Pendahuluan
Dalam dunia pengadaan barang dan jasa, praktik “main mata” merupakan salah satu bentuk penyimpangan yang kerap terjadi di berbagai instansi pemerintah maupun dunia usaha swasta. Istilah ini merujuk pada keadaan di mana pihak penyelenggara pengadaan dan pihak penyedia bersekongkol untuk memenangkan tender atau kontrak tanpa melalui proses yang transparan dan akuntabel.
Meskipun terlihat sepele bagi sebagian orang, dampak praktik main mata sangat merugikan negara, menghambat pembangunan, dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem pengadaan. Artikel ini akan membedah secara mendalam apa itu main mata dalam pengadaan, bagaimana modus operandi yang umum dilakukan, serta menelaah risiko dan konsekuensi serius yang timbul apabila praktik ini dibiarkan tumbuh subur.
Bagian I: Definisi dan Bentuk Praktik Main Mata
1.1 Apa itu Main Mata dalam Pengadaan?
Main mata adalah praktik kolusi rahasia antara penyelenggara pengadaan dengan penyedia barang atau jasa yang diikat dalam kesepakatan agar tender atau kontrak diberikan kepada pihak tertentu tanpa melalui proses yang jujur dan terbuka. Secara lebih rinci, main mata merupakan tindakan:
- Kolusi Terencana: Kesepakatan sebelumnya terjadi di luar sistem resmi, baik melalui pertemuan tertutup, pesan elektronik terenkripsi, maupun perantara pihak ketiga. Tujuannya memanipulasi agar seluruh tahapan lelang berpihak pada satu pihak.
- Pengaturan Mekanisme Tender: Mulai dari penulisan dokumen, penetapan kriteria evaluasi, hingga penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) diatur sedemikian rupa agar hanya calon tertentu yang dapat memenuhi syarat dan memenangkan tender.
- Pelanggaran Asas Pengadaan: Main mata melanggar empat asas utama dalam Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa, yaitu transparansi (keterbukaan informasi), persaingan sehat (fair competition), efisiensi (nilai optimal penggunaan anggaran), dan akuntabilitas (pertanggungjawaban proses).
Dampak awal paling nyata adalah hilangnya kesempatan bagi penyedia lainnya untuk bersaing secara adil. Lebih jauh, praktik ini merusak budaya birokrasi, melemahkan kontrol internal, dan berpotensi membuka pintu korupsi yang lebih besar.
1.2 Bentuk-bentuk Kolusi
Praktik main mata dapat muncul dalam berbagai wujud yang menyesatkan. Berikut beberapa pola kolusi yang paling sering terjadi:
- Persekongkolan Dokumen (Dokumen Signing)
- Spesifikasi Teknis yang Di-tailoring: Menulis dokumen lelang dengan parameter teknis sangat spesifik, misalnya menyebutkan satu model alat kesehatan atau satu pabrikan tertentu, sehingga hanya calon penyedia yang telah bersekongkol yang cocok.
- Penyesuaian Sub-Kriteria: Menentukan sub-kriteria seperti kecepatan pengiriman, masa garansi, atau detail sertifikasi yang sengaja dipenuhi hanya oleh calon tertentu.
- Manipulasi Harga Perkiraan Sendiri (HPS)
- HPS Terlalu Tinggi: Menetapkan HPS di atas harga pasar umum untuk memberi ruang margin yang besar bagi penyedia nakal menaikkan harga penawaran tanpa tampak mencolok.
- HPS Terlalu Rendah: Menetapkan HPS sangat rendah agar calon lain yang menawarkan harga sedikit di atas HPS akan tereliminasi otomatis, sementara harga penawaran pihak kolusi tetap di bawah batas evaluasi.
- Pemberian Informasi Internal
- Bocoran Kriteria Evaluasi: Sebelum pengumuman resmi, dokumen evaluasi, bobot penilaian, atau bahkan nilai ambang batas dibocorkan ke pihak calon tertentu.
- Akses Dokumen Pratender: Salinan Rancangan Kerja dan Syarat (RKS) dibagikan secara eksklusif untuk memberi keuntungan penyiapan proposal strategis.
- Pembagian Tender (Spilt Tender)
- Pemisahan Paket: Satu kebutuhan besar dipecah ke dalam beberapa paket kecil dengan nilai di bawah batas kewenangan direktur tertentu agar evaluasi dan pengawasan tidak terpusat.
- Penunjukan Beruntun: Melayani beberapa paket kecil secara berurutan kepada penyedia yang sama dengan dalih efisiensi, padahal tujuannya menghindari threshold pengadaan umum.
- Kolusi Harga Jual (Price Fixing) dan Pembagian Margin
- Kesepakatan Harga: Beberapa penyedia yang seolah bersaing saling bersepakat menetapkan harga minimal atau menetapkan rentang harga sempit.
- Skimming Margin: Setelah menang, penyedia menetapkan harga tertinggi dalam rentang yang disepakati untuk memaksimalkan keuntungan di atas HPS.
- Pengaturan Evaluasi Subyektif
- Bobot Nilai Subyektif Tinggi: Meningkatkan bobot penilaian aspek yang sulit diukur secara kuantitatif (misalnya reputasi, presentasi, atau kualitas manajemen internal) sehingga sangat tergantung pada penilaian panel yang dikontrol.
- Pemilihan Anggota Panel Sesuai Skenario: Menunjuk evaluator yang memiliki kedekatan dengan penyedia tertentu untuk memuluskan diskusi dalam rapat hasil evaluasi.
Dengan mengenali bentuk-bentuk kolusi ini, instansi pengadaan dan masyarakat dapat meningkatkan kewaspadaan dan menerapkan langkah antisipatif sebelum kerugian negara dan reputasi instansi semakin parah.
BAGIAN II: Modus Operandi Utama
2.1 Penunjukan Langsung Berbalut Alasan Mendesak
Penunjukan langsung adalah salah satu metode pengadaan yang sah menurut aturan, tetapi seringkali menjadi celah yang disalahgunakan dengan dalih ‘keadaan mendesak’. Dalam praktiknya, alasan mendesak tersebut kerap direkayasa untuk menghindari proses tender terbuka yang lebih kompetitif dan transparan.
- Tahapan Palsu: Dokumen perencanaan seperti Surat Permintaan Pembelian (SPP), Justifikasi Kebutuhan, atau Nota Dinas disusun dengan jeda waktu seolah-olah proses sudah sangat mepet dengan tenggat waktu. Hal ini digunakan untuk meyakinkan bahwa opsi tender terbuka sudah tidak memungkinkan lagi.
- Keadaan Mendesak Fiktif: Dalam banyak kasus, keperluan barang atau jasa tersebut sebetulnya sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari, namun sengaja tidak direncanakan secara tepat waktu agar dapat dijustifikasi sebagai kebutuhan mendesak. Misalnya, pengadaan genset untuk acara nasional yang sudah diketahui sejak bulan sebelumnya, tetapi dibiarkan tanpa perencanaan hingga H-2 acara.
Skema semacam ini mencerminkan lemahnya manajemen perencanaan serta adanya niat untuk mengarahkan pengadaan kepada pihak tertentu yang telah disiapkan sejak awal.
2.2 Tender dengan Kriteria Sempit
Kriteria teknis dalam dokumen pemilihan seharusnya dirancang secara terbuka, kompetitif, dan inklusif. Namun dalam praktik main mata, kriteria teknis justru disempitkan sedemikian rupa agar hanya satu atau dua penyedia yang bisa lolos evaluasi administrasi maupun teknis.
- Spesifikasi Merek Tertentu: Salah satu modus yang kerap terjadi adalah mencantumkan merek dagang atau produk tertentu secara eksplisit dalam spesifikasi teknis, sehingga penyedia lain yang tidak memegang merek tersebut otomatis gugur.
- Pengalaman Unik: Persyaratan pengalaman kerja yang tidak lazim juga dijadikan alat untuk menyaring peserta. Misalnya, mensyaratkan pengalaman proyek di lokasi tertentu atau dengan nilai proyek sangat spesifik yang hanya pernah dilakukan oleh satu penyedia.
Kriteria sempit ini tidak hanya menciderai asas persaingan sehat, tetapi juga menutup kesempatan bagi inovator baru dan pelaku usaha kecil yang belum punya rekam jejak besar namun sebenarnya mampu secara teknis.
2.3 Pengaturan Evaluasi dan Skoring
Evaluasi adalah tahap krusial yang menentukan siapa pemenang tender. Dalam praktik main mata, evaluasi dibuat sedemikian rupa agar hasil akhirnya mengarah pada penyedia tertentu yang telah “disepakati.”
- Bobot Kriteria Subyektif Tinggi: Salah satu teknik yang digunakan adalah dengan memberi bobot besar pada aspek-aspek yang tidak terukur secara objektif, seperti reputasi, presentasi manajemen, atau komitmen layanan purnajual. Hal ini memberi ruang interpretasi luas kepada evaluator untuk menyusun skor sesuai skenario.
- Rapat Evaluasi Monokrom: Tim evaluasi bukan terdiri dari orang-orang independen yang berbeda perspektif, melainkan dirancang agar didominasi oleh individu yang memiliki hubungan dekat dengan penyedia tertentu. Dalam praktiknya, hasil evaluasi sudah ‘disetujui’ sebelum rapat digelar.
Proses seperti ini menjadikan sistem evaluasi hanya sebagai formalitas administratif, bukan sebagai instrumen penilaian kualitas penawaran yang objektif. Akibatnya, penyedia terbaik bukanlah yang menang, tetapi yang paling pandai bermanuver di belakang layar.
BAGIAN III: Risiko dan Dampak Praktik Main Mata
3.1 Kerugian Finansial Negara
Setiap rupiah yang dibayar melebihi harga wajar adalah kerugian negara. Dalam skala kecil, mungkin terlihat sepele, namun jika praktik ini terjadi secara sistemik dan terus-menerus, kebocoran anggaran publik bisa mencapai miliaran hingga triliunan rupiah setiap tahunnya. Hal ini mempersempit ruang fiskal pemerintah dalam membiayai program prioritas lain seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.
- Harga Tidak Kompetitif: Barang atau jasa dibeli dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada standar harga pasar, karena adanya persekongkolan antara panitia dan penyedia. Situasi ini menyebabkan pemborosan anggaran dan merusak prinsip value for money.
- Paket Ganda Palsu: Pemecahan paket pengadaan menjadi bagian-bagian kecil (split tender) yang sebenarnya tidak diperlukan hanya untuk menghindari lelang terbuka atau meningkatkan frekuensi penunjukan langsung. Praktik ini tidak hanya meningkatkan biaya pengadaan, tetapi juga menurunkan efisiensi distribusi dan penggunaan barang/jasa tersebut.
3.2 Menurunkan Kepercayaan Publik
Ketika publik mengetahui bahwa dana pajak yang mereka bayarkan diselewengkan melalui praktik main mata, kepercayaan terhadap institusi pemerintah merosot tajam. Ini dapat berdampak jangka panjang terhadap stabilitas sosial dan legitimasi pemerintahan.
- Indeks Persepsi Korupsi: Praktik korupsi di sektor pengadaan menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan skor dan peringkat Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) global. Semakin banyak kasus pengadaan bermasalah, semakin buruk persepsi dunia internasional terhadap tata kelola pemerintahan di Indonesia.
- Respons Publik Negatif: Publikasi media terhadap kasus-kasus tender curang seringkali memicu reaksi keras masyarakat. Munculnya protes, gugatan hukum oleh LSM, dan viralnya isu pengadaan di media sosial dapat menciptakan tekanan sosial dan politik yang berat bagi instansi atau pemerintah daerah terkait.
3.3 Menghambat Persaingan Sehat
Praktik main mata menutup pintu bagi pelaku usaha yang jujur dan berintegritas untuk ikut serta dalam proses pengadaan. Hal ini tidak hanya mengurangi pilihan penyedia yang layak, tetapi juga menciptakan pasar yang stagnan dan penuh oligopoli.
- Monopoli dan Kartel: Perusahaan yang terus-menerus mendapat proyek akibat kolusi akan memiliki keunggulan modal dan posisi tawar yang tidak adil, mematikan usaha kecil dan pesaing potensial. Dalam jangka panjang, muncul struktur pasar yang dimonopoli oleh segelintir pemain besar yang sudah “bermain mata” dengan pejabat pengadaan.
- Inovasi Terhambat: Lingkungan yang tidak kompetitif membuat penyedia tidak terdorong untuk meningkatkan kualitas layanan, efisiensi proses, atau menghadirkan inovasi baru. Ini mengakibatkan proyek-proyek pemerintah tidak mengalami kemajuan dari sisi teknologi atau nilai tambah.
3.4 Risiko Hukum bagi PNS dan Pejabat
Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pejabat yang terlibat dalam praktik main mata, risiko hukum sangat besar, baik secara administratif maupun pidana. Negara telah memiliki perangkat regulasi dan lembaga penegak hukum yang bisa menindak tegas setiap bentuk penyimpangan dalam pengadaan.
- Sanksi Disiplin: Pegawai negeri yang terbukti melakukan kolusi dapat dikenai sanksi berupa penurunan pangkat, pemberhentian sementara, hingga pemecatan tidak hormat sesuai peraturan disiplin ASN yang berlaku.
- Pidana Korupsi: Jika terbukti menyalahgunakan kewenangan dalam proses pengadaan untuk kepentingan pribadi atau pihak tertentu, pelaku bisa dijerat dengan Undang-Undang Tipikor (UU 31/1999 jo. UU 20/2001). Ancaman hukumannya sangat berat, mulai dari pidana penjara hingga denda miliaran rupiah, serta pencabutan hak politik.
Konsekuensi hukum ini menjadi alarm keras bahwa main mata bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi tindakan kriminal yang bisa menghancurkan karier dan reputasi seseorang seumur hidup.
BAGIAN IV: Upaya Pencegahan dan Tindakan Korektif
4.1 Peningkatan Sistem Transparansi Digital
Langkah utama yang dapat dilakukan untuk menutup ruang main mata adalah dengan mendorong sistem digitalisasi dalam seluruh proses pengadaan. Penggunaan platform e-procurement seperti LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) dapat meminimalisir interaksi langsung antara penyedia dan penyelenggara, sehingga peluang kolusi menjadi lebih kecil.
Namun, digitalisasi tidak cukup hanya sampai pada tahapan tender. Dokumen seperti HPS, evaluasi teknis, hingga notulen rapat harus dibuat secara digital, terdokumentasi, dan terbuka untuk audit publik. Transparansi dapat lebih ditingkatkan dengan langkah seperti:
- Menyediakan dashboard pengadaan yang menampilkan status real-time semua paket.
- Mewajibkan publikasi semua kriteria evaluasi sebelum proses tender dimulai.
- Menggunakan sistem scoring otomatis untuk meminimalisir penilaian subjektif.
Dengan sistem digital yang kuat dan audit trail yang jelas, praktik curang akan lebih mudah dilacak dan dibuktikan, sekaligus mencegah niat buruk sejak awal.
4.2 Penguatan Kompetensi dan Integritas ASN
Faktor manusia tetap menjadi kunci dalam pencegahan praktik main mata. ASN (Aparatur Sipil Negara) yang terlibat dalam pengadaan perlu memiliki pemahaman mendalam terhadap regulasi, serta komitmen moral untuk menjaga integritas pengadaan. Beberapa langkah konkret yang bisa diambil:
- Sertifikasi dan pelatihan rutin: ASN pengadaan wajib memiliki sertifikat kompetensi PBJ dan mengikuti pelatihan berkala, khususnya terkait etika pengadaan dan deteksi dini kecurangan.
- Rotasi jabatan secara berkala: ASN yang terlalu lama menangani pengadaan di satu unit kerja cenderung membentuk relasi informal dengan penyedia. Rotasi dapat menghindari terciptanya kedekatan yang rawan konflik kepentingan.
- Sanksi tegas dan penghargaan: Pemberian penghargaan kepada ASN yang mampu mendeteksi dan mencegah potensi kolusi harus disertai dengan sanksi nyata bagi pelanggar, agar tercipta keseimbangan antara motivasi dan deterrence.
4.3 Peran Aktif Pengawasan Eksternal
Pengawasan bukan hanya tugas auditor internal atau Inspektorat, tetapi juga lembaga seperti BPK, KPK, dan masyarakat sipil. Praktik pengadaan yang sehat tumbuh dalam lingkungan yang terbuka dan diawasi oleh banyak mata. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan afirmatif untuk melibatkan lebih banyak pihak luar dalam proses pengadaan.
Beberapa strategi yang bisa dilakukan:
- Membuka kanal pengaduan publik dengan identitas pelapor yang terlindungi.
- Melibatkan LSM atau perguruan tinggi sebagai observer dalam tender bernilai besar.
- Melaksanakan audit sosial dengan meminta feedback dari pengguna akhir layanan (seperti rumah sakit, sekolah, atau desa) terhadap kualitas barang/jasa hasil pengadaan.
Semakin banyak pihak yang ikut mengawasi, semakin kecil peluang praktik main mata lolos dari sorotan. Transparansi harus menjadi prinsip kerja bersama, bukan hanya jargon administratif.
Kesimpulan
Praktik main mata dalam pengadaan adalah ancaman serius bagi akuntabilitas dan penggunaan anggaran negara. Berbagai modus kolusi, mulai dari penunjukan langsung fiktif hingga manipulasi HPS, harus dihadapi dengan langkah preventif dan pengawasan berlapis. Pemerintah dan masyarakat bersama-sama perlu mendorong transparansi, meningkatkan kapasitas SDM pengadaan, serta mengoptimalkan teknologi e-procurement untuk menutup celah kolusi. Dengan upaya kolektif, risiko kerugian negara dapat diminimalkan, kepercayaan publik dipulihkan, dan persaingan usaha menjadi lebih sehat, mendorong efisiensi dan inovasi di sektor publik.