Dalam setiap proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, istilah spesifikasi teknis selalu muncul sebagai salah satu dokumen paling penting. Ia adalah fondasi pengadaan, acuan utama penyedia, dasar evaluasi penawaran, rujukan dalam menyusun HPS, pedoman pelaksanaan pekerjaan, serta pegangan auditor dalam memeriksa kewajaran belanja. Karena itu, sudah semestinya spesifikasi teknis disusun dengan sangat hati-hati. Namun kenyataannya, di ribuan pengadaan yang berlangsung setiap tahun, spesifikasi teknis justru menjadi bagian paling lemah. Dokumen ini sering kali disusun tergesa-gesa, tidak lengkap, terlalu umum, atau bahkan terlalu mengarah. Akibatnya, proses pengadaan menjadi tidak efisien, penyedia bingung, evaluator kesulitan, dan pemerintah berisiko menerima barang yang tidak sesuai kebutuhan.
Mengapa hal ini terjadi? Mengapa spesifikasi teknis, yang seharusnya menjadi dokumen paling kuat, justru menjadi kelemahan paling mencolok? Pertanyaan ini memiliki jawaban panjang karena persoalannya tidak hanya terletak pada teknis penyusunan, tetapi juga budaya kerja, keterbatasan sumber daya, tekanan waktu, dan pemahaman yang kurang memadai tentang fungsi spesifikasi teknis itu sendiri.
Masalah pertama yang paling sering terjadi adalah minimnya pemahaman tentang apa sebenarnya spesifikasi teknis. Banyak pejabat pengadaan, terutama yang baru atau tidak memiliki latar belakang teknis, menganggap spesifikasi teknis hanyalah deskripsi singkat mengenai barang. Mereka menulis spesifikasi seperti “laptop standar untuk kebutuhan kantor”, “printer kualitas bagus”, atau “kursi kerja yang nyaman”. Tulisan seperti ini tentu tidak dapat menjadi dasar pengadaan yang kuat. Penyedia bisa menafsirkan kalimat tersebut dengan sangat berbeda. Ada yang menganggap laptop standar berarti prosesor generasi lama, ada yang menganggap printer standar adalah printer inkjet murah, dan ada pula yang menganggap kursi kerja yang nyaman cukup dengan busa tipis. Ketidakjelasan ini membuka ruang interpretasi yang sangat luas dan akhirnya membuat kualitas barang yang ditawarkan penyedia sangat bervariasi.
Di banyak kasus, spesifikasi teknis disusun bukan berdasarkan kebutuhan nyata pengguna, melainkan berdasarkan dokumen tahun lalu, copy-paste dari pengadaan lain, atau sekadar ingatan penyusun. Akibatnya, pengadaan terjebak pada pola lama yang tidak relevan lagi dengan kebutuhan saat ini. Misalnya, instansi masih menulis permintaan komputer dengan RAM 4GB padahal kebutuhan pekerjaan sudah menuntut RAM jauh lebih besar. Spesifikasi yang stagnan tidak hanya membuat barang yang diterima cepat kedaluwarsa, tetapi juga membuat anggaran menjadi tidak efisien.
Selain masalah pemahaman, spesifikasi teknis sering menjadi titik lemah karena penyusunannya dilakukan terlalu terburu-buru. Tekanan jadwal pengadaan menjadi penyebab utama. Pada akhir tahun, ketika anggaran harus segera terserap, banyak instansi menyusun spesifikasi teknis dalam waktu singkat. Dokumen yang seharusnya disusun dengan analisis mendalam akhirnya dibuat hanya sebagai syarat administrasi agar proses tidak macet. Ketika spesifikasi disusun dengan terburu-buru, kualitasnya hampir pasti tidak optimal. Penyedia tidak mendapatkan informasi yang cukup, evaluator kesulitan menilai, dan PPK kebingungan ketika barang yang datang ternyata tidak sesuai ekspektasi.
Tekanan waktu juga sering membuat penyusun memilih jalan pintas dengan menyebut merek tertentu, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Menyebut merek memang terasa lebih mudah karena penyusun tidak perlu lagi memikirkan parameter teknis. Mereka hanya mengambil spesifikasi dari katalog merek yang dipercaya. Namun cara ini jelas bertentangan dengan prinsip pengadaan. Selain melanggar aturan, pencantuman merek bisa menghilangkan kompetisi, membuat harga menjadi tidak efisien, dan menimbulkan risiko temuan audit. Di sisi lain, jika spesifikasi dibuat tanpa menyebut merek tetapi terlalu umum, penyedia bisa menurunkan kualitas barang demi menekan harga. Di sinilah dilema muncul: bagaimana menulis spesifikasi yang cukup rinci tanpa menyebut merek? Banyak penyusun gagal menjaga keseimbangan ini sehingga spesifikasi menjadi lemah.
Masalah berikutnya adalah kurangnya kemampuan teknis dalam memahami barang atau jasa yang diadakan. Tidak semua pengadaan ditangani oleh pegawai dengan latar belakang teknis yang relevan. Misalnya, pengadaan perangkat IT ditangani oleh pegawai administrasi yang tidak memahami istilah prosesor, resolusi layar, standar panel, atau kapasitas minimal. Pengadaan konstruksi ditangani oleh pegawai umum yang tidak memahami mutu beton, jenis pasir, atau standar kekuatan struktur. Tanpa pemahaman teknis, spesifikasi teknis menjadi sekadar daftar istilah yang diambil dari brosur penyedia. Alhasil, spesifikasi tidak mencerminkan kebutuhan lapangan yang sesungguhnya.
Kurangnya kemampuan teknis juga muncul karena tidak adanya pendampingan dari pengguna barang. Dalam banyak instansi, pengguna akhir barang tidak dilibatkan dalam penyusunan spesifikasi. PPK atau pokja pemilihan terpaksa menebak kebutuhan pengguna. Contohnya, pengadaan peralatan laboratorium tanpa konsultasi dengan tenaga laboratorium bisa menghasilkan spesifikasi yang tidak relevan. Pengadaan komputer tanpa bicara dengan bagian IT bisa menghasilkan spesifikasi yang tidak kompatibel dengan sistem yang digunakan. Keterputusan komunikasi ini menjadi penyebab besar mengapa spesifikasi teknis menjadi salah satu titik paling lemah.
Selain itu, spesifikasi teknis sering menjadi dokumen lemah karena tidak berdasarkan standar yang berlaku. Banyak barang memiliki standar nasional atau internasional yang dapat dijadikan acuan kualitas, seperti SNI, ISO, ASTM, atau standar industri lainnya. Namun kebanyakan spesifikasi pengadaan tidak mencantumkan standar tersebut. Akibatnya, penyedia menawarkan barang yang tidak memiliki jaminan kualitas. Spesifikasi tanpa standar ibarat rumah tanpa pondasi: mudah digoyang dan sulit dibuktikan. Auditor kerap menemukan bahwa barang yang diadakan tidak memenuhi standar industri padahal nilai anggarannya besar.
Masalah lain muncul dari aspek internal: kecenderungan menulis spesifikasi teknis secara copy-paste. Dokumen lama dianggap cara paling mudah untuk menghindari kesalahan. Namun setiap tahun kebutuhan berubah, teknologi berkembang, standar meningkat, dan pasar bergerak cepat. Ketika spesifikasi tidak diperbarui, barang yang diterima akan jauh dari ekspektasi pengguna. Copy-paste spesifikasi tidak hanya membuat pengadaan tidak relevan, tetapi juga sering mengandung kesalahan teknis dari dokumen sebelumnya. Hal ini membuat spesifikasi semakin lemah dan mudah dipersoalkan oleh auditor.
Di banyak pengadaan, spesifikasi teknis juga menjadi titik lemah karena tidak mencantumkan volume pekerjaan atau rincian kebutuhan secara jelas. Dalam pengadaan jasa seperti pekerjaan konstruksi, volume adalah dasar biaya. Ketika volume tidak jelas, penyedia akan menafsirkan sendiri dan membuat penawaran yang sangat berbeda satu sama lain. Evaluator kemudian kebingungan menentukan mana penawaran yang benar. Kesalahan volume juga berpengaruh langsung pada HPS, yang pada akhirnya berpengaruh pada anggaran. Spesifikasi tanpa volume yang jelas membuat pengadaan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara keuangan.
Tidak jarang pula spesifikasi teknis menjadi lemah karena tidak menyertakan kriteria kinerja atau output yang diharapkan. Banyak spesifikasi hanya berisi daftar komponen barang tanpa menjelaskan bagaimana barang itu harus bekerja. Misalnya, spesifikasi mesin hanya mencantumkan daya tetapi tidak mencantumkan kemampuan produksi. Spesifikasi lampu hanya mencantumkan watt tetapi tidak menjelaskan tingkat pencahayaan. Spesifikasi perangkat IT hanya mencantumkan prosesor tetapi tidak mencantumkan standar performa. Tanpa kriteria kinerja, penyedia bisa menawarkan barang yang secara teknis memenuhi daftar spesifikasi tetapi kinerjanya jauh di bawah harapan.
Salah satu penyebab terbesar spesifikasi teknis menjadi titik lemah adalah ketidakkonsistenan antara spesifikasi teknis dengan dokumen lain, terutama KAK dan HPS. Dalam banyak kasus, spesifikasi teknis mencantumkan detail tertentu tetapi tidak dihitung dalam HPS. Atau sebaliknya, HPS menghitung biaya barang tertentu yang tidak tertulis dalam spesifikasi teknis. Ketidaksinkronan ini membuat auditor menilai bahwa dokumen disusun tanpa perencanaan yang matang. Ketika dokumen tidak konsisten, proses pengadaan menjadi rawan sanggahan dan mudah dipermasalahkan.
Di sisi lain, spesifikasi teknis lemah karena tidak mengantisipasi inovasi teknologi. Penyusun spesifikasi sering menulis dokumen terlalu kaku dan terlalu rinci sehingga hanya cocok untuk satu jenis teknologi. Padahal pasar berubah cepat. Teknologi baru bisa muncul dan memberikan performa lebih baik dengan harga lebih murah. Namun karena spesifikasi ditulis sangat khusus, penyedia tidak dapat menawarkan teknologi baru yang seharusnya lebih efisien. Hal ini membuat pengadaan kehilangan peluang mendapatkan barang terbaik dengan harga terbaik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa spesifikasi teknis juga menjadi titik lemah karena kurangnya mekanisme review internal. Banyak instansi tidak memiliki prosedur khusus untuk memeriksa apakah spesifikasi teknis sudah benar, lengkap, dan realistis sebelum dilelangkan. Dokumen langsung masuk tahap pemilihan penyedia tanpa telaah lebih dalam. Padahal, satu kesalahan kecil dalam spesifikasi bisa berdampak besar dalam pelaksanaan. Barang yang datang bisa tidak sesuai, kontrak bisa bermasalah, hingga terjadi sengketa yang berujung pada kerja ulang atau pemborosan anggaran.
Dari sisi pelaksanaan kontrak, spesifikasi teknis yang lemah membuat pengendalian mutu menjadi sangat sulit. Pengawas tidak tahu harus memeriksa barang berdasarkan standar apa. Penyedia menggunakan celah ini untuk memberikan barang berkualitas rendah. Dalam pekerjaan konstruksi, misalnya, spesifikasi yang tidak mencantumkan mutu material membuat penyedia bebas memilih material yang paling murah. Dalam pengadaan elektronik, tidak ada spesifikasi mengenai jenis komponen yang digunakan. Hal ini membuat pengadaan rawan terjadi manipulasi kualitas.
Semua masalah di atas menunjukkan satu hal penting: spesifikasi teknis sering menjadi titik lemah pengadaan karena ia tidak pernah dianggap sebagai dokumen strategis. Banyak instansi lebih fokus pada proses administratif daripada memastikan kualitas dokumen teknis. Padahal dokumen teknis adalah inti pengadaan. Tanpa spesifikasi teknis yang kuat, seluruh proses dari perencanaan hingga pengawasan akan goyah.
Pada akhirnya, spesifikasi teknis yang lemah memiliki dampak besar: pengadaan menjadi tidak efisien, barang yang diterima tidak berkualitas, anggaran terbuang, dan auditor memberikan catatan negatif. Penyedia terbaik enggan ikut karena spesifikasi tidak jelas, sementara penyedia oportunis memanfaatkan celah untuk menawarkan barang murah berkualitas rendah. Negara dirugikan bukan karena proses pengadaannya salah, tetapi karena dokumen teknisnya tidak mampu mengikat mutu barang yang dibutuhkan.
Untuk memperbaiki kondisi ini, instansi harus mulai melihat spesifikasi teknis sebagai dokumen inti yang tidak boleh dikerjakan sekadarnya. Penyusunnya harus memahami barang atau jasa yang akan diadakan, melibatkan pengguna akhir, menggunakan standar industri, menulis parameter kinerja, dan memastikan dokumen selaras dengan KAK serta HPS. Dengan pendekatan seperti ini, spesifikasi teknis tidak lagi menjadi titik lemah, melainkan kekuatan utama yang memastikan pengadaan berjalan transparan, kompetitif, dan menghasilkan manfaat nyata bagi masyarakat.







