita Acara Denda & Pemotongan Pembayaran
Setelah denda dihitung, PPK menerbitkan berita acara pengenaan denda yang menjelaskan dasar perhitungan, jumlah hari keterlambatan, dan jumlah yang dipotong. Secara praktis denda biasanya dipotong dari termin pembayaran yang masih harus dibayarkan kepada penyedia; jika tidak ada termin tersisa, jaminan pelaksanaan dapat dieksekusi sesuai prosedur untuk menutup denda. Semua pemotongan harus didukung dokumen yang memadai untuk dipertanggungjawabkan dalam laporan keuangan.

4) Perpanjangan atau Eksekusi Jaminan Pelaksanaan
Jika denda melebihi jumlah pembayaran yang masih harus dilakukan dan jaminan pelaksanaan tersedia, PPK dapat meminta pencairan atau eksekusi jaminan pelaksanaan sesuai ketentuan kontrak dan hukum. Namun sebelum mengeksekusi, perlu prosedur klarifikasi dan pemberitahuan kepada penerbit jaminan agar prosesnya tidak menimbulkan masalah hukum (mis. bila jaminan palsu atau salah penerapan).

5) Dokumentasi untuk Audit & Laporan
Semua langkah di atas harus terdokumentasi rapi (surat peringatan, adendum, BAP pemeriksaan, BA potong pembayaran, bukti saldo jaminan, korespondensi dengan penyedia). Dokumen ini menjadi bukti saat pemeriksaan internal atau audit eksternal (BPK/BPKP). Ketiadaan dokumentasi adalah sumber temuan audit yang umum.

Prosedur administratif yang tepat membantu memastikan sanksi denda bukan sekadar penalti yang arbitrer, tetapi tindakan berbasis aturan yang dapat dipertanggungjawabkan.

7. Dampak Finansial, Pencatatan Akuntansi, dan Implikasi bagi Penyedia

Pengenaan denda bukan hanya soal angka; ada implikasi anggaran dan akuntansi baik bagi pihak pemberi tugas (instansi pemerintah) maupun penyedia.

  • Bagi instansi pemerintah (PPK / bendahara): denda yang dipotong dari klaim penyedia biasanya mengurangi jumlah pembayaran yang harus dibukukan sebagai beban belanja. Dalam praktik akuntansi pemerintah, potongan denda yang diambil dari pembayaran kepada penyedia dicatat sebagai pengurang belanja. Namun tata cara spesifik pencatatan (akun mana yang dipakai, apakah denda masuk ke rekening penerimaan negara selain pajak, atau netting terhadap belanja) dapat bergantung pada aturan akuntansi/keuangan instansi setempat dan pedoman Kementerian Keuangan. Oleh karena itu sebaiknya PPK berkonsultasi dengan staf akuntansi/bendahara agar pencatatan sesuai ketentuan. Kemenkeu dan unit pembinaan pengadaan sering menyiapkan panduan terkait implikasi akuntansi denda.
  • Bagi penyedia: denda mengurangi arus kas dan margin keuntungan – terutama untuk kontrak dengan margin tipis atau yang bergantung pada cashflow proyek. Penyedia harus menyiapkan cadangan risiko untuk menutup denda jika terjadi keterlambatan yang disebabkan internal (mis. pasokan, tenaga kerja). Selain itu, akumulasi denda dan catatan kinerja yang buruk dapat memengaruhi rating kinerja penyedia dan peluang menang tender di masa depan-database penilaian kinerja sering dipakai oleh UKPBJ/LKPP.
  • Aspek pajak: denda bukan pendapatan usaha bagi penyedia; denda yang dipotong bukanlah objek PPN. Namun pada sisi penerimaan negara/regional harus diperhatikan apakah denda tersebut menjadi pendapatan daerah/negara atau dipergunakan sebagai kompensasi pengeluaran kontraktual-kebijakan tata kelola keuangan menentukan perlakuannya. Konsultasi dengan unit perpajakan dan bendahara diperlukan bila jumlah denda signifikan.
  • Evaluasi risiko kontraktual: penyedia harus selalu memperhitungkan risiko denda dalam pricing dan penawaran HPS. Memasukkan buffer waktu, perencanaan logistik, dan klausa mitigasi (seperti jaminan suplai alternatif atau subkontrak) bisa mengurangi peluang keterlambatan. Bagi PPK, menetapkan klausa denda yang proporsional (mis. berdasarkan nilai bagian bila relevan) meningkatkan fairness dan menurunkan potensi sengketa.

Secara keseluruhan, denda adalah instrumen pengendalian kinerja dengan konsekuensi fiskal nyata – kedua belah pihak perlu memahaminya sejak perencanaan kontrak.

8. Sengketa, Banding, dan Praktik Terbaik untuk Mengurangi Konflik

Pengenaan denda kerap memicu sengketa antara PPK dan penyedia. Oleh sebab itu memahami jalur penyelesaian dan menerapkan praktik terbaik bisa mengurangi konflik serta mempercepat penyelesaian tanpa litigasi panjang.

Jalur penyelesaian sengketa – Perpres memberi ruang bagi penyelesaian sengketa kontrak melalui layanan penyelesaian sengketa kontrak LKPP, arbitrase, atau pengadilan. Layanan LKPP sendiri menyediakan mediasi/konsiliasi/arbitrase yang khusus menangani kontrak PBJ agar sengketa terselesaikan secara cepat dan teknis. Sebelum membawa kasus ke ranah hukum, banyak pihak memilih menyelesaikan secara administratif dan mediasi internal untuk menghemat waktu dan biaya.

Keberatan penyedia & bukti force majeure – bila penyedia mengajukan keberatan atas denda, argumen utama biasanya:

  • Keterlambatan disebabkan force majeure.
  • PPK tidak mengikuti prosedur peringatan/adendum.
  • Perhitungan denda keliru (mis. memakai angka bruto termasuk PPN).

Penyedia harus menyiapkan bukti dokumenter (laporan cuaca, laporan pengiriman, korespondensi) untuk mendukung klaim. Jika klaim force majeure terbukti, denda dapat dibatalkan atau direduksi sesuai ketentuan kontrak/peraturan.

Praktik terbaik untuk mengurangi konflik:

  1. Rancang klausul kontrak yang jelas – tentukan apakah denda memakai basis nilai kontrak penuh atau nilai bagian; atur mekanisme pemberian kesempatan, grace period, dan prosedur administrasi denda. Kejelasan mengurangi dispute.
  2. Dokumentasikan komunikasi – semua peringatan, klarifikasi teknis, dan perubahan jadwal harus tercatat. Dokumentasi mempermudah pembelaan bila sengketa muncul.
  3. Gunakan mediasi/servis LKPP lebih awal – sebelum arbitrase/pengadilan, layanan penyelesaian sengketa khusus PBJ sering menyelesaikan masalah lebih cepat dan teknis.
  4. Audit dan review pasca-kontrak – lakukan evaluasi internal saat proyek selesai untuk mendokumentasikan lessons learned dan merevisi template kontrak sehingga risiko berulang berkurang.

Dengan pendekatan preventif (kontrak jelas, komunikasi teratur) dan mekanisme penyelesaian yang terstruktur (mediasi/arbiter), banyak sengketa denda bisa diselesaikan tanpa menimbulkan beban hukum yang berat bagi kedua pihak.

Kesimpulan

Menghitung dan menerapkan denda keterlambatan dalam kontrak PBJ pada dasarnya adalah kombinasi antara aturan hukum yang jelas dan praktik administrasi yang teliti. Secara aturan umum nasional, pengenaan denda ditetapkan pada tarif 1‰ (satu permil) per hari dari nilai kontrak atau nilai bagian kontrak – nilai yang dipakai tidak termasuk PPN – dan penerapannya harus dituangkan dengan tegas dalam kontrak atau adendum. Namun penerapan nyata menuntut langkah-langkah administrasi: verifikasi penyebab keterlambatan (apakah force majeure atau wanprestasi), pemberian kesempatan (jika diputuskan), pembuatan adendum bila relevan, dan dokumentasi semua langkah untuk kepentingan audit dan bila terjadi sengketa.

Dari sisi praktis, penghitungan denda menggunakan rumus sederhana (Total Denda = Nilai Dasar × 1/1000 × Jumlah Hari), tetapi aspek yang sering memicu kesalahan adalah pemilihan nilai dasar (kontrak penuh vs bagian), penghilangan PPN sebelum perhitungan, dan pengaturan akumulasi/ambang denda dalam kaitannya dengan jaminan pelaksanaan. Bagi PPK, penting menyusun klausul kontrak yang proporsional dan prosedural supaya penegakan denda tidak berujung sengketa. Bagi penyedia, kesiapan administrasi, manajemen risiko, dan rencana mitigasi dapat memperkecil kemungkinan denda besar. Bila terjadi perselisihan, manfaatkan layanan penyelesaian sengketa (LKPP), mediasi, atau arbitrase sesuai peraturan.

Bagikan tulisan ini jika bermanfaat