Cara Mengelola Ketentuan Force Majeure dalam Surat Perjanjian Pengadaan

Dalam setiap kontrak pengadaan barang atau jasa, ketentuan force majeure adalah salah satu aspek yang harus dipertimbangkan secara serius. Force majeure adalah klausul yang mengatur tentang keadaan luar biasa yang berada di luar kendali pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak, yang dapat mempengaruhi pelaksanaan kewajiban kontrak. Konsep ini menjadi semakin relevan dan penting dalam pengadaan barang atau jasa, terutama dalam proyek yang memiliki dampak besar dan melibatkan risiko tinggi.

Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam tentang cara mengelola ketentuan force majeure dalam surat perjanjian pengadaan. Mulai dari definisi, jenis-jenis peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai force majeure, cara merancang klausul force majeure yang tepat, hingga bagaimana penerapannya di lapangan untuk menghindari potensi sengketa yang dapat merugikan kedua belah pihak.

1. Apa itu Force Majeure?

Force majeure, yang berasal dari bahasa Prancis yang berarti “kekuatan yang lebih besar,” adalah suatu kondisi di mana salah satu pihak dalam kontrak tidak dapat memenuhi kewajibannya karena adanya peristiwa luar biasa yang tidak dapat diprediksi, di luar kemampuan pengendalian, atau di luar kuasa pihak-pihak dalam kontrak tersebut. Dalam bahasa hukum, force majeure digunakan untuk mengacu pada keadaan yang menyebabkan pihak yang terlibat dalam kontrak tidak dapat melaksanakan kewajibannya tanpa kesalahan atau kelalaian mereka.

Konsep ini sangat penting untuk dipahami dalam pengadaan barang dan jasa, terutama dalam proyek-proyek besar yang melibatkan banyak pihak dan ketergantungan pada faktor eksternal. Dengan adanya ketentuan force majeure, kedua belah pihak (penyedia dan pengguna) dapat memahami hak dan kewajiban mereka jika suatu keadaan yang tidak dapat diprediksi terjadi.

2. Jenis-Jenis Kejadian Force Majeure

Ada banyak jenis peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai force majeure. Biasanya, ketentuan ini akan mencakup kejadian-kejadian yang tidak dapat dikendalikan oleh pihak kontraktor atau penyedia, yang dapat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan kontrak. Beberapa contoh kejadian yang termasuk dalam kategori force majeure adalah:

  • Bencana Alam: Gempa bumi, banjir, angin topan, tsunami, dan bencana alam lainnya adalah contoh utama kejadian force majeure. Peristiwa ini tidak dapat diprediksi dan seringkali menyebabkan kerusakan besar yang dapat mengganggu kelangsungan proyek.
  • Perang dan Konflik: Perang, pemberontakan, kerusuhan sipil, atau tindakan terorisme juga bisa dianggap sebagai force majeure. Ketegangan politik atau sosial yang mengarah pada keadaan darurat juga dapat menghalangi kelancaran pelaksanaan kontrak.
  • Kebijakan Pemerintah yang Tidak Dapat Diperhitungkan: Perubahan mendadak dalam kebijakan pemerintah, seperti perubahan peraturan yang mempengaruhi proyek, pengenaan embargo, atau pengenaan sanksi, dapat menjadi alasan terjadinya force majeure.
  • Pandemi atau Penyakit Menular: Seperti yang terlihat pada pandemi COVID-19, peristiwa semacam ini dapat menyebabkan gangguan besar pada proyek. Pembatasan perjalanan, penutupan wilayah, dan pembatasan operasional dapat mengganggu kelangsungan proyek.
  • Kegagalan Infrastruktur: Kegagalan dalam sistem penting yang mendukung proyek, seperti kegagalan sistem pasokan energi, transportasi, atau komunikasi, juga dapat dianggap sebagai force majeure jika hal tersebut berada di luar kendali pihak kontraktor.
  • Krisis Ekonomi Global: Krisis ekonomi yang mendalam, yang mempengaruhi mata uang atau kestabilan pasar global, juga bisa dikategorikan sebagai force majeure jika berpengaruh langsung terhadap pelaksanaan proyek.

Penting untuk dicatat bahwa dalam kebanyakan kontrak, pihak yang mengklaim force majeure harus dapat membuktikan bahwa peristiwa tersebut benar-benar berada di luar kemampuan mereka untuk mengontrol dan mempengaruhi pelaksanaan kontrak.

3. Klausul Force Majeure dalam Surat Perjanjian Pengadaan

Penyusunan klausul force majeure dalam kontrak pengadaan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar dapat memberikan perlindungan bagi kedua belah pihak. Klausul ini harus mendetailkan jenis-jenis peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai force majeure serta ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak dalam keadaan tersebut.

Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam menyusun klausul force majeure antara lain:

3.1 Definisi Force Majeure

Klausul force majeure harus dimulai dengan definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan force majeure dalam konteks kontrak tersebut. Definisi ini harus mencakup jenis peristiwa atau kejadian yang dapat diterima sebagai force majeure. Misalnya, “Force majeure adalah peristiwa atau keadaan yang terjadi di luar kendali pihak yang mengklaimnya, yang secara langsung menghalangi atau mempengaruhi pelaksanaan kewajiban kontrak, termasuk namun tidak terbatas pada bencana alam, perang, kerusuhan, wabah penyakit, dan perubahan kebijakan pemerintah.”

3.2 Prosedur Pemberitahuan Force Majeure

Setelah terjadi peristiwa yang dapat dianggap sebagai force majeure, pihak yang terdampak wajib segera memberi tahu pihak lain secara tertulis mengenai kejadian tersebut. Prosedur pemberitahuan harus mencakup informasi tentang jenis kejadian, dampaknya terhadap proyek, dan estimasi waktu keterlambatan atau gangguan yang akan terjadi. Klausul ini penting agar pihak pengadaan dapat memahami situasi yang dihadapi penyedia barang/jasa dan memberikan respons yang tepat.

3.3 Durasi Force Majeure

Klausul force majeure harus mencantumkan ketentuan mengenai durasi terjadinya force majeure. Dalam hal ini, batas waktu dapat ditetapkan untuk memberi kesempatan bagi pihak yang terdampak untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jika kejadian force majeure berlangsung lebih dari periode yang disepakati, kontrak dapat dihentikan atau direvisi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

3.4 Pengalihan Risiko

Force majeure dapat menjadi dasar untuk pengalihan risiko. Misalnya, dalam situasi bencana alam, biaya tambahan atau kerugian yang timbul akibat gangguan tersebut dapat dibebankan kepada pihak yang mengklaim force majeure, atau bisa juga dibagi dengan pihak lain sesuai dengan perjanjian yang ada dalam kontrak.

3.5 Alternatif dan Penyelesaian

Klausul force majeure harus menyediakan solusi alternatif atau langkah-langkah yang dapat diambil oleh pihak yang mengklaim force majeure untuk memitigasi dampak dari peristiwa tersebut. Ini termasuk kemungkinan untuk memperpanjang waktu penyelesaian pekerjaan, menyesuaikan jadwal proyek, atau bahkan melaksanakan pekerjaan dengan cara yang berbeda.

3.6 Hak dan Kewajiban Pihak yang Terdampak

Pihak yang mengklaim force majeure harus memiliki hak untuk meminta perpanjangan waktu atau pengurangan kewajiban terkait dengan peristiwa tersebut. Namun, kewajiban untuk memitigasi kerugian dan melaporkan perkembangan juga menjadi tanggung jawab pihak tersebut.

3.7 Penyelesaian Sengketa

Dalam kontrak pengadaan yang melibatkan klausul force majeure, penting untuk menyertakan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan mengenai apakah kejadian tersebut benar-benar merupakan force majeure atau tidak. Pihak-pihak dalam kontrak harus sepakat pada mekanisme yang akan digunakan, seperti mediasi, arbitrase, atau litigasi, untuk menyelesaikan sengketa.

4. Penerapan Force Majeure dalam Praktek

Setelah klausul force majeure dimasukkan dalam kontrak, penerapannya dalam praktik membutuhkan manajemen yang hati-hati agar tidak disalahgunakan oleh salah satu pihak. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil dalam mengelola force majeure:

4.1 Penilaian Kelayakan Klaim Force Majeure

Setiap klaim force majeure harus dievaluasi dengan cermat. Pihak yang mengklaim force majeure harus dapat memberikan bukti yang cukup bahwa peristiwa tersebut benar-benar di luar kendali mereka dan mempengaruhi pelaksanaan kontrak. Penilaian ini biasanya melibatkan analisis mendalam dari pihak ketiga, seperti konsultan hukum atau auditor.

4.2 Pemberian Waktu untuk Penyelesaian

Pihak yang mengklaim force majeure harus diberikan waktu yang cukup untuk menangani dampak dari peristiwa tersebut. Selama periode ini, pihak yang terdampak harus dapat memitigasi dampak negatif dan melanjutkan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang ada.

4.3 Komunikasi yang Jelas dan Terbuka

Komunikasi yang jelas dan terbuka antara pihak pengadaan dan penyedia barang/jasa sangat penting selama terjadinya force majeure. Kedua belah pihak harus terus-menerus memperbarui informasi tentang situasi yang ada dan mencari solusi terbaik agar proyek tetap berjalan, meskipun ada gangguan.

4.4 Dokumentasi Lengkap

Semua kejadian yang terkait dengan force majeure harus didokumentasikan dengan baik. Ini termasuk pemberitahuan, evaluasi dampak, dan langkah-langkah mitigasi yang diambil. Dokumentasi ini tidak hanya akan membantu dalam proses pengelolaan proyek tetapi juga sebagai bukti yang diperlukan jika terjadi sengketa di kemudian hari.

Penutup

Force majeure adalah elemen penting dalam setiap surat perjanjian pengadaan yang dapat melindungi kedua belah pihak dari kejadian luar biasa yang tidak dapat diprediksi. Mengelola ketentuan force majeure dengan baik dalam kontrak pengadaan dapat membantu mengurangi potensi sengketa dan meminimalkan dampak negatif dari peristiwa yang tidak terduga. Penyusunan klausul yang jelas dan penerapan yang hati-hati akan memastikan bahwa proyek dapat dilaksanakan dengan lancar meskipun menghadapi tantangan besar akibat kejadian-kejadian force majeure.

Bagikan tulisan ini jika bermanfaat